12
Di tempatnya duduk Olin terus mencuri pandang ke arah Joeya, teman sebangkunya yang tengah sibuk mengukir sesuatu di atas kertas. Tidak ada kegiatan berarti yang bisa Olin lakukan membuatnya penasaran pada apa yang indra penglihatannya tangkap.
Tidak masalah bukan kalau dia mengamati Joeya dan ingin tahu lebih jauh soal coretan yang Joeya buat sekarang. Toh, anak itu pun tidak bicara sepatah kata pun sejak Olin datang. Begitu pikir Olin positif.
Sebuah gambaran rumah dengan detil ruangan yang melengkapi isinya. Yang jelas mata Olin tidak berkedip dalam waktu lama terpaku memandangi gambar tersebut. Mungkin bola matanya bisa copot dari tempatnya kalau tidak buru2 berkedip karena saking terhipnotis akan kepiawaian jari-jari Joeya yang bergerak luwes.
Olin baru sadar ternyata Joeya punya keahlian keren. Meski Olin sangat awam dengan hal begituan, tapi dia bisa melihat sesuatu yang bagus. Semua terlukis jelas di atas kertas putih yang dilihatnya. Pengalaman pertama sekaligus langka yang Olin rasakan karena bisa melihat langsung proses itu berlangsung.
Luar biasa bukan!
Bagi Olin hal-hal menarik terletak pada apa yang selama ini tidak dia alami. Sesederhana itu lah sikap Olin terhadap sekitarnya.
Sudah biasa Olin diabaikan oleh Joeya. Keduanya jarang sekali bicara panjang lebar kecuali ada keperluan mengenai pelajaran yang mengharuskan bersama. Joeya seperti enggan melakukan diskusi atau hal lain yang berhubungan dengan Olin. Entahlah, Olin tidak pernah tahu apa yang Joeya pikiran tentangnya. Dia hanya bersikap sewajarnya saja, tidak mau dipandang lebih buruk. Walaupun terkadang suka kelepasan sendiri.
Seperti sekarang ini Olin yang terkagum-kagum melihat hasil gambaran Joeya tanpa sadar berseru keras memuji sketsa buatan temannya itu. "Wow, bagus banget! Eh ...."
Gerakan tangan Joeya terhenti bersamaan dengan kepalanya yang menoleh ke arah Olin yang nyengir lebar. Mata mereka bersirobok dalam beberapa detik lalu secepat kilat buku itu ditutup secara paksa dengan kuat hingga terdengar bunyi benturan di meja.
"Beneran bagus kok, suwer! Aku cuma lihat doang, Jo," kata Olin gelagapan karena dipelototi Joeya tajam.
Tidak ada balasan apa pun. Joeya malah berpaling dan merapikan alat gambar beserta bukunya ke dalam laci meja. Joeya lengah karena keasyikan saat menggambar tidak sadar akan kehadiran Olin di sampingnya. Padahal cewek itu tidak suka ada orang lain yang melihat maha karyanya itu. Apalagi Olin orangnya. Cewek berisik yang selalu bikin kupingnya berdengung.
"Eh, lanjutin aja gambarnya. Aku nggak ba--"
"Berisik."
Seketika Olin terdiam. Dia kehilangan kata-kata mendengar ucapan Joeya barusan. Mungkin dia memang tidak seharusnya mengacaukan suasana. Kini Joeya pasti makin membencinya karena ini.
Di mata Joeya, Olin amat mengganggu selama sejak jadi murid baru. Kehadirannya yang dipenuhi keceriaan dan sikap cerewet membuat Joeya lumayan kesal. Kedamaian di mejanya terganti dengan keramaian ocehan Olin di tiap waktu. Olin tak ubahnya semacam radio yang terus bersuara. Apalagi kalau sudah melihat tingkah Olin yang merusak mata ketika bertemu Maga. Seolah artis Olin selalu mengekor ke mana pun Maga pergi. Hal itulah yang tidak Joeya sukai terhadap tingkah Olin yang manja.
Menyebalkan!
Tapi mau bagaimana pun Joeya tidak peduli. Dia tidak punya urusan dengan itu semua. Baginya itu tidak penting, Olin dan kelakuannya. Toh, selama ini keacuhannya berhasil berakhir baik. Sayang, secuil kekepoan Olin barusan memunculkan kembali rasa tidak nyaman di benak Joeya. Seharusnya memang dia tidak menggambar di kelas.
"Maaf," kata Olin sebelum benar-benar membuat Joeya murka sambil menunduk karena merasa bersalah.
Ada suara decakan kecil yang terlontar dari bibir Joeya. Cewek berambut pendek dengan mata tajam itu melirik kepada Olin dengan tatapan serius.
Olin menunggu beberapa detik hingga semenit terlewati tapi Joeya tak kunjung bicara. Keduanya hanya bersitatap tanpa bahasan apa-apa membuat Olin dilanda kecemasan tak menentu. Olin yang bingung sekaligus heran hanya mampu menelan ludah sementara Joeya menelisik dengan aura tidak mengenakan.
Apa yang Joeya pikiran tidak bisa Olin tebak sampai bel masuk berbunyi memutus kontak di antara keduanya.
***
Dia menghela napas panjang usai pelajaran berakhir. Guru yang mengajar tak terlihat lagi setelah meninggalkan kelas. Gemuruh di kelas mulai menggema bahkan ke seantero sekolah saat bel jam istirahat berbunyi. Seharusnya Olin senang lantaran waktu makan siang tiba tapi wajahnya sedikit berbeda dari biasanya. Kerutan di dahi dan ketidakpercayaan masih kentara menghias wajah bulat gadis itu.
Dia kepikiran sesuatu soal pelajaran favoritnya, Bahasa Indonesia. Tadi, aslinya Olin menjerit dalam hati ketika namanya harus bersanding dengan Joeya dalam tugas kelompok, hanya berdua untuk menyelesaikan tugas wawancara terkait kewirausahaan. Masalahnya bukan pada tugas itu melainkan pada individunya. Olin masih merasa aneh selepas kejadian pagi tadi. Bisa dipastikan ke depannya tidak akan berjalan selancar jalan tol.
Sebelum bangkit dari duduknya dia sempat melempar senyuman seramah mungkin pada Joeya yang menatap datar. Olin harus gigit jari tanpa dapat balasan yang dia bayangkan. Jangankan sapaan akrab, sesenti senyuman saja teramat mahal bagi Joeya untuk sekadar berbasa-basi. Olin sadar dia tidak sedekat itu dengan teman sebangkunya yang cuek abis.
"Maga!" panggil Olin sambil berderap mendekati lelaki itu di depan kelas. Maga berhenti bersama Amakia di sampingnya.
"Ayo makan bareng, abis itu temenin aku keliling Ga."
"Nggak bisa gue harus ke sekret."
"Yah, bentar aja beneran nggak bisa?"
"Iya, 'kan lo bisa pergi sendiri atau ajak temen lo yang lain."
"Tapi ... nggak seru," ucap Olin disertai keraguan. Teman dekat Olin hanya Maga lalu bagaimana kalau Maga menolaknya. Maga juga tahu itu bukan tapi mengapa masih bicara begitu seolah-olah tidak peka?
"Please deh, lo bukan anak kecil lagi Lin. Biasain mandiri. Gue nggak mungkin 24 jam ada sama lo."
Olin terperangah mendengar Maga bicara cukup keras. Percakapan mereka bukan hanya terdengar oleh Amakia yang hanya berjarak setengah meter darinya tapi juga seisi kelas jadi terfokus pada mereka. Olin dan Maga mengundang atensi banyak anak.
Rasanya aneh sekali saat Maga bersikap lebih dingin dari biasanya. Olin yang tak mau ambil pusing soal hatinya yang berprasangka jelek terhadap Maga buru-buru membuang pikiran itu jauh-jauh. Seperti yang biasa dia lakukan, seperti sebelumnya yang sudah-sudah Olin terus menguatkan diri dan memasang ekspresi baik-baik saja. Tidak lupa tersenyum penuh pengharapan.
Bibir Olin kembali terkatup rapat sebelum berhasil berucap. Sebab Maga melanjutkan omongannya lagi.
"Mending lo ke kantin duluan buat makan. Gue sibuk nggak tau sampai kapan bakal selesainya."
"Oh, gitu."
Perintah Maga dijawab singkat oleh Olin. Seraut wajah Olin tertunduk lesu menatap lantai kemudian beralih ketika Amakia menyahut dalam obrolan.
"Iya, Lin mending lo nggak usah nunggu Maga. Gue sama dia harus ke sekretariat dulu soalnya. Nggak apa-apa kan?"
"Olin bakalan marah nggak?"
Seorang siswa menyeletuk lantang membuat ketiga manusia itu menoleh bersamaan. Heran, tentu saja karena tanpa diminta dan tidak sopan anak itu ikut campur dalam obrolan mereka. Namun tidak ada yang menghentikan tingkah siswa tersebut yang terus mendekat. "Kalo lama-lama nanti Olin kesepian, Ga. Kasian. Bukannya kalian pacaran?"
"Hah!"
Amakia terpekik cukup keras. Kontan isi kepala Amakia dipenuhi tanda tanya. secara berulang ditatapnya Maga dan Olin bergantian, sungguh dia tidak percaya sama sekali pada rumor yang santer terdengar itu. Amakia ingin tahu kebenarannya.
Namun, Olin memilih diam bingung menanggapi pertanyaan barusan. Mengapa anak-anak berpikir demikian terhadap Olin dan Maga selama ini. Olin tidak menyangka bakal mendengar perkataan itu. Andai saja benar adanya, Olin pasti senang. Dia juga berharap seperti itu bukan?
Olin ingin tahu bagaimana Maga menanggapi semua itu. Diliriknya Maga yang tak berekspresi banyak dan bukannya mengklarifikasi atau meluruskan segala hal tentang gosip asal tersebut, Maga malah berlalu keluar kelas tanpa penjelasan berarti hingga menyisahkan banyak pertanyaan di hati masing-masing orang yang menunggu.
"Gue duluan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro