9
"Joaquin, Coral telah menemukan ibu kandungnya!" Bue berseru.
Joaquin, pemuda songong itu, melirikku dengan malas, lalu melanjutkan langkahnya masuk ke ruangan untuk meletakan nampannya ke meja. Pemuda itu benar-benar nggak tertarik.
"Kau sungguh beruntung, Coral." Bue masih bergembira untuk hal yang bikin buruk suasana hatiku.
"Mommy." Coral tertawa bersama Bue.
Aku dapat melihat dua orang itu memiliki dunianya sendiri.
"Silakan diminum."
Perhatianku teralihkan kata-kata santun dalam nada sinis khas Joaquin. Ampun deh, apa masalah pemuda ini?
Bentar. Aku baru terpikirkan sesuatu. Hal yang sangat penting yang terlewatkan olehku.
Aku mengamati Joaquin. Fisiknya kelihatan normal, tapi ... bagaimana kalau dia ternyata...
"Bue, aku menemukan-"
Aku spontan menoleh. VOILA! Putaran hidupku memang nggak jauh dari masalah. Siapa lagi? Arnav lah.
"Kamu?" Arnav membelalak.
Dalam langkah panjang dan mantap Arnav mendekat. Mulutnya menganga, beberapa kali mengerjapkan mata, lalu berjongkok ala prince yang mau melamar princess. "Kamu datang?" tanyanya dalam nada yang kental kesangsian dan kebahagiaan.
Aku menggeleng, lalu menggangguk, terus menggeleng lagi. Aku bingung harus jawab yang mana.
"Saya datang untuk bertemu Pak Baratayudha Adhibroto Suryodinata Sastroadji Kusumonegara Hadiningrat." Aku mengarahkan kedua tangan pada Bue.
"Si-siapa?" Alis Arnav naik sebelah. Dia menoleh mengikuti arah tanganku. "Bue?"
"BUWAHAHAHAHA!"
Aku tersentak dan sontak menengok ke belakang. Seorang pria tua memakai jas merah dan dasi kuning bermotif polkadot masuk. Rambutnya didominasi uban, nggak disisir rapi, sedikit ikal dan kasar sesuai dengan kumisnya yang besar di bawah hidung bulat mencuat.
"Kau berlebihan membuat nama Bue," komentar kakek itu. Dia duduk di sofa tunggal. Perutnya bergoyang saat bokongnya beradu bantalan sofa.
"Petr?!" Bue membekap mulutnya. Aku nggak yakin dia ini terkejut karena komentar si kakek atau karena bertemu si kakek atau hal lainnya.
"Joaquin, aku ingin segelas air putih dengan banyak es." Si kakek mengangkat tangan.
Tiba-tiba sebuah pisau bergerak cepat mengarah leher si kakek. "Aku tidak datang ke sini untuk mengurus makhluk bodoh sepertimu," ucap Joaquin serius dengan gagang pisau dalam gengggaman.
Aku menjerit ngeri. Di hadapanku, Arnav tenang menyaksikan bakal kejadian berbahaya.
"Suruh dia berhenti," mohonku dengan panik.
Arnav memandangku sekilas, lalu berbalik pada Joaquin.
Aku teringat Coral, tapi kekhawatiranku kayak nggak nyampe ke mereka. Coral tengah menikmati potongan kue bersama Bue seolah-olah pisau yang diacungkan Joaquin merupakan hal yang lumrah.
Arnav dan Joaquin masih saling pandang. Hei, apa ada satu orang aja yang lempeng sedikit di sini?
Si kakek berusaha mendorong pisau menjauhi lehernya. Itu menyentak perhatian Joaquin kembali ke target. Thank God, pisau itu ditarik. Bak samurai, Joaquin memasukan pisau itu ke sarung yang tersembunyi di balik rompi. Wagelaseh kalau ada pelayan yang bawa-bawa senjata tajam gini.
"Oh, astaga, akhirnya aku dapat bernapas sedikit. Huft." Si kakek mengambil cangkir di meja dan menghirup isinya. Kalau kata menghirup adalah untuk menandaskan isi cangkir dalam dua detik, itu adalah kata yang sesuai.
"Lega sekali," ucap si kakek.
Arnav duduk di sebelahku, menyilangkan kaki, dan menyatukan kedua tangannya di atas lutut. "Lain kali, akan ada yang lebih buruk dari pisau jika kau berani macam-macam," ancamnya.
Aku mendelik. Pantas aja pelayannya gila. Bosnya lebih eror nih.
"Ya ya ya. Glubokiy manis yang kukenal telah menjadi Glubokiy sejati. Hah. Kau tak pernah bisa memercayai seseorang," desis si kakek.
Walau aku nggak paham ocehan si kakek, aku tahu dia lagi menyindir Arnav.
Perhatianku teralihkan Bue. "Dia adalah Petr, lelaki tua yang senang mengeluh. Tolong jangan membawa ucapannya ke dalam hati. Dia memang seperti itu sejak puluhan tahun lalu. Kau tahu, masalah orang tua. Tapi dia menyenangkan saat kau mengenalnya dengan baik. Nah, Petr, perempuan cantik ini adalah Sunshine Putri, ibu kandung Coral kami yang lucu."
"Kau?" Mata Petr membesar.
"Ha-hai," aku menyapa ragu-ragu. Kemampuan sosialisasiku merosot akibat bingung pada situasi ini.
"Sebaiknya kau meminta maaf padanya, Petr." Arnav berbicara dengan dingin.
"Buat apa? Aku menolongnya, menolongmu," tolak Petr.
Joaquin bersiap menarik pisau di balik rompinya. Membuatku meneguk ludah dengan ngeri. Coral masih menginvasi piring kue tart ber-topping krim dan beri. Bue belum mengubah ekspresi bahagianya yang (SUMPAH) nggak cocok di situasi ini.
"Menolong?!" Arnav bangkit bersama kemarahan yang mengejutkanku. "Karena ulahmu, Sunshine tidak dapat mengingat aku, bahkan menolak keberadaan Coral."
"Anak polos ini, kau pikir manusia betina mana yang bisa hidup normal setelah memadu kasih dengan nereid? Jika dia ceroboh, bisa saja nereid sudah tinggal nama karena laporannya ke manusia serakah. Siapa yang dapat menjamin hal itu tidak akan terjadi?" balas Petr.
"Tapi kau..." Arnav kembali duduk. Kepalanya menunduk lesu.
"Kau membuat Coral kesulitan," lanjutnya tanpa gairah.
"Kalau begitu, yakinkan manusia betina itu."
Apa hanya aku saja yang merasa 'manusia betina' ditujukan padaku?
"Kenapa kau tidak mengembalikan ingatan Sunshine? Dia pasti senang jika dapat mengingat Arnav," celetuk Bue.
Meskipun Bue berbicara baik-baik, aku yang mendengarnya nggak merasa baik. Woy, siapa yang mau ingat pernah buka tutup jos sama manusia ikan?
"Aku tidak bisa. Saat itu aku memberikan kutukan."
"Kau!"
Arnav kembali berdiri. Tangan kanannya menegang diselimuti api biru bertabur serbuk emas. Joaquin telah mengangkat pisaunya diikuti sikap siap membunuh. Petr mengangkat kaki ke sofa sambil memeluk badannya yang menggigil.
"Kutukanku tidak akan lenyap walau aku mati, ingat itu Glubokiy. Kutukannya hanya bisa terkikis," kata Petr panik.
"Terkikis? Bagaimana caranya?" Api di tangan Arnav mengecil.
"Jika yang terkena kutukan melawan kutukan itu."
"Kau!" Api di tangan Arnav berkobar lebih besar dari yang awal.
Duh, seseorang yang waras, tolong hentikan ini.
"Minumlah." Bue mengangsurkan cangkir berisi teh. Dia santai sekali.
Tanganku bergetar saat menerima cangkir itu. "Mereka bakal bunuh Petr," kataku ketakutan.
"Jangan dipikirkan, bintang laut bukan makanan kami. Jika Petr dibunuh, kita hanya akan membuangnya ke laut," sahut Bue sembari tersenyum ramah.
Apa mereka pemakan sesama?
Sesuatu melesat di kepalaku.
Mereka...
Mereka semua...
Bukan manusia.
"Mommy?"
Wajah Coral adalah pemandangan terakhir yang aku lihat sebelum segalanya menjadi gelap.
###
26/10/2021
Aloha ‘٩꒰。•◡•。꒱۶’
Guys, aku minta tolong kalo ada yang nemuin plagiat cerita aku yang mana aja, kasih tau ya...
Makasih
Salam hangat,
Miss Bebeklucu (•ө•)♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro