12
Aku gagal tidur sepanjang malam. Bayang-bayang Arnav dan pentungannya bergentayangan. Aku nggak bisa bilang kalau aku pro atau mania pentungan. Pengetahuanku terhadap pedang-pedangan terbatas manga hentai milik Denise yang pernah dia pinjamkan padaku semasa kami kuliah dan itu sudah bertahun-tahun silam. Sisanya, aku memuaskan kebutuhan vitamin mataku lewat foto-foto pria berperut kotak-kotak di sosmed dan film tanpa tag dewasa plus plus. Aku masih mencoba menjaga diriku dari yang semacam itu sampai punya lawan main. Bakal aneh banget kalau terpengaruh film yang plus plus tapi dilampiaskan ke bantal guling.
Membahas soal begadang, aku memperoleh dampaknya. Wajahku terlihat mengenaskan dengan lingkaran hitam di bawah mata dan kulit kusam. Aku mendesah. Cermin di hadapanku terlalu jujur menampilkan sosokku yang butuh perawatan bahkan setelah mandi pagi menggunakan sabun berkualitas premium.
Bunyi ketukan pintu mengalihkan perhatianku. Aku menarik napas dalam-dalam. Berlama-lama di kamar mandi tidak akan mengubah keharusanku keluar dari kamar dan bertemu Arnav.
Aku bergegas membukakan pintu. Bue berdiri di depan kamar. Di belakang kakinya, ada si mie gemes yang mengintip. Aku tidak pernah menyangka akan menemukan mereka berdua dalam penampilan super rapi. Bue mengenakan jas, rompi, kemeja berkerah kaku, dan dasi garis-garis. Coral memakai dress yang menyerupai gaun kuning keemasan Belle di film kartun Beauty and The Beast. Yang membedakan Coral adalah rambutnya yang mengembang ikal seperti milik Merida. Pukul enam pagi dan menemukan pemilik rumah sudah rapi telah membuatku berkecil hati.
"Kami ingin mengajakmu sarapan bersama. Kasih tahu aku apa makanan yang kamu suka? Joaquin akan memasakannya. Kalau dia nggak bisa memasaknya, dia bisa memesannya. Semua begitu mudah sejak ada kurir pengantar makanan. Oh, kamu harus tahu Joaquin sangat jago membuat makanan barat dan chinese. Bukan berarti dia nggak bisa memasak makanan lokal. Jadi, apa yang mau kamu makan pagi ini, Shine?" cerocos Bue.
Aku nggak yakin ada yang ingin aku makan di pagi ini. Kemudian perutku bergemuruh. Bue dan Coral membelalak. Perutku sukses mempermalukan aku.
"Astaga! Astaga! Kamu pasti lapar banget. Ayo kita turun. Joaquin pasti sudah menyiapkan sesuatu di meja makan."
Aku sigap mundur selangkah sebelum Bue menangkap lenganku. "Aku harus ganti pakaian dulu." Mereka mungkin tidak menyadarinya, tetapi aku ingat aku masih terbungkus bathrobe.
"Apa kamu sudah mandi?" Bue bertanya dengan perhatian luar biasa yang terpancar di wajahnya.
Aku mengangguk singkat. Kewaspadaanku tumbuh tebal dan tinggi membentengi diri. Setelah mengetahui sosok asli Bue dan semua makhluk di sini, aku merasa perlu berhati-hati. Kuda laut memang terkesan tidak berbahaya. Bukan berarti semua kuda laut itu aman untuk didekati. Semalam aku melihat ada ubur-ubur yang bisa mengeluarkan pisau dapur dari balik jas. Bisa saja ada kuda laut yang bisa mengeluarkan golok dari saku celananya.
"Apa kamu akan memakai pakaian yang semalam?"
Aku mengangguk lagi. Mi gemes berpindah ke sisi Bue dan lebih berani menatapku.
"Di sini ada banyak pakaian. Kamu nggak harus memakai baju yang sama lagi dan lagi. Alyona memindahkan setengah Tanahabang ke sini seminggu yang lalu. Dia nggak akan peduli semua baju yang sudah dia beli itu. Dia baru dapat uang dan sedang belanja di Thailand. Apa baju yang kamu suka? Aku bisa carikan. Atau kamu yang cari sendiri. Ayo."
Aku lengah. Bue sudah menarik lenganku menuju salah satu kamar yang ada di deretan seberang kamarku. Aku tidak bisa melepaskan diri karena terlanjur sibuk memastikan bathrobe yang aku pakai tidak melonggar di bagian dada. Dia melepasku setelah membuka pintu, lalu menyalakan lampu. Aku yang masih berdiri di depan pintu kamar membelalak oleh campuran kaget, ngeri, dan takjub. Itu adalah kamar yang tidak lebih besar dari yang aku tempati. Ruangan itu memiliki lemari yang tingginya mencapai langit-langit. Ada banyak stand hanger yang menggantung pakaian dalam berbagai model dan warna secara acak. Manekin di pojok ruangan dilapisi gaun pengantin warna putih.
"Ambil yang kamu butuhkan. Mana yang kamu suka?" Bue menuju salah satu rak gantungan dan menarik salah satu pakaian. "Apa kamu suka yang begini?" Dia menunjukkan pakaian batik berpotongan mirip kalong yang membuatnya seperti layangan raksasa.
Aku menggeleng. "Aku nggak bisa pakai baju orang lain."
"Ini bukan baju orang lain. Ini baju Alyona. Dia nggak terlalu suka sama baju-baju ini makanya dikumpulkan di sini. Iya, kan, Coral?"
Coral mengangguk. Dia tahu-tahu sudah ada di sebelahku. "Mommy." Dia menunjuk ke salah satu rak. Bue mendekati rak yang ditunjuknya. Kemudian dia menyusul Bue. Menggunakan isyarat tangan, anak itu berhasil membuat Bue menarik beberapa pakaian dari situ.
"Ini semua pilihan Coral. Bagaimana, Shine?" Bue memegang tiga pakaian. Ada cocktail dress berlengan panjang dengan bagian perut terbuka dan dilapisi mute silver yang luar biasa berkelap-kelip. Satu lagi adalah gaun cheongsam panjang dengan potongan rok nyaris mencapai pinggul. Yang terakhir tak kalah aneh, Coral memilih dress setinggi lutut dengan lingkar dada terlalu melorot. Kalau aku pakai yang terakhir, behaku pasti kelihatan.
Nggak ada satu pun pilihan anak ini yang benar. Aku menyisir sekilas dan menjatuhkan pilihan pada gaun dengan warna pastel dari bahan katun yang berpotongan sederhana. Tidak ada lingkar dada yang membahayakan keselamatan, potongan rok yang merugikan, maupun bagian perut yang dipamerkan. "Aku suka ini. Apa boleh aku milih yang ini, Pak Bue?"
Bue menyipitkan mata saat meneliti gaun pendek yang aku pegang. Kemudian dia tersenyum cerah. "Tentu saja boleh. Kamu bebas mengambil baju-baju yang ada di sini. Semua yang ada di sini sudah tidak terpakai lagi dan mungkin akan segera diangkut Joaquin ke suatu tempat tergantung kemauan Alyona. Ambil saja yang lainnya kalau kamu mau. Apa kamu butuh pakaian dalam?"
Apa sih yang sedikit 'wajar' di kediaman ini? pikirku.
Bue sudah melempar pakaian yang dia pegang ke belakang supaya bisa melompat ke balik tumpukan kardus. Pria berbadan kecil itu nyaris tenggelam di balik tumpukan kardus jumbo. Mi gemes ikutan sibuk di sisi lain ruangan dengan membongkar salah satu kardus setinggi 50 cm. Bue kembali dengan kedua tangan memeluk kotak dari kain. Dia menjatuhkan kotak itu di depanku, lalu membuka tutupnya.
"Pilih yang kamu suka," katanya dengan bangga.
Aku tidak bisa menyikapi tawarannya dengan muka sumringah. Aneh banget harus memilih kancut dan beha di depan pria. Aku menolak dengan tegas, "Tidak perlu, Pak. Saya cukup dengan gaun ini."
"Oh, sayang sekali. Tapi bukan masalah. Kamu bisa segera berganti pakaian dan kita makan pagi bersama. Coral, apa yang kamu lakukan?" Bue beralih ke si mochi.
Coral berbalik. Dia mengangkat sebuah bando warna merah dengan pita merah berbintik putih. "Mommy," katanya sambil menunjuk kepalanya lalu menunjuk aku.
"Coral mau kamu pakai bando ini di kepala. Dia benar-benar punya selera fashion yang baik. Bagaimana denganku, Coral? Apa ada yang bisa kamu berikan agar penampilanku jadi spektakuler?"
Aku menerima bando itu. Tanganku ragu untuk mengenakannya. Aku terlalu tua untuk bando pita polkadot secerah ini.
"Shine, bagaimana gayaku?"
Perhatianku berpindah ke Bue. Pria itu menggantungkan kain tipis bermotif di lehernya.
Haruskah aku ikutan gila seperti mereka? Aku itu datang untuk menunaikan tugas dari bos loh!
"Kalo dasinya dilepas, buatku, lebih oke," kataku pada akhirnya.
"Aku setuju, Shine." Bue melepaskas dasinya. Tanpa pikir lagi, dia melemparkan dasi itu ke belakang. "Sekarang kita siap sarapan. Cepat ganti pakaian kamu."
Kegalauanku balik lagi. Gimana aku harus bersikap di depan Arnav nih?
###
31/08/2023
Sunshine balik lagi...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro