Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Kesempatan Kedua

Deers, Cinde dan Brave datang lagi. Silakan kasih jejak cinta buat reader baru.

💕💕💕

"Cendol!"

Walau tahu Brave memanggilnya, Cinde tak menoleh. Namanya Cinde bukan cendol. Lagipula untuk apa dia menanggapi panggilan itu, seolah mengharapkan pekerjaannya. Tidak! Brave sudah memecatnya tanpa alasan. Bahkan, lelaki itu tega membuatnya pulang sendiri di saat waktu sudah melebihi azan asar sehingga bisa dipastikan, dia akan sampai di rumah setelah maghrib dan membuatnya melewatkan ritual sore.

Tapi, Cinde tiba-tiba teringat. Tasnya terasa ringan. Apa yang kurang?

"Cin!" Suara berat itu kembali menggaung.

Tangannya tiba-tiba ditarik dan membuat tubuh Cinde berputar, hampir menabrak dada bidang bosnya.

Cinde gelagapan ketika hidungnya terbentuk dada Brave. Dia menggosok hidung sedangnya sambil mendongak.

"Ya?" Dia menatap Brave yang menunduk. Tinggi Cinde yang hanya sebatas dada Brave, membuatnya terlihat mungil di depan sang mantan bos. Ya, mantan bos ... karena Cinde sudah dipecat.

Cinde lalu menepis pelan tangan Brave dan menarik kakinya mundur selangkah untuk menjaga jarak dari lelaki berparas tirus itu. "Ada apa, Pak?" tanya Cinde lagi.

Brave berdeham. Dia terlihat salah tingkah. "Ehm, kamu ... boleh pulang sama saya. Anggap saja sebagai ganti makan siang." Mata Brave menghindari tatapan intens Cinde. Untungnya mereka sudah di luar resto, sehingga tidak menjadi pusat perhatian.

Cinde tersenyum. "Nggak perlu, Pak. Saya ikhlas kok."

"Sa-saya ... nggak mau berhutang budi," tukas Brave cepat.

"Yakin Bapak mau nebengin saya ke Solo?" Kedua alis Cinde terangkat.

"Iya. Anggap saja kamu naik taksi online."

"Oke. Kalau Bapak memaksa. "

Brave melongo mendengar jawaban Cinde. Dia masih terpaku di tempatnya.

"Bapak nyesel mau nebengin saya?" tanya Cinde lagi.

"Nggak. Ayo!"

***
Brave mendengkus. Baru kali ini, dia 'mengalah' pada bawahan yang sudah dia pecat. Setidaknya dia masih punya hati untuk tidak membiarkan gadis aneh itu naik bus sendiri. Bagaimana kalau Cinde hilang? Bisa jadi citra perusahaannya akan berimbas. Lagipula, ada sesuatu yang ingin dia konfirmasi sebelum gadis itu tak lagi bekerja.

Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. Sementara Brave yang menyetir, sesekali melirik gadis yang tak ada tanda kesedihan di wajah walau habis dipecat. Seolah Cinde tidak butuh pekerjaan.

"Cin, maaf kalau pengalaman kerjamu di perusahaan kami nggak menyenangkan. Saya saranin supaya kamu lebih disiplin dan bisa berkoordinasi dalam tim." Brave akhirnya membuka mulut setelah mobil melewati tol Bawen.

"Makasih sarannya, Pak. Memang di bagian mana saya tidak berkoordinasi sama tim?" jawab Cinde.

"Kamu nggak tahu salahmu?" Brave mengernyit.

"Bagaimana saya tahu kalau Bapak tidak menjelaskan?"

Brave mendengkus. Cinde selalu menjawabnya. "Apa kamu nggak butuh kerjaan?" tanya Brave.

"Butuh. Saya butuh kerjaan, butuh uang juga. Tapi, Bapak 'kan udah pecat saya untuk kesalahan 'tidak disiplin dan berkoordinasi'. Saya hargai karena keputusan itu adalah hak Bapak sebagai founder dan CEO. Mungkin memang saya belum memenuhi kualifikasi disiplin dan koordinasi seperti yang Bapak bilang," kata Cinde panjang lebar.

Brave mengangguk-angguk. "Kamu nggak mau kesempatan kedua?"

"Buat apa? Yang ada seperti dipaksakan. Atau lebih tepatnya dikasihani." Cinde menatap lurus jalan tol yang mulus.

Brave terkekeh pelan. "Aku baru kali ini ketemu karyawan kaya kamu. Lempeng persis jalan tol. Jarang loh, ada CEO nawarin kesempatan setelah kasih keputusan."

Cinde tak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis lalu memalingkan wajah ke samping dan memejamkan mata hingga dia terlelap.

Sepanjang perjalanan, Brave sesekali menatap wajah lelah yang terlihat pucat. Dalam hati dia penasaran, kenapa ada gadis yang begitu beraninya bercakap santai dengannya. Seolah tidak ada beban atau ketakutan yang muncul di mukanya. Dan lagi, tatapan gadis itu tidak seperti gadis lain yang terkagum-kagum melihat penampilannya yang sering dikatakan seperti aktor Korea.

Tak sampai dua jam, mobil yang dikendarai Brave sudah terparkir di depan kantor perusahaan dan kafe d'Kopi. Jam masih menunjukkan pukul 16.15, ketika dia melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tangan yang hendak menepuk bahu Cinde untuk membangunkan gadis itu, menggantung di udara kala gawainya berbunyi. Dia membuka sejenak pesan masuk dan seketika mengerjap.

***

Cinde tersentak saat mimpi buruk itu datang lagi. Dia mengerjap dan perlahan otaknya tersadar dia tertidur di dalam mobil. Suasana di luar kaca jendela yang remang, memberi tanda bahwa siang telah berganti malam.

"Udah bangun?" Brave melirik ke arah Cinde.

"Pak Brave? Maaf, saya ketiduran. Sudah sampai Solo, ya?" Cinde mengusap pelupuk matanya.

"Udah. Barusan kok."

Cinde mengernyit. Jarum jam tangannya menunjuk angka enam. Langit sudah gelap dan suara azan maghrib sudah berada di ujung penghabisan. Bagaimana bisa perjalanan dari Semarang ke Solo melebihi dua jam? Bahkan Cinde yang tidak bisa mengebut saja, bisa mencapai Semarang tidak sampai dua jam.

Masih mencerna apa yang terjadi, Brave berdeham. "Ehm, saya mau langsung pulang. Kamu ... bisa turun?"

"Ah ... maaf. Terima kasih, Pak. Sekalian saya pamit. Semoga perusahaan Bapak semakin berjaya." Wajah Cinde merah padam karena malu tertidur sepanjang perjalanan. Dia lalu berbalik hendak menarik handel pintu. Namun, lagi-lagi tangan kekar Brave menahannya. "A-ada apa, Pak?" Cinde menatap jari-jari panjang yang mencengkeram lengannya.

"Besok ... kamu datang jam 08.30 ke kantor. Tepat waktu. Nggak boleh telat."

"Heh?" Mata Cinde membeliak. "Tapi, saya "kan dipecat?"

"Ehm, itu tadi masih SP 1." Brave terlihat salah tingkah.

"Bener, Pak?" Senyum lebar terbit di wajah Cinde..

Brave mengangguk.

"Saya tidak memaksa loh, Pak. Bapak sendiri yang meralat keputusan Bapak." Cinde berusaha meyakinkan dirinya.

Brave berdecak. "Ya sudah kalau nggak mau. Masih banyak orang yang mau nglamar di perusahaan saya."

"Siapa bilang saya nggak mau? Saya mau banget! Makasih kesempatannya, Pak. Dijamin ... Bapak bakalan kehilangan kalau nanti saya pergi!"

Sesudah berkata demikian, Cinde mendorong pintu dan meloncat turun sambil menenteng tasnya dengan tarikan bibir lebar.

Sesampainya di parkiran yang masih dipadati barisan motor pelanggan kafe, Seto, petugas parkir di situ, menghampiri Cinde untuk membantu memundurkan motor.

"Udah bangun, Mbak?" tanya lelaki berumur dua puluh satuan itu.

"Kok tahu saya tidur?" Cinde membungkuk, menghadap kaca spion motor di sebelahnya untuk memastikan tidak ada jejak liur atau kotoran di pelupuk mata.

"Tadi Pak Brave bilang nungguin Mbak dulu. Kasihan katanya kalau mau bangunin. Lama juga, ya? Satu jam lebih loh. Bahkan Pak Brave masih sempet masuk ke kantor, trus bikin kopi dan pas balik, Mbak masih tidur."

Cinde mengerjap. Tatapannya kini tertuju pada bagian belakang mobil hitam yang lampu sein kanannya berkedip, sebelum bergabung ke keriuhan jalan raya.

"Pak Brave ... nungguin aku tidur?"

***

Kesempatan kedua yang diberikan Brave pada Cinde, digunakan sebaik-baiknya oleh Cinde. Bahkan pukul 07.30, dia sudah duduk di belakang meja sekretaris.

Melalui Bu Clara, Cinde meminta nomor telepon Tiara, untuk meminta petunjuk tugas apa yang harus dia lakukan.

"Pak Brave itu kalau pagi suka disiapin kopi. Dia udah sarapan dari rumah dan untuk makan siang dia cukup disiapin snack berat. Kamu bakal nggak ada waktu untuk nikmatin rehat siangmu karena Pak Brave sukanya bikin meeting dengan karyawan atau rekanan dari pagi sampai sore. Jangankan untuk makan, mau pipis aja kamu nggak bisa," terang Tiara di telepon. "Kamu tahu sendiri kan, untuk ishoma, Pak Brave hanya batasin waktu 45 menit, jadi bisa dipastiin kamu nggak bisa makan kemana-mana."

Cinde manggut-manggut membayangkan apa yang harus dia lakukan untuk membuktikan niatnya disiplin dalam bekerja. Namun, dia pun mulai khawatir bila ada meeting melewati jam dua belas siang.

"Oh, ya, selesai meeting, kamu harus bikin report-nya dan diserahkan ke beliau lagi untuk ditandatangani. Kamu juga harus buat jadwal Pak Brave selama sebulan ini dan mengingatkan beliau."

Cinde sangat berterima kasih karena Tiara memberikan informasi selengkap dan sedetail mungkin.

"Berat banget jadi sekretaris Pak Boss, ya?" Cinde menggaruk kepala tak gatal.

"Tenang, itu nggak lama. Aku bakal masuk setelah cutiku berakhir. Jadi, sementara ini puas-puasin sama Pak Brave. Yakin, kamu nggak bakal baper walau dia gantengnya kaya Ji Chang Wook. Bawaan dia kan dingin gitu."

"Dingin?" Memang kesan awalnya begitu. Tapi, setelah tahu Brave dua kali meralat keputusannya, sepertinya Cinde kurang setuju.

Cinde mengembuskan napas panjang. Dirinya bergumam sendiri memikirkan banyaknya hal yang harus dia kerjakan. Disiplin ... koordinasi. Dua hal ini yang harus dia tingkatkan kinerjanya.

Saat Cinde mulai larut mempelajari agenda bulanan yang sudah dibuat Tiara, telepon di meja kerjanya berbunyi. Gadis itu mengangkat gagang telepon berwarna putih dan menyapa sang penelepon.

"Masuk ke ruanganku!" Perintah suara di speaker telepon memotong sapaan Cinde.

"Ya, Pak." Tanpa berlama-lama Cinde meletakkan kembali gagang telepon dan bergegas ke ruangan Brave.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Cinde saat sudah berada di ruangan kepala.

"Report meeting ke Semarang kemarin bagaimana?" tanya Brave sambil menaikkan kacamata bacanya ke pangkal hidung.

"Sudah saya buatkan. Saya ambil sebentar." Cinde keluar dan segera masuk kembali dengan sebuah map di tangannya.

"Ini, Pak. Sudah saya buat." Cinde mengulurkan map itu. Brave menerima dan membuka lembar demi lembar halaman laporan itu. Brave mendongak.

"Bagaimana bisa kamu membuat report selengkap ini sedangkan kamu nggak ada di sana?" tanya Brave heran dengan kerutan dahi yang jelas.

"Saya menyalin semua yang dicatat Bapak." Cinde memberikan cengiran.

Brave mendengkus, sambil membaca setiap kalimat di kertas yang sudah dicetak Cinde pagi tadi. Gara-gara laporan itu, Cinde terpaksa tidur lebih malam.

Setelah diperbolehkan Brave keluar dari ruangan, Cinde kini harus menyiapkan meeting dengan kepala divisi pada pukul 11.00. Sesuai perintah Brave, dia harus mempersiapkan bahan meeting yang sudah disiapkan Tiara, termasuk laporan hasil kunjungan kemarin, LCD, laptop, dan memesan snack serta minuman ke kafe.

Dengan gesit, dia keluar masuk ruang meeting memastikan semua siap dan sesudahnya dia kembali menemui Brave yang masih sibuk mengetik di depan laptopnya.

"Tempat sudah siap, Pak. Para Kadiv juga sudah hadir." Cinde memberitahu Brave setelah semua siap.

Cinde tak bisa memungkiri kedisiplinan dan koordinasi solid yang Brave terapkan. Pada pukul 11.00 tepat, rapat koordinasi antar divisi dimulai. Cinde sebagai orang baru hanya menjadi pendengar. Setiap pembicaraan ia catat di dalam tablet yang dipinjamkan perusahaan.

Jam 12.00 ....

Cinde melirik ke kanan kiri. Semua pandangan anggota rapat tertuju pada Pak Irwan yang sedang presentasi tentang strategi marketing produk baru yang akan mereka luncurkan. Dengan perlahan, Cinde memundurkan kursinya dan mengendap keluar dari ruangan itu.

***

Sementara itu, Brave memperhatikan setiap presentasi dari kepala divisi, sehingga tidak memperhatikan anggota rapat berkurang satu.

"Ehm, OK. Bagian ini menjadi catatan penting. Mbak Cinde, tolong digaris bawahi!"

Saat Brave tidak mendapati yang diajak bicara merespon, dia pun terpaksa mengalihkan perhatiannya dari screen presentasi ke tempat duduk di sebelahnya

"Loh, mana Cinde?" Brave mengernyit.

Semua orang yang hadir di situ seketika menengok di kursi Cinde yang kosong. Mereka pun terkejut karena baru sadar Cinde tak ada di tempat di tengah rapat.

Dengungan bisik-bisik peserta mulai terdengar. Mereka membicarakan sekretaris CEO baru yang berani meninggalkan pertemuan.

Brave mengetuk permukaan meja dengan buku jarinya hingga keributan lenyap seketika. "Silakan lanjut, Pak!" titah Brave dengan wajah kusut.

12.20 ....

Setelah dua puluh menit, barulah pintu ruang meeting terbuka. Walau tak berderik, Brave tetap menoleh karena sejak dia menyadari absennya Cinde, bola matanya selalu bergulir ke pintu.

Saat kaki Cinde melangkah masuk, tiba-tiba Brave berkata tepat di akhir presentasi Pak Irwan. "Meeting kita akhiri!"

Ekspresi kebingungan tampak di wajah semua peserta rapat. Namun, Brave tak peduli dan bangkit begitu saja sambil memberesi barangnya. "Mbak Cinde, ikuti saya ke ruangan!

💕Dee_ane💕


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro