3
"Aku?" Telunjukku teracung ke wajah. "Aku apa?"
"Kamu.ibu.kandung.Coral."
"Mommy."
APAAAA?!
"Nggak mungkin!" Aku melotot. Kalau membual ke anak-anak, nggak usah melibatkanku. "Aku belum punya anak. Dan ini pertama kalinya kita ketemu, gimana bisa Coral jadi anak kandung aku?"
Arnav mengangkat bahu singkat. "Memang begitu adanya. Anda ekhm kamu ibu kandung Coral."
Si mi gemes mengangguk beberapa kali. Bibir bawahnya mencuat dan matanya berkaca-kaca.
Aku meringis. Jiwaku memang nggak selembut kapas wajah, tapi melihat air mata Elsa dan Ana saja aku terharu. Mendapati anak kecil mau menangis, hatiku desir-desir iba. Percaya deh.
"Hari ini bukanlah pertemuan pertama kita," lanjut Arnav. "Saya dan ... kamu pernah bertemu. Kita juga memadu kasih."
Wajah Arnav memerah. Sementara aku bergidik ngeri pada pengandaiannya. Aku yakin banget nggak pernah bertemu Arnav. Tampangnya bukan tampang yang bersebaran di lingkunganku. Kalau ada satu yang seperti dia, aku yakin ingatanku bakal mematri rupanya dalam tinta pantang luntur.
"Kapan kita pernah me.ma.du ka.sih?" tanyaku sembari melipat tangan.
"Enam tahun yang lalu. Kamu berjalan di tepi karang sambil mengoceh "Cowok asu nggak ngotak", lalu kamu menarik tangan saya dan tertawa." Arnav memeragakan bagaimana tangannya ditarik menggunakan tanganku yang bebas.
Aku menarik tanganku segera. Sebersit kenangan melintas. Makian memang hobiku, tapi umpatan yang barusan disebut Arnav mengembalikanku ke peristiwa semasa kuliah. Hanya saja...
"Kalo Coral anak aku, gimana bisa dia lahir padahal aku nggak pernah mengandung dia?"
"Kamu mengandung dia."
"KAPAN?" Emosiku melejit. Jebakannya nggak lagi enak didengar telinga. Kalau tiba-tiba keluar Uya dari balik gorden diikuti teriakan 'LO KENA PRANK', aku bakal sujud syukur. Dibohongi dengan trik kekanakan begini bikin kemampuan kognitifku tercoreng.
"Setelah kita memadu kasih. Tentu saja," Arnav menjawab penuh kepercayaan diri.
Aku tertawa kecil tanpa suara. "Hamil itu butuh sembilan bulan, kenapa aku nggak pernah ingat pernah punya perut buncit diisi janin? Aku juga nggak pernah melahirkan bayi."
"Nereid tidak perlu dikandung sampai sembilan bulan."
(Kira-kira dibaca Ni-reid)
"Ni ... Nire ... Nire apa?" Aku memicing.
Arnav terlihat linglung. Sementara anaknya memandangku murung. Aku mengambil kesempatan untuk lepas dari genggaman Coral dan berdiri. Obrolan ini nggak masuk akal.
"Sebaiknya Pak Arnav nggak mengada-ada lagi. Aku nggak akan membawa obrolan ini lebih lanjut. Terlalu banyak omong kosong dan aku nggak bisa percaya, kecuali Pak Arnav terus terang." Aku menarik napas. Waktunya orang waras memimpin diskusi. "Kenapa Pak Arnav minta aku ke sini? Tolong bicara jujur."
Kalau mau menjadikan aku ibu bohongan sekaligus aktris gadungan, aku bisa mengerti. Bukannya diminta jadi pendengar omongan ngaco. Keponakan cebanku saja nggak bakal tertipu kebohongan semacam ini.
"Karena Coral." Arnav ikut berdiri. Dari tatapannya, terlihat dia sudah menata diri dan ーkayaknyaー mau bicara jujur.
"Oke. Lalu?"
"Saya tidak berbohong mengenai kamu adalah ibu kandung Coral. Kamu benar-benar mengandung Coral dan melahirkannya, hanya saja caranya tidak persis seperti bagaimana manusia biasa melahirkan keturunan."
"Apa buktinya?" tantangku.
Arnav tersentak. Nah, kelihatan bohongnya. Mampus kau cowok ganteng. Bohong ke cewek itu ada batasnya.
Pria muda yang tadi menyajikan minum datang lagi. Dia setengah berlari, berbisik pada Arnav, lalu memicing padaku lagi sebelum pergi ke ruangan lain.
Dia ada masalah apa sih? Sejak pertama ketemu, auranya ngajak musuhan banget.
"Kita bisa membuktikannya," kata Arnav mantap.
"Sorry?"
"Secara medis dan nonmedis."
"Mau tes DNA?"
"Jika terpaksa."
Aku melirik Coral. Dia sudah berdiri di atas sofa, sedang bersandar pada sandaran sofa. Wajahnya memelas sekali kayak kucing liar di depan gang kontrakanku yang langganan aku kasih tempe goreng. Habisnya aku ketemu kucing itu setiap pulang membeli gorengan yang mangkal di ApaMart. Bagi sepotong nggak menguras isi kantong gorenganku.
Pinggirkan urusan kucing liar. Aku balik fokus.
Arnav masih menatapku dengan sorot kepercayaan diri. Aku perlahan meragu. Takutnya nasibku tragis kayak di sinetron jam tujuh malam kecintaan emak-emak. Tes DNA abal-abal hasil nyogok ke lab kayak yang dilakukan tokoh jahat buat menjebak tokoh utama. Arnav bukan orang susah, terlihat dari pakaian yang dia kenakan. Memberikan sepuluh atau dua puluh juta demi memperoleh hasil DNA sepertinya gampang. Dia juga bisa membuat kecurangan dari materi yang akan diperiksa di lab.
Oke, aku harus berhenti mikir yang jelek. Tadi apa tawarannya? Medis dan nonmedis?
"Bagaimana cara nonmedis?" tanyaku.
Arnav menipiskan bibir. Dia menarik napas panjang sebelum menjawab, "Kita akan bertemu Jojola. Dia akan tahu caranya."
"Kenapa harus ada orang lain? Sebenarnya kalian ini punya maksud apa sampai repot-repot menjebak aku? Kalo nyari uang, aku nggak kaya. Seratus ribu bisa aku kasih. Seratus juta mah boro-boro. Kalo minta organ dalam, maaf aku masih hidup dan masih berniat hidup sehat sampai lima puluh tahun lagi," omelku.
"Kami tidak membutuhkan uang dan organ dalam kamu. Coral membutuhkan kamu. Kami membutuhkan kamu." Dengan ekspresinya yang putus asa, sedikit (keliatan) tulus, dan lembut, orang-orang bakal percaya. Tapi aku sudah pasang benteng anti cowok-cakep-tukang-nipu. Serangannya bisa aku pentalkan pakai tenaga dalam cewek depresi yang gagal pedekate.
"Kalo kalian butuh bantuan aku, nggak usah bohong bilang aku ibu kandung Coral. Minta tolong aja baik-baik. Aku bakal bantu kalo sesuai kapasitasku. Bukan diginiin."
Kekesalanku masih menumpuk. Aku menunjuk wajah Arnav. "Kamu baru bikin channel dan konten kamu prank, ya?" tebakku.
Arnav menggeleng tegas. "Saya tidak akan mengerjai kamu. Apa yang saya katakan..." Matanya membesar saat melihat melintasi bahuku. Dia menyerbu ke belakangku. Aku memutar. Dia menggendong Coral, lalu berlari.
Aku bingung dan penasaran. Karenanya aku mengikutinya berlari ke salah satu kamar. Pria muda yang tadi masuk lebih dulu. Di dalam kamar, terdapat kamar mandi. Ukurannya luas. Arnav menurunkan Coral di jacuzzi bersamaan si pria muda mengatur keran air. Aku memerhatikan dari dekat wastafel sambil berpikir, bapak gila, mana ada orang tua yang tiba-tiba masukin anaknya ke bak mandi tanpa melepas baju.
Bisa jadi dia lupa belum memandikan Coral. But it's too weird. Mau mandi pun ada aturannya. Nggak asal naroh anak ke air.
Aku menggeleng dan berdecak. Menyayangkan nasib anak ini yang punya bapak rada miring-miring. Kasihan masa kecilnya. Then...
Mataku membulat. Sesuatu terjadi di sana. Di jacuzzi itu.
Ketika Arnav sedikit bergeser, aku bisa melihat wajah pucat Coral. Bibirnya mengering dan nyaris membiru. Air mengucur. Rona di wajahnya perlahan kembali. Kemudian sesuatu menyentak dari dalam bak menyipratkan air ke lantai marmer. Sesuatu itu bergerak lagi. Nggak ada yang terkejut atau pun takut. Coral tertawa. Arnav tersenyum lega dengan tangan mengusap puncak kepala anaknya. Dan si pemuda menyerahkan bebek karet tanpa cemas sesuatu bakal membahayakan Coral.
Aku meringsek, mendorong Arnav ke samping. Orang-orang dewasa bego. Bagaimana bisa mereka nggak menyadari adanya bahaya?
Aku mengangkat Coral, namun sesuatu menyadarkanku.
"AAAAAAAAAAKH!!"
Byur!
Coral meluncur dari peganganku. Bersama sirip ikan yang menggantikan kakinya.
Gila.
Aku jatuh ke lantai. Nadiku berdenyut nggak karuan berbarengan keringat dingin menyerbu. Badanku bergetar akibat ketakutan yang melanda. Mulutku gagal menyuarakan kebingungan. Aku memandang mereka satu per satu dengan ngeri.
"Si-si... apa... kalian?" tanyaku susah payah.
"Mommy."
###
25/08/2021
Alohaa...
Aku Miss Bek yang habis makan telur asin *it's unnecessary, but you may wanna send me some 😜
Aku nulis Sunshine sebagai selingan aku ngetik cerita Kilo. Di sana, lagi panas-panasnya. Aku butuh something to cool me down. Sementara Sunshine baru dimulai, masih adem gitu sambil pelan-pelan mengenalkan tokohnya.
Aku mau kasih kalian surpres. Tunggu bab berikutnya yes...
Salam sayang,
Miss Bek yang doyan ngemil kentang terus naik berat badan 😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro