15.
Bukan ini yang Olin harapan, sama sekali bukan. Andai saja dia tidak pernah berkeliling ke area kolam tidak mungkin kejadian itu terjadi. Olin tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika anak-anak mengerumuninya sambil memandang penuh tanya.
Olin sempat memejam sesaat ketika tercebur ke dalam air lalu menyembul perlahan ke permukaan dan saat itulah Maga berdiri di sisi kolam. Ketika itu tatapannya bersirobok dengan Maga yang dipenuhi raut tak terbaca.
"Olin, lo kenapa kok bisa nyebur? Nggak pa-pa kan?" tanya Amakia seraya mengulurkan tangan bersiap membantu.
Saat Olin hendak meraih tangan tersebut, Maga lebih dulu menarik Olin sambil berucap pedas. "Lo nggak liat dia basah kuyup, dan lo masih nanya nggak apa-apa?"
"Iya, aku nggak pa-pa, Ga. Cuma kepleset kok." Olin menyahut begitu berhasil keluar dari dalam air.
"Hebat banget lo masih bisa bilang gitu," ketus Maga disertai gelengan kepala, "gue nggak habis pikir."
Amakia yang tak terima dimaki berseru kesal. "Kan gue nanya doang, Maga, kok ngegas?"
Maga mendecak tak suka lalu mengabaikan Amakia. Bukan waktu yang tepat untuk marah-marah. Semakin lama mereka di sana akan semakin banyak anak-anak berdatangan hanya untuk memuaskan hasrat penasaran akibat kerumunan yang tercipta.
Maga tidak tahu mengapa dan bagaimana Olin bisa ada di sana dengan semua masalah yang menyertainya. Padahal Maga telah menjauhi dalam beberapa hari ini tapi tetap saja seperti kutukan yang tidak bisa sepenuhnya hilang, Olin selalu muncul di dekatnya. Bahkan sampai ke tempatnya latihan.
Dia masih menatap Olin di depannya dengan sorot cemas sekaligus kesal. Meski begitu Maga masih dapat mengontrol kegusaran yang sempat menyelimuti dadanya. Tadi Maga berlari cukup kencang begitu mendengar nama Olin disebut oleh Amakia. Tanpa pikir panjang Maga meninggalkan kesibukannya ketika hendak menyalin pakaian renang.
Untuk apa juga Maga mencemaskan gadis itu?
Jelas-jelas dia telah berkomitmen untuk jaga jarak tapi masih saja hatinya terkadang bertolak belakang. Menyusahkan!
Sementara itu, Olin membatin sendiri. Dia menyalahkan dirinya yang tak berhati-hati sampai harus menemui insiden memalukan itu. Kini tampilan Olin sangat menyedihkan. Sekujur tubuhnya tanpa terkecuali basah dari atas sampai ke bawah. Olin malu, teramat. Terlebih dalam kondisi kacau begitu.
Dan mengapa Maga harus muncul sekarang?
"Ngapain sih sampai ke sini segala?"
Tentu saja Olin cuma menunduk memandangi lantai di bawahnya sambil menunjukkan gestur tubuhnya gelisah. Olin bingung harus menjawab apa ditambah gatal-gatal mulai merambat di tubuhnya. Dan Olin masih dapat menahan sensasi gatal yang kian merebak.
Sejauh itu belum ada yang menyadari, kecuali satu orang.
Intens netra Maga menyorot serius. Cowok itu bisa menemukan titik kesalahan dalam sekali lihat dari gerak gerik Olin. Mereka harus pergi dari sana secepatnya kalau tidak semua orang bakal tahu soal penyakit Olin dan itu bakal merepotkan.
Sebelum semua semakin runyam Maga mengambil tindakan. Dan Maga yakin sekali Olin pun berpikiran sama. Hanya saja kali ini Maga tidak mengerti dengan sikap Olin yang ceroboh juga lemot abis. Bukannya gegas malahan Olin terpaku di tempat, berdiri tak jelas menerima tatapan murid-murid yang mengelilinginya.
"Ikut gue," titahnya seraya menarik pergelangan tangan Olin pelan.
Tidak ada perlawanan. Olin hanya menurut mengikuti langkah Maga yang berjalan lebar-lebar dan cepat.
Belum genap lima langkah Amakia menahan Olin sambil berkata, "Olin, sebentar."
Kontan Olin menoleh begitu pula Maga. "Lo ingetkan obrolan kita tadi. Gue yakin lo bisa dipercaya."
"Ayok buruan!" Maga tak sedikitpun memberikan Olin kesempatan untuk membalas. Maga terus menyuruhnya untuk segera keluar dari sana jika tidak mau terus jadi tontonan banyak anak. Karena Maga sendiri risi jika harus jadi pusat perhatian, sangat menggangu dan Maga tidak suka.
***
Napas berat terhela dari bibir Olin usai mengeringkan rambutnya yang basah. Pantatnya mendarat asal di atas kasur tak lama kemudian Olin menghempaskan badannya begitu saja. Tatapannya kosong pada langit-langit kamar.
Sejenak dia mengusap kulit tangannya yang sempat kemerahan saat kambuh tadi.
Kembali, pikirannya teringat pada kejadian tadi. Bahkan dia masih ingat dengan jelas bagaimana Maga mengomelinya. Olin senang Maga masih peduli padanya. Akan tetapi Maga pun masih menjauhinya. Hubungan mereka tidak lebih baik dari sebelumnya.
Maga berterus terang mengeluh pada Olin yang tak pandai menjaga diri sendiri. Terus menyusahkannya, dan membuat Maga terlibat dalam masalah yang Olin ciptakan. Meski tidak banyak yang Maga ucapan satu kalimat yang pasti diingat olehnya, kecewa.
Sangat disesalkan semua tidak berjalan sesuai harapan yang Olin inginkan. Di tambah ayah yang datang menjemputnya dalam keadaan pakaian basah turut memperumit situasi.
Bukan hanya Olin saja yang dicecar banyak pertanyaan, Maga pun tak luput dari tuduhan. Bahkan sampai kena semprot oleh ayah karena dianggap tidak becus mengawasi Olin. Seharusnya Olin bisa menjelaskan dengan benar supaya tidak membuat Maga lebih membencinya. Sekarang Olin serba salah.
Suara ketukan pintu menyadarkan Olin dari lamunan. Dia bangkit dari tidurannya lalu melompat turun.
"Ayah?" katanya setelah membuka pintu kamar.
"Ayah boleh masuk?"
"Iya."
Olin mempersilahkan ayah masuk. Tanpa basa basi ayah mengambil kursi dan duduk di sana. Sementara Olin masih berdiri di samping ayah yang kemudian disuruh duduk di kasur. Kini keduanya duduk berhadapan.
"Gimana udah baikan?"
"Udah, Yah." Olin mengangguk seraya tersenyum.
Ayah menarik tangannya sambil mengamati serius lalu tatapannya kembali pada Olin. Ayah menyelami mata bulat putri kesayangannya, mencari kebohongan yang mungkin disembunyikan anaknya.
Pengalaman masa lalu tentang perundungan yang dialami Olin membuat ayah was-was ketika menemukan Olin saat menjemputnya tadi. Pria baya itu langsung berpikiran negatif pada segala kemungkinan buruk yang ada. Secara tidak sadar ayah langsung bereaksi terhadap Olin tanpa peduli sekitar. Dan sukses sikapnya itu mengundang banyak atensi di lingkungan sekolah. Terlebih saat Maga ikut dimarahi.
"Nggak ada yang kamu tutupin dari Ayah, 'kan?"
"Nggak, Yah. Olin kan udah bilang tadi kepleset. Suwer!"
Ada kelegaan di dada ayah begitu mendengar penuturan Olin tanpa keraguan. Pria itu mengelus kepala Olin lembut sambil berucap, "Maafin Ayah, Lin. Ayah terlalu khawatir. Ayah takut kamu kenapa-kenapa di sekolah."
"Ayah nggak perlu takut. Olin baik-baik aja, Yah. Lagian Olin selalu ceritakan setiap kali Ayah nanya. Lagian ...," jeda Olin menimang kalimat selanjutnya. "Lagian ada Maga."
"Maga, Ayah merasa bersalah karena marahin dia tadi. Ayah harus bicara lagi sama dia."
"Iya, harus."
"Olin, ingat pesan Ayah buat selalu terbuka sama Ayah dan nggak macem-macem di sekolah kan?"
"Iya, Ayah, beres."
"Ayah udah kasih kamu kepercayaan jadi jangan bikin Ayah kecewa. Oke?"
"Olin ngerti Yah," ucap Olin sambil menarik napas dalam, kalimat yang terus diulang-ulang ayah membuat Olin jengah sekaligus bete. Setelah hembusan napasnya yang panjang Olin berkata, "Ayah lihat anak Ayah ini udah besar, jadi nggak perlu diingetin terus Yah."
Bukannya marah ayah malah terbahak cukup keras lalu mengelus puncak kepala Olin hingga sang anak cemberut. Rambutnya jadi kusut.
Ayah bisa menangkap raut cemberut dari wajah masam yang Olin tunjukkan. Dengan sigap ayah bangkit dan memilih tak mengungkit topik tersebut. Lagi pula Olin telah menjelaskan segalanya dan seharusnya dia tidak mencurigai Olin tanpa alasan. Apalagi tindakan dapat menimbulkan masalah baru yang mungkin merusak suasana damai di rumahnya.
Ayah tidak mau membebani Olin dengan sikap protektifnya.
"Oke, oke, Ayah percaya. Kalo udah besar jangan ngambek dong. Anak Ayah jadi jelek nih, mukanya." Ayah meledek seraya mencolek hidung Olin pelan. "Daripada merengut terus mending kita makan yuk. Ayah udah siapin makanan kesukaan kamu."
"Beneran Yah?"
"Iya."
"Makasih, Ayah."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro