Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Rumor

Makasih buat kalian yang baca cerita ini. Cerita ini aku tulis ulang supaya aura office romancenya lebih terasa yak! Semoga kalian terhibur🥰 Jangan lupa juga kasih vote n komennya

***

"Maaf, Pak … saya nggak bermaksud—"

"Saya nggak punya pacar kok. Bener katamu, siapa yang mau sama saya? Moody-an." Brave terkekeh.

Tawa Brave membuat batin Cinde tak nyaman. Walau Brave menanggapi dengan biasa tapi ekspresi sendunya masih bisa tertangkap Cinde walau langit sudah mulai gelap.

"Ayo, kita pulang." Brave berdiri lalu mengibaskan pasir pantai yang melekat di celananya.

Cinde pun bergegas bangkit. Sayangnya, rok pensil itu menghambat geraknya.

"Besok lagi kamu pakai celana kain saja. Daripada kesusahan gerak kaya ikan duyung macem gini." Brave mengulurkan tangannya ke depan muka Cinde.

Cinde menatap kosong tangan besar Brave lalu menengadah. Dadanya berdesir saat pandangan mereka bersirobok.

"Ayo!" Brave menggerakkan keempat jarinya.

Cinde terkesiap. Ia lalu menyambut tangan Brave dan dalam sekali tarikan napas, tubuh Cinde terangkat dengan mudah.

"Makan yang banyak! Biar sehat!" Brave menepuk kedua telapak tangannya. "Badan kok ringan kaya kapas. Kerempeng pula!"

"Ups! Body shaming nih." Cinde membungkuk memasang sepatu yang sempat ia lepas.

"Ngingetin aja. Kerjaan kita banyak. Kalau kamu mau buktiin bahwa orang gagal ginjal itu nggak berarti gagal hidup, berarti kamu harus makan bergizi biar tubuhmu sehat," kata Brave sambil melangkah menapaki pasir putih.

"Siap, Pak!" Cinde memberikan tanda penghormatan. Ia pun berjalan bersisian dengan Brave yang mengundang perhatian di tempat itu karena sosok laki-laki itu mirip seperti artis.

Sekilas Cinde menengok ke belakang dan mendapati dua pasang kaki yang berjalan beriringan. Ia tahu, pengalaman ini tak akan terulang. Ia sekarang enggan berhubungan dengan seseorang. Maka ia pun merogoh gawai di tas selempangnya dan memotret dua pasang tapak sepatu yang tertoreh di pantai.

***

Keesokan harinya, Cinde kembali menjalani rutinitas. Mulai dari menyiapkan kopi dan menyiapkan beberapa berkas dari divisi pengembangan untuk bahan meeting beberapa saat lagi.

Ketika Cinde sedang menggandakan dokumen, Prita menghampiri. Gadis yang membalut raganya dengan baju bermerek itu berdiri bersandar di dinding sebelah mesin fotokopi.

"Cin, sejak kemarin aku kok denger rumor nggak enak, ya?"  tanya Prita tanpa basa basi.

Cinde mengernyit. Tangannya sibuk membagi dokumen menjadi beberapa bendel di atas mesin fotokopi. "Rumor apa, Mbak?"

Prita berdecak. "Nggak usah manggil 'Mbak' deh. Panggil aja Prita. Kita kan seusia."

"Nggak enak. Mbak Prita kan direktur di sini. Harusnya malah aku panggil 'Ibu'," tolak Cinde halus. Ia membasahi jarinya dengan menekan spon basah untuk mempermudah membagi kertas.

"Ish, aku nggak setua itu dipanggil 'ibu'. Lagian, kebetulan aja aku direktur." Prita mengambil tumpukan kertas di bagian samping tengah mesin yang terasa hangat setelah permukaannya tercetak tulisan. "Oh, ya … soal rumor tadi, aku denger kabar nggak enak."

"Kabar apa?" tanya Cinde tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya.

"Kabar kalau kamu ngasih servis plus plus ke Pak Bos."

Sejenak otak Cinde berputar untuk mencerna maksud Prita. "Maaf. Saya nggak ngeh …."

"Kamu apain aja Pak Brave, kok dia bisa ngajakin sekretarisnya nonton tari kecak?" Nada Prita kini terdengar lugas.

"Ngapain aja?" Alis Cinde mengernyit. "Nggak ngapa-ngapain? Emang salah ya Pak Bos ngajak nonton sekretarisnya?"

Prita mendengkus. Senyuman dari bibir berliptint merah tua itu terlihat sinis. “Selama ini Pak Brave nggak pernah ngajakin sekretarisnya. Boro-boro ngajakin nonton pertunjukan kecak, dibayari nonton loh dia nggak mau. Pak Brave itu orangnya perhitungan alias pelit bin cethil aka pokil. Nggak mungkin kamu nggak godain dia! Kamu ngelonin Pak Boss?”

Cinde tertawa nyaring. “Ah, gitu. Fantasi Mbak parah banget! Kebanyakan nonton sinetron kali ya? Perlu Mbak tahu, tanpa saya goda, kayanya Pak Brave udah tergoda sama saya.” Cinde lalu menumpuk berkas dan mengibaskan rambut bob yang menguarkan wangi shampo yang semerbak. Sementara itu, Prita terperangah. Matanya membulat lebar melihat Cinde yang berlalu darinya.

Senyum Cinde memudar perlahan, seiring langkah kaki menjauh. Dadanya kembang kempis saat ia mendengar tuduhan tak berdasar. Ngeloni? Cinde berdecak. Rutukan semua nama hewan kebun binatang Gembira Loka kemudian terlontar begitu saja di batinnya. Dari mana desas-desus tak jelas itu?

Cinde mengembuskan napas kasar. Walau ia berusaha bersikap baik-baik saja, tetapi tetap saja perlahan-lahan matanya terasa panas. Apa salah ia menyetujui ajakan Brave? Lagipula jelas Brave tak akan tergoda dengan gadis penyakitan seperti dirinya.

Kemudian, Cinde teringat dengan percakapannya siang itu dengan Tiara. Ia yakin satu-satunya orang di perusahaan yang tahu ia pergi menonton tari kecak dengan Brave hanya sang sekretaris yang sedang cuti.

Namun, selanjutnya Cinde mendengkus pelan dengan senyuman miring, menertawakan dirinya. "Pak Bos tergoda sama aku? Ya ampun, Cin! Pede banget!" gumamnya sambil menghapus bulir bening yang menggenang di pelupuk mata.

“Sudah siap semua?”

Suara Brave membuat Cinde tersentak. Gadis itu tergagap karena hanya ada mereka berdua di dalam ruang pertemuan itu.

“Sudah, Pak. Saya panggilkan dulu peserta meeting-nya.” Cinde hendak berlalu, tapi Brave menangkap lengan Cinde.

“Mestinya mereka tahu jam berapa ada meeting karena saya sudah ngingetin di briefing maupun di grup pagi ini.” Brave melirik ke jam tangan analognya. Ia mendengkus. “Selalu begini. Nggak on time, kerja seenaknya, tapi minta insentif banyak!”

Derik pintu kaca yang terbuka saat Pak Irwan masuk ke ruang meeting, membuat gerutuan Brave terjeda. Keduanya menatap direktur marketing yang berusia 35 tahun itu. Yang ditatap pun menatap Cinde dan Brave bergantian.

“Sepertinya saya mengganggu ….”

“Nggak, Pak. Saya mau ke kafe untuk ambil snack dulu.” Cinde membungkuk lalu mengayunkan langkah cepat.

Sungguh, Cinde baru menyadari tatapan aneh orang-orang sejak pagi tadi. Selama ini, ia tak terlalu menggubris hal remeh. Rupanya bisik-bisik itu tertuju padanya karena teman-teman kantornya membahas gosip kedekatan bos dan sekretaris yang semakin digosok semakin sip.

Seperti yang Cinde duga, perlakuan para direksi pun terlihat aneh. Ekspresi sinis mereka sering ditangkap Cinde sepanjang jalannya meeting. Namun, Cinde harus fokus mengikuti meeting ini.

"Yakin kita akan menyajikan menu ini untuk konsumen kita? Teh tarik? Apa bedanya dengan teh tarik yang dijual di kafe lain? Inget, ya … kita ini skalanya nasional! Kalian harus bikin ciri khas di setiap menu kita." Brave tampak tak puas dengan proposal pengembangan inovasi baru yang dibuat staf Prita.

"Teh tarik ini beda dengan yang lain karena kita akan menggunakan bahan lokal. Kita akan menggunakan teh varian mint dari perkebunan Kemuning sehingga memberi sensasi segar saat minum. Selain itu, susunya kita rencanakan akan dipasok dari Boyolali," terang Febri, salah satu staf pengembangan.

Brave menyipit di balik kacamata yang melorot di ujung hidung. "Ah, begitu? Sudah kalian teliti rasanya?"

"Su-sudah …." Febri tergagap.

"Sudah apa belum?" Nada dingin Brave membekukan suasana di ruang pertemuan itu.

"Belum, Pak. Persiapan kami belum matang. Waktu kami menghubungi perkebunan, varian mint sedang kosong."

"Sudah saya bilang, saya butuh pengembangan produk baru dalam sebulan ini! Masa iya, kalian memaparkan produk yang bahkan belum kalian cicipi? Dan, pertimbangkan juga soal ketersediaan bahan baku setiap produk yang diciptakan." Brave melempar dokumen yang sedari tadi dia pegang. "Kalian harus ingat ya, di sini … kita menjual minuman dan makanan. Kita harus betul-betul meneliti produk kita nggak hanya edible tapi juga enak dan terjangkau."

Cinde hanya menyimak saja dan mencatat jalannya meeting. Dalam hati, ia setuju dengan alasan Brave yang menolak proposal itu.

"Satu minggu! Saya akan kasih waktu kalian satu minggu untuk membuktikan bahwa produk ini layak dijual. Kalau target tidak tercapai, saya akan pecat semua staf pengembangan." Brave menghentakkan telunjuknya di atas permukaan meja. Kacamata yang dikenakan tidak bisa menyembunyikan mata yang membeliak lebar sehingga membuat kesan menakutkan. "Termasuk direkturnya!"

Pertemuan berakhir sebelum makan siang. Semua orang satu persatu memberesi barang mereka dan pergi dari ruangan itu cepat-cepat, seolah ruangan itu adalah ruang penyiksaan. Hanya Cinde, Brave, dan Prita yang masih tersisa.

"Mas, apa nggak berlebih kamu ngasih target gitu ke anak buahku?" Suara Prita meninggi.

Cinde yang sedang mematikan LCD, melirik ke arah Prita yang dadanya kembang kempis. Alisnya seketika mengerut. Mas? Cinde tahu Prita dan Brave cukup dekat. Tapi, menurutnya sangat kurang pas bila Prita menyebut atasan mereka dengan sapaan 'Mas' di depan salah satu bawahan.

"Mbak Prita, tolong jaga sikap!" sergah Brave keras.

Prita melirik tajam Cinde. "Ah, jadi bener rumor itu, Mas. Nggak nyangka Mas dengan segitu mudahnya berpaling dari Mbak Chilla!"

Sungguh, Cinde tak nyaman mendengar perdebatan itu sehingga akhirnya ia memilih keluar dari ruangan pertemuan. Namun, sekilas yang ia tangkap, Prita terlihat murka seperti perempuan yang cemburu.

Cinde menggeleng. Untuk apa ia memikirkan dua petinggi perusahaan itu. Namun, di saat Cinde sedang sibuk menekuri pekerjaan di belakang meja di depan ruang kaca CEO, tiba-tiba Brave menghampirinya.

"Mbak Cinde, jangan mikir terlalu jauh pembicaraan kami tadi, ya?"

Cinde melongo. Alisnya mengerut. Pembicaraan itu tak ada hubungannya dengannya. Kenapa Brave menjelaskan padanya?

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro