4
"Si-si... apa... kalian?" tanyaku susah payah.
"Mommy."
Kepala Coral miring selama memandangiku. Dengan matanya yang bulat dihiasi bulu mata lentik serta wajah bakpao, mestinya orang-orang yang melihat bakal jatuh hati. Namun yang barusan aku lalui mengubah pandanganku soal anak (ikan?) ini.
"Apa kamu baik-baik saja?"
Aku mundur dan menepis tangan Arnav. Kewaspadaanku melesat pada level maksimum.
Arnav mendesah, lalu memberiku tatapan pengertian. "Saya akan menjelaskannya. Apa kamu bisa berdiri? Celana kamu basah."
Aku menggeleng. Tenagaku kayak disedot. Kakiku kehilangan fungsinya sesaat. Aku sering nonton film serem di mana korban nggak berkutik saking takutnya sama tokoh jahat either is a ghost or a killer. Sekarang aku paham situasi itu. Aku mirip ayam yang tahu bakal dijadikan semur.
"Bolehkah saya bantu?" Arnav mengulurkan tangan.
Aku melirik uluran tangan Arnav sembari membayangkan tangan itu yang bakal mencekikku atau memotongku jadi sebelas bagian. Bagaimana mungkin aku bisa meraihnya?
Tapi aku meraihnya. Celana dalamku basah. Itu alasannya. Aku nggak bisa membiarkan yang itu lembab. Walau aku bakal 'lewat' sehabis ini, ada baiknya aku nggak membiarkan area sensitifku mengundang jamur. Barangkali ada yang melaporkan kehilanganku, lalu polisi mencariku sampai ke pembuangan sampah hotel, menemukan mayatku untuk diotopsi. Aku...
Apa aku berpikir terlalu jauh?
Arnav menarikku berdiri. Aku nyaris merosot dan dia sigap menangkapku. Lengannya menahan bobotku. Nggak pakai babibu, dia membungkuk. Mataku membesar. Aku tahu apa yang bakal dia lakukan. Tentu saja ini yang seharusnya pria sejati lakukan terhadap perempuan lemah. Dia mengangkatku ala ... karung beras?
HEI?!
"Temani Coral. Saya ada di luar bersama ibu kandung Coral," Arnav berbicara pada si pemuda.
Aku malu banget digotong kaya gini, tetapi Coral tampak senang dan melambai mengantar kepergian kami ke luar.
"Aku harus banget digendong begini?" tanyaku.
"Coral senang digendong seperti ini," jawabnya.
Dia menurunkanku di kasur dengan hati-hati. Kemudian dia mengambil handuk kering dari kamar mandi untuk diserahkan padaku. Aku menerimanya waspada.
Bagian pantat dress-ku basah dan aku diberikan handuk yang biasa dipakai mengeringkan rambut. Buat apa?
"Silakan bertanya," katanya. Dia sudah menarik sebuah kursi kayu menghadapku dan mendudukinya.
Aku meletakan handuk ke sebelah. Menarik napas panjang, lalu berujar, "Gimana bisa Coral punya ... ekor?
"Coー"
"Kalian itu apa? Alien? Hantu penasaran? Mutan? Kenapa kalian nyari aku? Buat apa kalian bilang aku itu ibu kandung Coral kalo kita beda spesies? Apa kalian tahu dagingku itu gurih dan baik buat dikonsumsi anak monster? Dan gimana kalian bisa jadi kayak manusia asli? Apa selama ini kalian mengintai aku terus nyari kesempatan di hari aku mau pedekate? Kalian bakal bawa aku ke planet lain?"
"Satu per satu," intrupsi Arnav.
Masih ada buanyaak pertanyaan yang mendesaki kepala. Aku menghormati permintaannya. Menilik cara bicaranya yang kaku, bisa saja dia nggak paham-paham banget pertanyaanku.
"Coral bisa mengganti kakinya menjadi sirip saat menyentuh air karena dia adalah Nereid."
"Kamu juga?"
Arnav mengangguk.
"Ner-Nereid itu..." Aku nggak percaya dongeng. Untuk situasi ini, aku melawan kepercayaanku sendiri. "Mermaid?"
"Ya. Coral adalah mermaid. Saya adalah merman. Kami berasal dari samudera. Tentang kamu sebagai ibu kandung Coral, saya tidak berbohong."
Aku nggak bisa membayangkan ada orang yang menunjukku sudah punya anak dan secara kebetulan anakku adalah ikan setengah manusia.
"Aku nggak bisa ngerti gimana aku bisa jadi ibu kandung Coral, tapi yang lebih aku nggak ngerti gimana bisa Coral itu mermaid." Aku menggigit bibir bawah. Terlalu banyak informasi yang nggak masuk nalarku. Kalau aku menyelamatkan anak kecil yang nyaris celaka, terus anak itu minta aku jadi ibunya. Aku bisa paham. Mungkin figurku pas nolong dia mirip kayak ibu bidadari. Paling nggak, aku mabok terus naninu bareng bos minyak yang masih muda dan ngegol jadi bunting. That sounds better.
Aku menepuk tangan ke paha. "Oke, kita tes DNA," aku memutuskan.
Arnav tersenyum lega. "Kita bisa melakukannya segera. Joaquin yang akan menyiapkan segalanya."
Pemuda itu tersenyum pongah saat mengangguk singkat. Jadi, namanya Joaquin. Bagus sih, tapi tampangnya minta tampol.
"Mommy!" Coral berlari menghampiriku. Seluruh badannya terbungkus handuk, kecuali kepala. Larinya mirip penguin kecil. Dia mendusel kepalanya pada pahaku.
Duh, gemesin banget kalo bukan anak ikan.
Waktunya pertanyaan terpenting. "Apa alasan kalian nyari aku?"
Arnav yang semula lagi senyum-senyum melihat tingkah Coral yang mirip anak kucing minta aku elus berubah serius. "Coral membutuhkan kamu. Dia membutuhkan suaranya."
Aku sontak melindungi leher. "Kamu mau ngambil suara aku?" Suara cempreng begini masih sangat aku cintai. Mana sanggup aku hand over ke anak yang baru aku kenal.
"Kamu salah paham. Coral tidak akan mengambil suara kamu. Yang dia butuhkan adalah nyanyian cinta yang diajarkan ibunya."
"Nyanyian cinta?" Aku perlu memastikan telingaku nggak salah dengar.
"Benar, nyanyian cinta." Arnav mengangguk mantap.
"Kenapa mermaid perlu belajar nyanyi nyanyian cinta dari ibu kandungnya?"
"Mermaid muda tidak terlahir dengan kemampuan bersuara. Oleh karena itu, mereka memerlukan penuntun."
"Tapi Coral bisa bersuara." Aku berpaling ke mi gemes. "Aku siapa?"
"Mommy," jawab Coral cepat dan bersemangat.
Aku melempar tatapan 'Nah, ada suaranya tuh!'.
Arnav tersenyum santun, lalu berkata, "Panggilan itu akan keluar saat mermaid muda bertemu ibu kandungnya. Coral selama ini tidak berbicara dan tidak bersuara. Ini adalah pertama kalinya dia bersuara. Hal semacam ini terjadi pula pada semua mermaid muda. Insting mereka menarik suara untuk memanggil sang ibu, tetapi tidak mengarahkan mereka untuk berbicara yang lain."
"Ini bingungin banget. Jadi, kalo Coral udah ketemu aku, dia bisa manggil mommy, tapi nggak bisa ngomong yang lain?"
"Iya. Mermaid muda memanggil ibu kandungnya untuk diajarkan nyanyian cinta. Itulah prosesnya."
Aku memajukan badan sedikit untuk berbisik, "Kamu belajar nyanyi dari mama kamu?"
"Iya."
Ngajarin nyanyi sih mudah. Aku pede pada hasil olah vokalku di karaoke mbak ngebor.
"Kalo aku udah ngajarin nyanyian cinta, apa kalian bakal kembali ke samudera?" introgasiku masih berlanjut.
Arnav mengangkat bahu singkat. "Semua tergantung pada keinginan kamu. Jika ingin kami pergi, maka kami akan pergi."
Itu mauku!
Nah, kini aku paham bagaimana mengatasi mereka. Tersisa satu hal. "Apa kalian menjamin nggak akan menyakitiku? Atau..." Aku menggerakan jempol melintang ke leher.
Arnav mengangkat kedua alisnya, lalu beralih ke Joaquin. Pemuda jengkelin itu maju dan berdehem. "Kami menjamin keamanan, keselamatan, bahkan nyawa Anda, Mommy Coral," katanya.
Aku mengibaskan telapak tangan. "Jangan panggil aku mommy Coral. Belum ada bukti kami sedarah." Coral menatapku sedih, tapi aku menebalkan iman. Nggak boleh tergugah sama tangisan bocah kalau ancamannya gagal melepas masa lajang.
"Aku juga nggak akan mengajarkan Coral nyanyi lagu cinta kalo hasil tes DNA kami ternyata nggak cocok. Setuju?" aku menambahkan.
Arnav nggak terpengaruh kayak Coral yang sudah menitikan air mata. Pria itu mengangguk dengan santai.
"Sekarang aku mau pulang."
"Mommy!" Coral memeluk pinggangku.
Aliran listrik menyentak disambung cahaya berdebu emas yang disertai angin memutar. Aku dibuat membelalak ngeri. Udara terasa memenuhi paru-paruku hingga penuh dan menutup jalan udara masuk. Aku sesak. Sebelum aku sempat meminta pertolongan, kegelapan memelukku.
###
28/08/2021
Haloooo,
Aku Miss Bek yang suka bunga bank dan buket bunga dari lipatan uang seratus ribuan hohoho...
Aku sebenarnya mo ngasih info spin off cerita ini, tapi kovernya belum jadi. Daripada nunggu kelamaan, aku update aja yang ini.
Oya, mermaid dan mermen di sini mungkin bakal ada yang beda dari mermaid yang kalian tahu soalnya ada yang aku ubah dan ditambahin demi kebutuhan cerita 🤗 semoga kalian bisa memahaminya.
Salam sayang,
Miss Bek (•ө•)♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro