1
Orang bilang, cantik itu anugerah.
Menurutku, SALAH.
Hari gini cantik itu bisa diupayakan. Yang dinilai orang jelek bisa menuai pujian cantik lewat makeup, perawatan salon, dan ーif you have more moneyー operasi plastik.
Yang patut disebut anugerah adalah saat lo miskin, tahu-tahu dilempar duit sekoper gede. Atau pas lo kelaparan, ada yang bagi nasi kotak. Bisa juga ada teman yang mendadak ngenalin teman sekantornya karena ingat status 'single happy' lo nyari berubah jadi 'lajang berkarat'.
Aku sedang antri Chatime sewaktu nggak sengaja berpapasan Denise yang baru selesai makan siang. Coffee after lunch is NO. Lidahku nggak cocok sama minuman pahit walau lebih prestigious nenteng gelas berlabel kedai kopi daripada milk tea. Balik ke Denise. Teman ngewarnet tengah malam pas masa kuliah itu langsung mengenali wajahku. Dia mengenalkan aku ke rekan kerjanya sambil kedip-kedip lempar kode 'Gue bakal comblangin lo berdua'.
"So, namanya Jordan?" Cici Bia, bosku sekaligus senior pas di kampus, bertanya.
"Iya." Aku merebut balik ponselku setelah menunjukkan foto Jordan si rekan kerja Denise.
Cici Bia menggeleng sambil memutar kursinya yang dia duduki menghadap mejanya yang membelakangiku. "Denise tuh cowok dekil yang langganan minta diabsenin, kan?"
"Denise udah nggak dekil, Ci. Dia rapi, bersih, wangi, dan nggak kumisan."
"Di ingatan gue, Denise dekil."
Aku angkat tangan kalau Cici Bia sudah berkeras pada penilaiannya. Padahal Denise dekil itu lima tahun lalu.
"Kapan lo mau jalan sama Jordan?"
"Nanti malam."
"Nanti malam?" Cici Bia menoleh dengan muka horor. "Malam ini lo harus survey tempat."
Mateng! Aku lupa punya janji dengan customer malam ini.
"Sekali ini Cici gantiin aku. Please." Aku memegangi lengan Cici Bia. Wajahku memelas. Supaya rayuanku tokcer, aku mengingat adegan jantung Ana yang terkena serangan sihir es Elsa dan VOILA air mata menggenangi pelupukku.
Cici Bia mendesah. "Sekali ini aja. Janji, ya?"
"Janji." Aku mengacungkan kelingking. Ajakan pinky promise-ku ditolak mentah-mentah Cici Bia. Dia sengaja berdecak sinis, tapi aku tahu dia nggak semenjengkelkan itu.
OoO
Aku dan Jordan sudah pernah makan siang beberapa kali ditemani Denise. Selain pertemuan-pertemuan itu, kami juga rutin bertukar obrolan via chat dan telepon. Minat kami klik dan aku yakin ajakan makan malam ini bakal berujung dia nembak aku.
Aaaakh!
Yang aku tunggu-tunggu finally comes. Pacar!
Aku merapikan rambutku sekali lagi, memastikan riasan mataku masih cetar, dan memoles ulang gincu merah muda yang senada motif bunga di dress yang aku kenakan. Pemeriksaan terakhir adalah tersenyum. Jangan sampai ada kulit cabe nyempil atau lipstik yang belepotan di gigi. Well, I'm ready to rock.
Aku keluar dari toilet membawa kepercayaan diri. Jika keberuntunganku bagus banget, dia akan mengantarku pulang dan memberikanku kecupan selamat malam. Mungkin juga ciuman. Kalau suasananya mendukung, perang lidah antar kekasih menjadi salam perpisahan kami.
Oh Mama, aku kangen banget sama bibir cowok.
Aku bisa membuat list apa saja yang mau aku lakukan bareng Jordan. Menyelipkan rencana liburan ke luar negeri pun oke. Tabungan berdua untuk masa depan dan pertemuan kedua keluarga terbayang di benakku.
Jordan terlihat di kejauhan. Dia baru melewati gerbang pemindai hotel. Penampilannya keren as always. Rambut disisir rapi dan kemeja pas badan yang mencetak lekuk otot lengannya. Wajahnya berkisar 7 dari 10. Nggak buruk buat dijadikan teman kondangan. Check!
Mata Jordan bertemu denganku. Dia tersenyum dan melambai. Apa aku pernah bilang saat lo sudah lewat seperempat abad, banyak mengenal orang, dan punya cicilan untuk empat tahun ke depan, maka cowok biasa aja bakal mengalahkan Shah Rukh Khan kalau berpotensi mengalirkan dana ke rekening lo? Aku milih Jordan bukan hanya karena bibirku kelamaan nggak diemut. Aku harus realistis. Mendapat pasangan dan memikirkan masa depan merupakan tanggung jawab orang dewasa (menurutku). And Jordan is the best choice.
"Jor-"
Bluk!
Langkahku tertahan. Sesuatu secara tiba-tiba menghadangku. Menyergap kayaknya berlebihan kalau hanya kakiku yang ditangkap.
Kepalaku menunduk. Hal pertama yang aku lihat adalah mi gemes. Snack kesukaanku semasa kanak-kanak mirip banget rambut anak yang memegangi pahaku.
"Dek, kamu kenapa?" tanyaku ragu-ragu.
Anak itu mengangkat kepalanya. Wajahnya bulat dan membuatku teringat mochi kacang merah pemberian Cici Bia tempo hari.
Aku nggak terbiasa berinteraksi dengan anak kecil. Satu-satunya anak kecil di keluargaku adalah keponakanku yang sudah SMA. Kalau keponakanku resek, tinggal goyang pakai ceban dan dia bakal patuh.
(ceban : uang 10.000)
Apa anak kecil ini juga suka ceban?
Anak ini pasti punya orang tua di sekitar sini. Tapi nggak mungkin aku berteriak 'Siapa yang kehilangan anak mi keriting? Tolong angkat tangan!'.
"Dek, nama kamu siapa?" tanyaku lagi.
Bukannya menjawab, anak itu malah tersenyum lebar. Kemudian berkata, "Mommy."
Heeeeeh?!
Aku segera memegang tangan si anak. Bukannya dilepas, anak itu malah mengetatkan rangkulannya. Apa-apaan anak ini?
"Siapa anak ini?" Jordan menghampiri.
"Aku nggak tahu." Aku menggeleng panik. Anak ini badannya doang yang kecil, tenaga tangannya kuat banget.
"Mommy."
Aku melongo. Di kakiku menempel makhluk kecil yang bakal lucu seandainya menjaga jarak dua meter dariku dan nggak sembarangan memanggilku mommy(?). Oh, tolong deh. Seseorang ke sini dan ambil anak nakal ini. Aku nggak butuh kekacauan di malam pedekateku.
"Aku nggak kenal anak ini," kataku sambil terus mencoba melepas si anak yang memeluk pahaku.
Jordan, teman kencanku, memandangku penuh selidik. Kemudian melirik makhluk berkepala mi keriting. Dia mengangkat bahunya dengan malas. "Aku harusnya mengenal kamu sebelum ngajak makan malam. Sorry, Shine, I don't intend to be a 'daddy'." Dia membentuk tanda kutip dengan jarinya.
Aku meringis. Jordan nggak memberiku kesempatan menjelaskan, malah tergesa-gesa meninggalkan aku.
It's truly sh*t.
Aku mencoba mendorong anak itu lebih keras dan dia malah menempel lebih kuat kaya permen karet yang nggak sengaja terinjak dan makin merekat saat kamu menggosok sepatu ke tanah.
"Lepas dong." Aku memandang berkeliling. Orang-orang memerhatikanku diam-diam tanpa minat membantu. Begini nih dampak pelajaran moral terbatas di buku, bukannya praktik. Nggak ada yang menolong, malah mengirim tatapan menghujat ke arahku.
Heloooo... cewek ini masih lajang!
"Orang tua kamu mana sih?" tanyaku nggak sabaran.
"Mommy." Jawabannya nggak membantu.
Aku mendengkus. Rasanya aku bisa merasakan ubun-ubunku menyemburkan uap panas. "Papa kamu deh. Dimana dia?"
Kepala anak itu berputar ke samping. Aku mengikutinya, mencari yang mana orang tua anak ini.
Semua orang yang aku lihat nggak memberiku kesan mereka mengenal anak ini. Situasi ini bikin aku mau nangis.
"Kamu sudah menemukan ibu kamu, Coral?"
Aku sontak berbalik dan menemukan ... jelmaan malaikat?
###
20/08/2021
Aku juga doyan mi gemes, Shine. Itu mi yang ga dimasak n tinggal kremes terus makan, kan?
Kebayang ga visual Coral?
Aku lagi demen nonton drama kolosal China. Kalo kamu? Rekomendasiin film ato drama bagus buat pembaca yang lain 😁👍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro