Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Business Trip ke Yogya

Aku usahain, Cinde bakal daily update. Rewrite ternyata lebih susah karena cerita ini banyak holenya. Semoga semakin nyaman dibaca ya, Deers. Jangan lupa jejaknya

💕💕💕

"Nggak, Pak. Buat apa mikir terlalu jauh? Saya bukan siapa-siapa juga."

Brave mengerjap, tersadar melakukan kekeliruan. Untuk apa juga ia mengatakan hal yang tidak penting seperti itu pada sekretarisnya. Senyum canggung pun terbingkai. Ia seketika berbalik, membelakangi Cinde dengan wajah memerah saking malunya.

"Ish, ngapain tadi aku ngomong gitu?" Brave berdecak keras begitu memasuki ruangan. Langkah panjangnya memburu seolah ingin segera menyembunyikan malunya di belakang meja kerja yang terbuat dari kayu jati. Debum bendelan berkas yang dibanting lelaki itu menggetarkan dua bingkai foto keluarga di bagian kiri dan fotonya dengan Chilla di bagian kanan. Ia kemudian duduk dengan kasar di atas kursi putar hingga sandaran punggungnya berayun maju mundur.

Dari ekor matanya, Brave melirik ke arah Cinde yang tampak sibuk menarikan jari-jari kurusnya di atas keyboard. Kepala gadis itu bergoyang ke kanan kiri dan bibirnya tampak komat-kamit. Tanpa sadar, tarikan bibir Brave mengembang. Ia heran dengan Cinde yang tampak 'cool' di matanya. Seolah apa yang terjadi di dunia ini, tak berdampak pada mood gadis itu.

Ingatan Brave kembali kepada obrolan singkatnya dengan Prita beberapa menit lalu di ruang meeting.

"Mas, Mas tahu nggak kalau sekarang CEO kita yang terhormat sudah tergoda sama sekretarisnya?" Prita menyipit menatap sengit atasannya.

Alis Brave menukik tajam. "Tergoda? Maksudmu opo?" 

"Iya! Ter-go-da!" Prita memberi penekanan pada kata terakhir. "Waktu di Bali, Mas ngajakin nonton kecak di Uluwatu, kan?"

Kepala Brave meneleng. "Kok tahu? Cinde yang bilang?"

"Bukan! Sekretaris lamamu. Tiara!" sahut Prita. Gadis itu lalu menyandarkan pantatnya di tepian meja dan bersedekap. Matanya masih lekat pada Brave yang kebingungan. "Mas habis dikasih servis apa aja sama Cindil itu? Wahhh … nggak nyangka anak itu kelihatan polos tapi ternyata …."

"Ta! Kamu sembarang aja sih kalau ngomong!" sergah Brave gusar.

"Loh, kenyataan 'kan? Mas udah berpaling dari Mbak Chilla!"

"Apa buktinya?" Kedua alis Brave terangkat ke atas.

"Tadi waktu meeting, habis Mas marah-marah ke stafku, muka Mas berubah seratus delapan derajat pas ngomong sama Cindil!" Prita membeliakkan mata, tak takut dengan pandangan Brave. 

Brave menggelengkan kepala, menyangkal tudingan Prita. Setahun ditinggal Chilla, tak mudah baginya untuk move on begitu saja. Kenangan bersama Chilla selama berpacaran telah melekat di otak Brave dan mengendap di dasar hati pria itu. Jelas sangat sulit baginya untuk berpaling dari Chilla. Walau Anchilla Dominique telah pergi, tapi bayangannya masih menghantui di setiap sudut kantor perusahaan yang telah ia bangun bersama Chilla.

Brave ingat bagaimana Chilla ikut mendesain kantor yang nyaman ditempati para pegawai. Tak hanya itu, dalam menentukan furniture kafe serta cangkir pun, Chilla selalu memberikan usul. Ia akan mencoba duduk kursinya, menumpukan lengan di atas meja, sambil memegang cangkirnya. 

"Meja ini nggak nyaman, Mas. Terlalu kebarat-baratan dan nggak sesuai sama filosofi d'Kopi, 'Dari alam Indonesia, untuk generasi muda'. Kita bisa pake meja ukir simple untuk menunjukkan kekhasan Indonesia. Trus biar kesan mudanya dapet, kita ntar hias dindingnya dengan lukisan artistik yang instagramable. Oh, ya … cangkirnya nggak banget. Terlalu polos!" Begitu pendapat Chilla yang berapi-api saat Brave akan membuat kafe kecil yang menjadi cikal bakal perusahaannya. Siapa sangka usaha ini akan berkembang di luar kota Solo. Bahkan sampai ada beberapa orang yang menawarkan diri untuk menjalin kerja sama waralaba.

Tiba-tiba, Brave teringat dengan proposal pengusaha asal Yogyakarta yang ia terima beberapa hari lalu. Ia lantas mengontak Fidelis Narada, pemilik brand Janji Hati.

"Saya ingin langsung datang ke kafe Mas Nara," ujar Brave setelah mereka sempat berbasa-basi sejenak.

"Boleh, Pak."

"Jangan panggil saya 'Pak'. Usia kita cuma terpaut satu tahun."  Brave menatap kartu nama kecil dengan desain elegan, yang ada di tangannya.

"Oh, ya? Berarti usia Mas Brave 30 tahun? Wah, saya nggak nyangka! Memang waktu cek ke website perusahaan, Mas Brave kelihatan muda. Saya pikir wajahnya aja yang muda." Suara renyah Nara terdengar takjub.

Brave terkekeh. "Jadi … besok saya ke sana jam berapa?"

"Jam 11.00 bisa. Kafe saya buka jam 10.00."

Setelah memastikan janji mereka, Brave memanggil Cinde. Tak berapa lama kemudian, Cinde masuk dan berdiri di tempat yang sama bila gadis itu menghadap, seolah di lantai sudah ada tanda bertuliskan 'ini tempat berdiri Cinde'.

"Besok kita ke Jogja," kata Brave.

Cinde mengerut. "Maaf, Pak. Tapi, besok nggak ada agenda ke luar kota."

"Iya. Barusan saya nelpon pemilik kafe asal Jogja. Dia pengin mengembangkan brand-nya dengan menawarkan diri agar  perusahaan kita berinvestasi ke usahanya. Niatnya, dia pengin pasrahin manajemennya ke kita.  Makanya kita lihat dulu apakah usahanya memang semenarik proposalnya."

"Harus dengan sekretaris ya, Pak?" tanya Cinde terlihat ragu.

"Kenapa? Apa kamu terpengaruh sama rumor itu?" Brave melepas kacamata bacanya. 

"Bapak juga dengar?" 

"Barusan tadi. Bu Prita yang bilang." Brave mendongak, menatap Cinde. "Kenapa? Kamu mau mundur?"

"Nggak, Pak. Saya "kan nggak melakukan hal yang digosipkan. Lagian saya bukan tipe Bapak. Bagaikan langit dan bumi sama pacar Bapak di foto itu. Eh, mantan terindah ding. Kan katanya Bapak jomlo." Cinde meringis. 

Brave terkekeh. Dalam hati ia membenarkan ucapan Cinde. Cinde dan Chilla berbeda jauh. Seperti siang dan malam. Walau sama-sama berwajah pucat, tapi sorot mata Cinde memperlihatkan asa yang membara bagai mentari. "Oke, kalau begitu besok kita berangkat habis briefing pagi. Siapkan kamera untuk memotret kondisi di sana."

***

Keesokan paginya, setelah briefing pagi, Brave dan Cinde berangkat pada pukul sembilan tepat. Seperti biasa, Brave akan menunggu sekretarisnya yang selalu terlambat.

"Kenapa sih nggak bisa on time?" sergah Brave dengan muka kusut. Ia benci menunggu. Baginya, menunggu adalah hal yang membosankan walaupun hanya satu menit.

"Baru lewat dua menit, Pak." Cinde meringis dengan napas kembang kempis. Dia menyingsingkan tali selempang tas kamera agar tak melorot.

"Kamu kurang olahraga. Turun tangga aja terengah-engah." Mata Brave menyipit tajam. "Ayo, berangkat!"

"Biar saya yang setir, Pak." Buru-buru Cinde mengejar Brave.

"Nggak usah. Bisa sore nanti baru sampai." Dengan kaki panjangnya, Brave berjalan mengitari kap mesin depan. Sementara itu, Cinde masih melongo di tempatnya, bahkan sampai sang bos sudah duduk di jok belakang kemudi. "Heh, malah ngalamun! Ayo!"

Cinde terkesiap, lalu membuka pintu kabin depan. Setelah duduk, ia menarik seatbelt dengan kuat.

"Woi, woi, woi … sabar, Mbak! Rusak semua ntar mobilku!" Brave melepas sabuk pengamannya dan mencondongkan badan melampaui tubuh mungil Cinde.

Gadis itu menoleh dan seketika wajah mereka berhadapan. Mungkin kira-kira dua jari jarak antar ujung hidung keduanya. Saking dekatnya wajah Cinde, Brave bisa merasakan embusan napas tak beraturan dari hidung gadis itu. Matanya pun mampu memindai bola mata kecokelatan yang sekarang berhasil menenggelamkan dalam pusaran pesona yang tak Brave mengerti. 

"Pa-Pak …Bapak ngapain?" Suara Cinde bergetar. Kedua tangannya menempel dada Brave dan mendorong kuat.

Brave mengerjap saat kesadarannya kembali. Tangan Cinde yang menempel itu seolah menyalurkan getaran listrik yang membuat jantungnya berdebar sangat cepat. 

"Ah, aku … eh saya mau benerin seatbelt-mu." Brave gagu. Lidahnya kelu. Ia semakin mencondongkan badannya dan menarik sabuk pengaman yang tiba-tiba macet. "Nih, bisa! Kamu sih, kasar gitu! Kalau macet jangan dipaksain. Rusak, tak suruh ganti!" Brave menyembunyikan kecanggungannya dengan sergahan keras.

Cinde berdecak. "Iya, Pak. Maaf. Ntar kalau ada meeting luar kota, saya naik bus aja. Biar nggak ngerusak mobil Bapak."

"Habis itu, saya bisa dianggap bos yang nggak punya ati."

"Kan udah dianggep gitu sama teman-te—" Ucapan Cinde terputus ketika Brave meliriknya tajam. 

"Sebaiknya kamu duduk manis dan tidur, daripada ntar ada yang meledak!"

Cinde terkikik. "Siap, Pak. Tapi, tenang aja, Pak. Walau Bapak perfectionis bin idealis dan tiba-tiba suka marah, di mata saya Bapak baik karena ngasih kesempatan saya bekerja."

Kata-kata Cinde bagaikan angin semilir yang menyejukkan batin Brave yang sempat panas karena dianggap pemimpin yang otoriter. Tapi, Brave melakukan semua demi perusahaannya. Walau kesempurnaan bukan milik manusia, Brave percaya bila ia mengusahakan yang terbaik, maka hasilnya pun tak akan berkhianat.

Sepanjang perjalanan, wajah Brave begitu cerah berseri seperti langit biru di pagi menjelang siang ini. Senandung Cinde yang kadang salah menebak nada, lebih menghibur dari pada lantunan merdu penyanyi pop Korea kesukaan Chilla yang sering ia dengar ketika berkendara.

"Cendol, kayanya lama-lama telinga saya bisa budeg deh." Brave mulai membuka suara.

"Heh, kenapa, Pak? Bapak sakit telinga?" tanya Cinde dengan ekspresi cemas yang tidak dibuat-buat.

"Ya, gara-gara nyanyianmu. Itu nyanyi apa kumur-kumur ya?" goda Brave.

"Ish, Bapak nggak lucu." Cinde berdecak sambil menggeleng. "Itu tadi … yang bener suara kaleng diseret, Pak." 

Brave tergelak. Ekspresi Cinde terlihat serius saat bercanda. Satu hal yang Brave suka saat bekerja dengan Cinde adalah hari yang panjang dan melelahkan di perjalanan tak terasa menjemukan dengan celetukan-celetukan aneh gadis itu.

"Pak, coba kalau Bapak ketawa gini, pasti anak-anak buah Bapak pada seneng deh," komentar Cinde.

Brave mengernyit. "Emang selama ini saya bener-bener nggak disukai, ya?"

"Bapak itu kalau di kantor jarang senyum. Apalagi ketawa. Kalau pas meeting, nakutin banget mukanya. Kaya nggak ada manis-manisnya gitu."

Brave kembali terkekeh. "Saya kan bukan air mineral yang ada manis-manisnya itu."

Bibir atas Cinde tertarik ke kiri atas. Hanya gadis itu yang berani mencibir Brave.  "Sebenarnya, kalau Bapak melakukan pendekatan yang lebih ramah, pasti anak buah Bapak bekerja lebih happy. Gaya kepemimpinan otoriter hanya akan menciptakan ketakutan. Mereka jadi bekerja di bawah tekanan sehingga hasil pekerjaannya tak maksimal."

Batin Brave tergelitik. Kritik Cinde persis dengan Chilla. Mendiang pacar Brave itu selalu mengingatkannya agar tidak terlalu otoriter. Namun, Brave selalu mengelak dan berdalih bila tidak menerapkan gaya kepemimpinan seperti itu, perusahaan tak akan maju.

"Kamu … selalu ngomong apa adanya gini, ya?"  tanya Brave sambil melirik Cinde.

Cinde mengangat bahu. "Saya mengatakan apa yang ada di hati dan otak saya, nggak ke sembarang orang kok, Pak. Maaf kalau Bapak nggak berkenan."

"Saya tahu yang terbaik buat perusahaan saya. Kamu … cukup bekerja saja dengan baik sesuai aturan, kalau masih mau bekerja di perusahaan saya." 

***

Selepas obrolan itu, suasana menjadi kaku. Brave semakin teringat dengan Chilla karena ucapan Cinde barusan. Sepanjang perjalanan, ia memilih diam sementara kepalanya riuh dengan memorinya bersama Chilla. Sampai tak terasa, mobil yang mereka tumpangi memasuki parkiran kafe sederhana di daerah Babarsari.

"Kita sudah sampai. Siapin kameranya, ya?" titah Brave dengan jari yang sibuk mengetikkan pesan di gawainya.

"Siap, Pak." Cinde mengambil tasnya dari bawah jok.

Mereka pun turun dari mobil dan memasuki kafe yang berkonsep homy seolah pengunjung sedang berada di rumahnya sendiri. Di ruang paling depan terdapat sofa layaknya ruang tamu. Di bagian dalam ada sofa lain di dekat rak dengan koleksi buku-buku yang bisa dipinjam pengunjung. Agak ke belakang, terdapat meja barista dengan beberapa kursi tinggi yang diperuntukkan bagi para pengunjung yang ingin menyaksikan kepiawaian sang barista.

Brave menoleh ke kanan kiri sejenak, lalu tersenyum kala melihat laki-laki muda yang berjalan menghampirinya. "Mas Nara?" 

Pria itu mengangguk dengan tarikan bibir lebar. Penampilan Fidelis Narada itu ternyata memang sama persis dengan foto sehingga Brave tak sulit mengenali. Setelah jarak antara mereka terkikis, Brave bisa lebih detail memperhatikan calon rekanannya. 

Tinggi Nara setara Brave. Kulitnya putih bersih dengan lesung pipi saat tersenyum. Bulu halus di pipi, dagu, dan atas bibir menambah kesan macho dan mempertegas wajah khas Arab.

"Yup." Nara menjabat tangan Brave. "Sendirian?"

"Nggak. Tadi sama sekretaris saya. " Brave menggeser posisi berdirinya agar Cinde yang berada di belakangnya bisa ia perkenalkan. "Mbak Cinde, ini Mas Nara, klien kita."

Cinde yang sedari tadi fokus menunduk menekuri kamera, mendongak. Matanya membeliak lebar tertuju ke arah Nara.


Barang wajib yang ada di tas pasien CAPD adalah payung - Cinde


💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro