7. Kenangan Lama
Hai, Deers! Adakah pembaca baru di sini? Buat kalian yang baru kenalan sama Brave n Cinde silakan kasih jejak dan bubuhkan bintangnya ya. Semoga kalian terhibur.
💓💓💓
Beberapa hari lalu setelah pulang dari Semarang, Brave mendapat telepon dari rekanannya saat ia sudah memutuskan untuk menurunkan Cinde di situ.
"Map plastik?"
"Iya, Pak. Ada dompet ketinggalan di ruang HRD. Isinya sepertinya hasil lab gitu. Tadi kan Mbak Cinde minta sama Bu Sri, kepala HRD di sini untuk pinjem ruangan. Katanya buat ganti cairan gitu," terang Burhan.
"Ganti cairan?" Brave semakin tak mengerti.
"Ehm, kata Bu Sri, Mbak Cinde sakit gagal ginjal. Tadi Mbak Cinde cerita, pas ganti cairan …."
Seketika jantung Brave berdentum kencang. Ia menatap ke arah pintu kaca rumah makan ikan bakar dan mendapati Cinde yang berjalan melenggang dengan tas yang menggantung di punggung, seolah hidupnya tanpa tekanan.
Sakit? Cinde?
Brave tak menyangka, gadis yang tampak lempeng dan apa adanya itu menderita penyakit kronis yang menurut Brave mengerikan. Ia tidak bisa membayangkan kalau ginjalnya rusak sehingga menyebabkan sampah dalam darah menumpuk dan harus mencuci darahnya seminggu dua kali.
Brave menggeleng sambil mendengkus keras selepas panggilan usai. Ia pun mengayunkan langkah dengan lebar untuk menghampiri Cinde karena tak tega membiarkan gadis penyakitan itu pulang sendiri. Setidaknya Brave masih punya hati. Walau sering kali dicap otoriter dan kejam oleh anak buahnya, tapi ia masih punya rasa belas kasihan pada orang yang lemah.
Sepanjang perjalanan, Brave tak tenang. Sesekali ia melirik Cinde yang terlelap di jok sampingnya. Brave terkekeh pelan dan berdecak tak percaya karena gadis itu tampak tak memedulikannya. Hanya Cinde yang berani menjawab panjang lebar, bahkan di hari pertama gadis itu bekerja.
Selama Brave melakukan perjalanan bisnis dengan Tiara, sekretarisnya tidak pernah berani menjawab ataupun tidur saat ia menyetir. Tiara hanya bicara seperlunya dan lebih menanggapi obrolan Brave. Sementara Cinde … baru beberapa jam, gadis itu sudah nampak keabsurdannya. Menghilang, ngomong ceplas-ceplos, dan tidur sewaktu bosnya menyetir.
Sesampaninya di Solo, Cinde tak kunjung terjaga. Saat Brave hendak membangunkan Cinde, gerakan tangannya terhenti. Ia lalu meraih gawainya untuk menghubungi Burhan agar mengirimkan foto isi map Cinde. Setelah mendapat gambar kertas berjudul resume medis rawat inap, Brave meneruskannya kepada Believe.
"Itu punya siapa, Mas?" tanya Believe yang kemudian meneleponnya.
"Anak buahku. Itu isinya apa, Bil?" tanya Brave begitu ia turun dari mobil dan melangkah ke ruangannya.
"Ya … ringkasan perawatan gitu. Biasanya buat klaim asuransi. Di sini tertulis kalau pasien atas nama Cinde ini didiagnosa CKD stage lima. Persis diagnosa Mbak Chilla," jawab Believe.
Seketika dada Brave bergemuruh seperti guruh di langit yang mendung. Hatimya tercubit-cubit ketika Brave kembali mendengar nama Chilla.
"Ah … gitu? Lah ganti cairan itu …?"
"CAPD. Continous Ambulatory Peritonial Dialysis. Si pasien ini nggak HD kaya Mbak Chilla. Dia pakai cuci darah mandiri dengan menggunakan cairan dialisat yang ditaruh di rongga peritoniumnya melalui selang yang terpasang di perut," terang Believe yang sedang kuliah residen interna tahun terakhir. Jadi, Brave tak salah alamat bertanya pada adiknya.
Brave mengangguk pelan walau kuduknya merinding membayangkan selang yang menembus perut. Namun, setidaknya apa yang diterangkan Believe, menjadi gambaran sekilas tentang kondisi Cinde.
Brave mengernyitkan alis. Sekilas melihat Cinde, pikirannya sontak tertuju kepada Chilla. Wajah pucat Cinde, seperti Chilla yang juga terserang gagal ginjal kronis. Seketika rasa rindu perlahan merasuk kalbu ketika nama Chilla kembali berdengung. Terlebih membaca tanggal yang tertera di resume medis yang difotokan tadi, Brave teringat kalau tanggal itu tepat tujuh hari Chilla meninggalkannya untuk selamanya.
"Kenapa emang, Mas?" tanya Believe lagi saat mendapati kakaknya tidak ada respon.
"Bil, menurutmu, orang gagal ginjal bisa produktif kerja nggak? Kamu tahu Chilla dulu habis HD sering ngedrop. Moodnya juga kadang naik turun."
"Bisa sih, Mas. Apalagi CAPD, dia lebih luwes karena nggak perlu tergantung mesin."
Komentar Believe itu membuat Brave termenung. Pada saat itu juga, ia memutuskan untuk memberi kesempatan kedua pada Cinde.
***
Brave tersenyum ketika melihat wajah kebingungan Cinde. "Map berisi hasil lab dan resume medismu ketinggalan di Semarang. Burhan menghubungi aku dan ngirim map itu."
Cinde menepuk dahinya. "Ya Tuhan, saya pikir jatuh ke mana gitu. Syukurlah. Soalnya ada beberapa hasil lab terbaru untuk kontrol besok."
Namun, selanjutnya Cinde mengernyit. "Tapi, ngomong-ngomong … kenapa saya tetep dipekerjakan, padahal Bapak tahu saya sakit."
Brave mengembuskan napas panjang. Ia juga bingung dengan sikapnya. Selama ini, ia selalu memilih karyawan terbaik, walau mereka sering menggerutu di belakangnya. Tapi, melihat Cinde pertama kali, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri gadis itu. Semangat yang membara, sikap apa adanya, dan yang jelas selalu membuatnya kehabisan kata karena Cinde selalu menjawab dan apa yang diutarakan sering kali mengandung kebenaran. Alih-alih marah, Brave justru merasa keberadaan Cinde seolah hiburan tersendiri dalam rutinitas hidupnya yang membosankan.
Pagelaran tari kecak akhirnya dimulai. Dengan latar lembayung senja di langit, tarian tradisional Bali itu mampu memukai penonton. Tak terkecuali Cinde yang selalu bereaksi apa adanya. Sesekali Brave melirik ke arah gadis yang terlihat sehat itu dan tersenyum sendiri.
Kenapa berbeda sekali dengan Chilla? Mereka sama-sama didiagnosa penyakit yang sama. Tapi Chilla langsung patah arang menghadapi kondisinya. Tunangannya itu menangis dan sering mengurung diri di kamar hingga akhirnya semangat hidupnya meredup. Sekuat tenaga Brave menyemangati dan berjanji akan ada untuk Chilla, tapi gadis itu tetap yakin bahwa hidupnya tak akan lama. Semesta seolah mendengar kata-kata Chilla. Hanya dalam waktu enam bulan sejak awal terdiagnosa, Chilla pun mengembuskan napas terakhir, dan meninggalkan Brave yang patah hati sendiri.
Selepas pertunjukan kecak, Brave mengajak Cinde makan malam di sebuah resto yang dipilihkan Pak Made.
"Kita makan-makan terus nih, Pak." Cinde memberikan cengiran ketika melahap nasi goreng yang disajikan dengan cantik.
"Biar kuat menghadapi pekerjaan berat. Habis ini saya mau ngumpulin tim pengembangan buat bikin project inovasi produk lagi," kata Brave setelah menyeruput lemon hangatnya.
"Perasaan kemarin sudah ada produk baru. Yang es krim itu. Apa masih kurang, Pak?"
Brave tersenyum tipis. "Jelas! Itu produk minuman dingin. Sementara kita belum mengembangkan lagi varian untuk minuman hangat."
"Tapi perusahaan Bapak sampai segitunya cari mug aja sampai ke mana-mana. Trus desainnya juga harus mengandung filosofi d'Kopi."
Komentar Cinde membuat batin Brave tersentil seolah apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang berlebihan. "Cangkir yang bagus, akan menjadi daya tarik tersendiri. Kita nanti juga bisa menjual cangkirnya kalau ada pelanggan yang tertarik. Jadi, keuntungan kita nggak cuma dari penjualan makanan dan minuman. Kamu belum tahu gimana waktu saya keliling Indonesia buat cari biji kopi terbaik. Di kafe kita ini kan ada pilihan jenis kopinya. Mau kopi lampung, kopi Manggarai, kopi Bajawa, bahkan kopi dari daerah Boyolali pun ada."
Kunyahan Cinde terhenti. "Kafe kita? Kafe Bapak kali!" Cinde terkekeh.
Seketika wajah Brave memerah. Kata 'kita' di sini dimaksudkan karena Cinde adalah orang perusahaannya. Lalu kenapa Brave seperti ditolak.
Sialan! umpat Brave dalam hati. Belum pernah ia semalu itu di depan karyawannya. Mana sekarang Cinde seolah tidak peduli.
Brave kemudian menunduk untuk menyembunyikan mukanya yang terasa panas. Bibirnya menipis, mendesiskan rutuk tak jelas. Bisa-bisanya ia selalu tak bisa berkata-kata di depan Cinde. Seandainya bukan Cinde, ia yakin akan memecat orang itu.
Tapi kenapa ia masih bertahan mempekerjakan Cinde?
Pertanyaan itu terus membayangi Brave, bahkan setelah ia sampai di kamar hotel. Brave tak menyangka keberadaan Cinde bisa mengobati kerinduannya pada Chilla. Mereka sama-sama mungil, kecil, dan … menggemaskan?
Brave menggeleng! Ia harus menghapus kata yang terakhir. Ia tidak ingin terjebak dalam hubungan dengan keadaan yang sama dengan masa lalunya di mana Mami pasti akan menentang habis-habisan karena sejak kepergian Chilla, wanita yang melahirkannya itu selalu berpesan agar Brave bisa mendapatkan pasangan yang sehat lahir dan batin.
Tentu saja Brave harus membentengi hatinya seperti biasa. Ia tak membiarkan siapapun mendobrak karena di dalam benteng itu masih bersemayam hati yang terukir nama Chilla untuk selamanya.
Namun, kenapa Brave merasa benteng itu perlahan terkikis oleh gelombang keabsurdan Cinde yang selalu membuat suasana hatinya bergejolak? Kadang ia jengkel karena harus menunggu lama, kadang ia kesal karena tidak bisa membalas Cinde, dan lebih dari itu, ia menyadari ia lebih banyak tertawa saat Cinde adalah di sekelilingnya.
Brave mendengkus. Sepertinya ia benar-benar sangat merindukan Chilla sehingga menanggap Cinde adalah Chilla. Sebaiknya ia harus segera membuang semua perasaan aneh, sebelum semuanya mempengaruhi pekerjaannya.
Apa perlu Cinde aku berhentikan setelah Tiara masuk?
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro