2. Tugas Pertama
Hai, Deers! Cinde datang lagi. Dengan revisi yang lebih matang. Semoga kalian suka🥰 Jangan lupa reader baru komen n vote yak
💕💕💕
Brave Ganendra menatap tumpukan berkas yang menggunung. Ada beberapa dokumen pengajuan waralaba d'Kopi yang menanti untuk dikaji. Brave tak pernah menyangka, perusahaan ynag dirintis dua tahun lalu itu berkembang pesat dan sekarang mereka sudah mempunyai seratus gerai kafe kopi di seluruh pelosok Indonesia. Bagi Brave, jumlah itu cukup fantastis mengingat bagaimana dulu dia bergelut menjadi barista untuk tambahan uang saku saat kuliah di S1 dan S2 Bisnis Manajemen di National University of Singapore. Siapa yang mengira pekerjaan sampingannya akan menjadi pekerjaan utamanya di kemudian hari.
Alih-alih melamar di perusahaan besar, Brave memilih untuk start up bisnis kafe kopi. Passion-nya meracik kopi dan kesukaannya mencecap kopi setiap pagi membuatnya bersemangat untuk membuka gerai di daerah kampus universitas negeri di Solo. Berkat ketekunan dan dukungan Chilla, sang kekasih yang kini pergi meninggalkannya, Brave berhasil di titik ini.
Racikan kopi yang disuka konsumen, membawanya untuk melebarkan sayap. Tidak hanya menjadi pemilik gerai dengan merek kafe lokal saja, tetapi dia mampu membuka perusahaan waralaba untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
Namun, di antara berkas yang menggunung, ada satu dokumen yang mengganjal di lacinya. Dia memang sengaja menyisihkan dokumen milik Fidelis Narada. Ditariknya laci meja dan dia mengambil sebendel berkas dengan tulisan Dokumen Pengajuan Kerjasama. Alih-alih mengajukan kerjasama waralaba, dokumen itu berisi tentang proposal pengajuan agar perusahaannya menjadi pemegang brand yang diusung. Janji Hati.
Menurut Brave, konsep yang ditawarkan merek itu adalah "beli sekali untuk kembali", sehingga diharapkan minuman dan makanan yang disajikan akan menjanjikan keuntungan bagi perusahaan. Selain itu, produk yang ditawarkan pun cukup variatif dan dari segi harga juga masih sangat terjangkau.
Memang berbeda dengan visi misi d'Kopi yang ingin menghadirkan kopi cita rasa lokal Indonesia yang disukai secara global. Namun, apa yang ditawarkan sang pemilik usaha cukup menggiurkan.
Seandainya Chilla masih ada, pasti dia akan bertanya pada kekasihnya. Sayangnya, posisi Chilla sebagai direktur pengembangan produk, digantikan oleh Prita, mantan adik iparnya.
Tak ingin gegabah dalam bekerjasama, maka dia pun kembali menekuri berkas yang masuk ke mejanya kemarin.
***
Sementara itu, Cinde kembali duduk di meja kerjanya yang baru setelah berkeliling di setiap divisi termasuk gerai pusat yang berada di sebelah kantor. Dia duduk di belakang meja kayu jati berlapis kaca yang terlihat kosong. Hanya ada satu layar komputer tablet dengan printer yang berada di meja kecil di samping kanannya. Walau tak berpenghuni selama seminggu, nyatanya permukaan meja begitu bersih karena tidak ada debu yang tertempel di jarinya saat Cinde mengusap permukaannya.
Cinde melirik ke arah ruangan kaca yang saat ini sudah terbuka horizontal blind-nya. Dia sedikit memicing, memperhatikan bos barunya yang serius bekerja menghadap laptop.
"Aku ngapain, ya?" Cinde mengetuk-ngetuk meja itu dengan jari-jemarinya bergantian. Kepalanya celingak-celinguk mencari apa saja yang bisa dia kerjakan.
Di saat Cinde kebingungan, suara perempuan menyapanya. "Hei!"
Cinde mendongak. Dia seketika tersenyum saat melihat perempuan tinggi dengan rambut sebahu tergerai di pundak. Dandannya yang cukup tebal menurut ukuran Cinde yang tak terlalu suka memoles wajah berlebihan, membuatnya tidak bisa menebak bagaimana wajah asli perempuan itu di balik topeng make-up.
Cinde lalu menunjuk dirinya apakah wanita itu berbicara padanya.
"Iya, kamu! Emang ada siapa lagi selain kita? Kamu pikir aku ngomong sama tembok?" Wanita itu berkata dengan nada jutek.
"Maaf, Mbak." Cinde nyengir merasa tidak enak.
"Kamu ngapain di sini?" tanya perempuan itu yang sekarang duduk di depan mejanya sambil menyilangkan kaki di paha.
"Saya karyawan baru. Tapi diminta Pak Brave menggantikan posisi sekretaris untuk sementara waktu," jawab Cinde.
"Gantiin Tiara? Seharusnya kamu di divisi marketing, 'kan?" Prita mengernyitkan alis.
Cinde hanya mengangguk sebagai jawabannya.
"Siapa namamu?"
"Cinde," jawab Cinde mencermati muka perempuan yang ada di depannya yang bisa dibilang cantik karena memiliki hidung yang menjulang. Sewaktu perkenalan per divisi tadi, Cinde tidak bertemu dengannya.
"Siapa?" Perempuan itu terpaksa memajukan badannya supaya lebih bisa mendengar.
"Cinde, Mbak," ulang Cinde yang juga memajukan badannya supaya suaranya lebih jelas.
"Oh, Cinde. Aku Prita." Prita mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Cinde yang dibalas oleh gadis itu. "Denger. Asal tahu aja ya, yang bisa tahan jadi sekretarisnya Pak Bos itu cuma Tiara. Semua karyawan di sini nggak ada yang betah. Aku aja yang udah lama kenal, masih heran ada atasan galak dan semena-mena." Gadis itu menggelengkan kepala.
Sementara Prita menyebutkan segala kesan buruknya tentang Brave, Cinde mendongak saat melihat sosok yang dibicarakan berjalan ke arah mereka dan sekarang berdiri di belakang Prita. Berulang kali, Cinde memberi kode dengan gerakan alisnya namun Prita tidak segera paham.
"Brave itu maniak kerja. Dia aja berani membentak aku di depan staf pengembangan. Gila banget! Nggak pandang bulu dia. Padahal kami cukup deket loh," cerocos Prita tanpa menyadari ada yang memperhatikannya.
Wajah Brave terlihat tenang, mendengarkan. Seolah menanti waktu yang tepat untuk menyergap mangsa.
"Kamu ngapain sih dari tadi angkat alis mulu? Sakit mata?" Prita akhirnya menyadari kode Cinde.
Cinde tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa memberi cengiran dan menunjuk ke arah belakang Prita tanpa suara.
"Apaan sih tunjuk-tunjuk?" ucap Prita gusar.
Brave berdeham. Orang yang dibicarakan Prita berdiri melipat tangan di belakangnya duduk. Sementara itu, Prita pelan-pelan menengok ke belakang, seolah berharap apa yang dipikirkannya tidak terjadi.
"Eh, Bapak. Apa kabar, Pak?" Prita yang serba salah hanya bisa nyengir.
"Jadi, selama ini perusahaan menggajimu hanya untuk menjelek-jelekan atasanmu saja?" tukas Brave ketus.
Prita dan Cinde hanya bisa duduk mematung.
"Dan kamu Cendol ... siapa tadi namamu? Cepet ikut aku!"
Cinde buru-buru bangkit. Dia berdecak pelan saat namanya diganti seenaknya. "Saya Cinde, Pak," kata Cinde mengoreksi namanya.
"Ah, iya. Cendol! Sekarang kamu mulai bertugas. Sebagai sekretaris, kamu harus mendampingi pimpinan ke manapun juga," jawab Brave sambil berlalu.
Cinde memandang Prita, kebingungan. Karena dia tak lekas mengikuti Brave, lelaki itu langsung menegurnya dengan bentakan keras.
"Kamu masih mau di situ sampai besok pagi?" seru Brave membuat jantung Cinde seperti mau copot.
Gila nih, Bos, galak banget! Batin Cinde yang langsung menyambar tas punggungnya.
Cinde berlari kecil mengejar Brave. Langkah sang CEO yang panjang membuat Cinde kesusahan mengejar lelaki itu.
"Buruan! Kalau jalan kaya siput, kapan nyampainya?" sergah Brave.
Cinde terengah-engah memaksakan mempercepat tempo jalannya. "Iya, Pak. Ini juga lari!" jawab Cinde dengan wajah kusut.
Brave melirik Cinde yang akhirnya bisa mengimbangi langkahnya. Alis mengerut hingga membentuk tiga garis di pangkal hidung, karena heran ada bawahannya yang menjawab perintahnya. Namun, Brave hanya mengembuskan napas panjang.
"Kamu bisa nyetir?" tanya Brave.
"Bisa, Pak."
"Nih!" Brave melempar kunci mobilnya dan spontan ditangkap Cinde.
"Kok tidak pakai sopir, Pak?"
"Sebagai pengusaha, kita harus bisa melakukan efisiensi biaya untuk mendapatkan margin keuntungan semaksimal mungkin buat perusahaan. Kalau kerjaan sopir bisa dilakukan sendiri atau sama sekretaris, kenapa harus mempekerjakan sopir?" tukas Brave.
"Oh .... " respon Cinde. Dalam hati dia mendengkus dan bisa langsung menyimpulkan betapa perhitungannya bos barunya.
"Kita ke Semarang lewat tol. Pastikan jam sebelas kita sampai. Mengerti?!"
Cinde melihat angka di jam digitalnya. Seketika dia membeliak lebar. Bagaimana bisa dia menyetir ke Semarang dalam waktu dua jam? Bisa jadi bukannya selamat, tapi malah masuk ke akhirat!
💕Dee_ane💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro