Chapter 3 : Halilintar dan Ke-uwu-annya
Jangan lupa VOTE sama COMMENT yaa~
Warning : Ada sedikit adegan 'cinta-cintaan' (iykwim;) Jadi yang risih langsung menjauh. Tidak boleh ada komentar hater.
Hari senin
Yaya suka sekolah. Dengan sekolah ia dapat mengerahkan seluruh energi masa mudanya pada hal-hal positif. Seperti menjadi petugas piket(dengan begitu Yaya tidak perlu repot-repot menjadi preman untuk membentak orang lain, cukup 'kawan-kawan' malangnya saja), mengerjakan tugas-tugas Osis seperlunya dan memimpin Razia dadakan di jam ketiga sebelum istirahat. Iya, Yaya sangat suka sekolah, karena itu disaat semua teman-temannya terlihat lesu karena gagal move on dari Sunday , Yaya seakan silau karena senyum manis tersungging di wajahnya .
"YAYA !!"
Dan seketika itu pula kilau wajah Yaya berakhir. Gadis muslimah itu agaknya lupa, ia mempunyai lima perkara yang akhir-akhir ini membuat jantungnya uring-uringan.
"PAGI YAYA !!" satu-satunya persona yang biasa menyapanya dengan suara cempreng hanya satu—Blaze.
Cup—tanpa permisi sebuah kecupan jatuh di pelipis Yaya.
Plak—dan tanpa bisa dicegah, tangan Yaya sudah menampar bibir kurang ajar itu.
"Aduh~...Aku di pukul lagi~..." rengek persona bertopi hitam berlambang api tersebut dengan bibir mengkerucut. Yaya? Memilih tidak peduli dan melongos pergi.
Namun baru saja ia berbelok Yaya harus berpapasan lagi dengan salah satu 'pacarnya', " PAGI YAYA CANTIKKK~..." alih-alih menengok, Yaya malah berlari—meski sedikit sulit—seraya menutup wajahnya yang merah dengan kedua tangan. Duh, malu sekali~, batin Yaya. Hingga sekarang gadis berhijab itu belum menemukan alasan kenapa urat malu persona belambang Angin itu terputus. Menjengkelkan karena Taufan hobi membuatnya merona di depan umum.
Saat merasa teriakan genit persona bertopi miring itu tidak terdengar, Yaya berhenti dan melihat sekeliling—Lapangan Futsal. Gadis itu menghembuskan nafas lega, senang karena tidak menjumpai 'pacar'-nya di sepanjang pinggir lapangan.
"Ngapain di sini?" sebuah suara tiba-tiba saja terdengar dari telinga kanannya—yang sontak saja membuat Yaya reflek menengok cepat.
CUP
Secepat kepala Yaya bergerak, secepat itu pula kecupan di bibirnya terlepas.
"KYAA—HALI!!?" tubuh gadis itu terhuyung mundur dan akan jatuh bila saja sebuah lengan kekar tidak menahan pinggangnya. Tidak sampai di situ karena lengan itu langsung melingkari pinggang Yaya—yang tentu saja membuat tubuh mungil gadis muslimah itu terdorong membentur dada bidang pemuda tampan di depannya.
"Kamu akan jatuh jika aku tidak memengangmu, nona ceroboh." Halilintar—persona dengan pesona mematikan—berbisik penuh arti di telinga kekasihnya. Mengakibatkan pacar cantiknya tersentak dan segera mencoba mendorong tubuh Halilintar menjauh.
"H-Hali~...lepasin aku. Banyak yang lihat..." Sungguh, Yaya berusaha mendorong tapi yang dirasakannya malah kedua tangannya yang bergetar dan tubuh yang tiba-tiba lemas. Dan tentu saja, lingkaran di pinggangnya bertambah erat seiring dengan lengan lainnya—and Hell, seperti Halilintar akan melepaskan Yaya dengan mudah saja. Haha.
"Hali~...lepasin..." rengekan Yaya hanya berbuah segaris senyum miring di wajah tampan persona Kuasa petir merah itu. Oh, Yaya merengek? Tentu saja, beberapa kali ia menjumpai Halilintar membuat Yaya tahu persona itu tidak suka di perintah—lebih tepatnya tidak bisa diperintah. Mungkin akan lain jika di medan pertempuran tapi apapun bersangkutan dengan Yaya, Halilintar tidak pernah mau mendengar perintah. KARENA ITU satu-satunya jalan adalah MEMOHON. Halilintar bukan lawan yang tepat untuk di ajak silat lidah dan adu otot—ngeri. Memelas adalah jalan terbaik.
Yaya menatap memelas mata ruby di depannya—berharap ia dilepaskan karena keduanya mulai menjadi perhatian murid-murid lain, "Hali--KYAAAA..."
Bukannya menjawab Halilintar malah mengangkat tubuh mungil Yaya ala bridal style. Menghiraukan pekikan kaget gadis mungil dalam dekapannya, Halilintar berjalan menjauh dari lapangan. "HALIIII, TURUNKAN AKUUU..."
Wajah Yaya merah maksimal karena ia benar-benar menjadi pusat perhatian di sepanjang jalan entah kemana. "HALIII..." serunya lagi.
"Berisik!" desis Halilintar seraya mengangkat tubuh Yaya lebih erat hingga wajah sang pacar bertemu dengan leher jangkunnya. Yaya dengan segala refleknya, segera mengalungkan tangannya di leher persona bermata ruby tersebut.
"Mau kemana, Hali~...?" lagi, Yaya memakai suara manjanya. Tapi detik berikutnya dia kesal karena tidak mendapat jawaban apapun. Sebal, akhirnya Yaya memilih memberontak. Kakinya Yaya ayunkan naik-turun dan menggeliat dalam dekapan erat Halilintar.
"Hali~...Turunkan aku. Aku tidak nyaman seperti ini..." ujar Yaya sembari terus menggeliat hingga Halilintar berdesis tajam, "Diam atau aku cium!" seketika itu pula Yaya diam. Bibirnya tanpa bisa di cegah kicep dan turun ke bawah. Sebal karena bisa-bisanya dia dengan mudah takluk bila berhadapan dengan Halilintar.
Keadaan hening hingga akhirnya Yaya tahu tujuan kekasih menyeramkannya itu—UKS. Tanpa mengalami kesulitan berarti, Halilintar menendang pintu UKS dan masuk tanpa permisi. Halilintar meletakkan Yaya di salah satu ranjang serba putih dan menuju pintu.
Ceklek.
Seketika itu pula Yaya panik.
Halilintar mengunci pintunya.
MENGUNCI PINTUNYA!!!
Alarm siaga berdering tidak tertahankan di kepala Yaya. Terlebih ketika Halilintar berbalik berjalan ke arahnya. Yaya merasakan tubunya gugup.
Sunggu!
Yaya benci saat-saat tubuhnya tidak menurut padanya. Seharusnya Yaya segera lari ke pojokan atau menghajar salah satu persona kekasihnya itu. Tapi alih-alih tubuh Yaya hanya diam dan menegang kaku.
Tidak mau Halilintar mengetahui kegelisahannya, Yaya menundukkan kepalanya. Lantai jauh lebih menarik daripada mata merah mempesona itu. Ya Tuhan~...jantungnya tidak kuat.
Suasana hening hingga dirasakan oleh Yaya seseorang berlutut di depannya yang tengah duduk gemetar di samping kasur. Sepasang tangan mengambil salah satu kaki yang bahkan tidak sampai ke lantai dan melepas sepatunya, pun dengan sepatu yang lain.
Yaya tahu sepasang mata elang mematikan itu tengah memperhatikannya. Bahkan dengan mata terpejam Yaya dapat merasakan tatapan itu seakaan bisa melubangi kepalanya. Hingga gadis berkerudung itu sedikit memekik ketika sebuah tangan mengangkat dagunya. Memaksa mata coklatnya menatap mata merah menyala itu. Oh...betapa indah warna merah itu.
"Berhentilah!" ucapan bernada berat tapi serak itu tidak di mengerti oleh Yaya.
"Berhenti apa?"
Terdenger helaan nafas dari pemuda tampan itu, "Berhenti memaksakan diri. Berhenti sok kuat. Berhenti menanggung semuanya dan berhenti membuatku khawatir!"
Lagi-lagi tubuh Yaya menegang. Matanya terpaku pada mata merah yang menyiratkan kasih sayang dan kecemasan. Untuknya. Yaya bahagia akan hal tersebut namun ia tidak menyangka persona yang kata orang-orang paling menyeramkan ini sangatlah perhatian dan peka.
Jemari panjang Halilintar meraba pergelangan kaki kiri Yaya yang sedikit menghitam. Dan ketika di tekan, "AWW...sakit Hali..."
Persona tersebut mendengus, "Sudah tahu sakit tapi masih nekat lari kayak tadi?" Tanya Halilintar sarkastis.
Wajah Yaya cemberut seketika, "Bukan mau ku begini. Jangan salahkan aku."
Halilintar berdecak melihat sikap cuek gadis kesayangannya. Gadis itu tidak tahu apa kalau ia khawatir. Halilintar tidak suka mendapati Yaya terluka sedikitpun. Kemudian dilepaskannya topi hitam merahnya.
"KYAAA..." Yaya kembali memekik kaget ketika jari panjang Halilintar meraih tengkuk lehernya dan menempel kedua dahi mereka.
"H-Hali...Ngapain?" cicit Yaya gugup. Sungguh, mesti saat ini kelopak Halilintar tertutup tapi Yaya tidak kuat menahan debaran jantungnya yang seperti ingin meledak. Terlalu dekat!!!, batin Yaya menjerit.
"Diam..." desis pemuda itu dan Yaya pun memilih patuh. Toh percuma bersuara kalau yang keluar hanya kalimat terbata-bata saja dari mulutnya.
"Berhenti membuatku khawatir..." Yaya menatap kelopak tertutup di depannya.
"Jangan terlalu sering memaksakan diri. Istirahat jika tubuhmu butuh istirahat. Sekolah ini tidak akan lari ataupun roboh meski kamu tinggal sehari." Yaya tidak menyahut.
"Kamu perempuan,bukan laki-laki, Yaya." Gadis galak itu seakan ingin meleleh mendengar namanya dari mulut Halilintar yang terdengar begitu menghayutkan.
Lalu tanpa disangka-sangka Yaya, Halilintar menyentaknya keatas. Dahi keduanya terlepas namun wajah mereka tidak berjarak lebih lima senti. Kedua telapak tangan besar Halilintar meraup sisi wajah gadis itu dan menatap sayang mata coklat kesukaannya itu.
"Karena itu jadilah gadis manis dan penurut dan biarkan aku yang menjadi pria untuk selalu menjagamu."
Ugh~...Mama!!!! Tolongin anak cantikmu ini. Yaya makin cinta sama calon menantumu , Ma~...
Ini sama sekali tidak pernah di sangka Yaya sebelumnya. Ia tahu Boboiboy adalah pemuda yang baik. Tapi sungguh, Yaya tidak tahu bahwa Boboiboy menyembunyikan sisi romantis nan menghanyutkan dalam diri seorang Halilintar.
"H-Hali..." Yaya tidak sanggup berkata-kata. Dirinya terlalu sibuk mengendalikan jantungnya yang menggila.
"Yaya..."
Kiss...
Mata Yaya terbelalak. Sekali lagi ia kecolongan. Namun bukannya memberontak, Yaya malah membiarkannya. Matanya terpejam menikmati lumatan lembut penuh sayang dari bibir tegas itu. Moment manis dan lembut Halilintar tak kuasa Yaya tolak. Gadis itu tahu ini salah tapi Yaya tidak mau munafik. Ia suka ciuman manis ini.
Tekanan tangan Halilintar pada tengkuknya tidak diprotes. Dengan insting perempuannya, tangan Yaya bergerak mengalung pada leher Halilintar. Memperdalam ciuman tanpa lidah mereka. Hingga menit berikutnya Halilintar melepasnya dengan isapan kuat bibir bawahnya—menimbulkan suara kecupan teramat jelas.
Yaya terengah. Begitupun dengan Halilintar yang terengah namun matanya yang berkabut tidak lepas dari wajah kekasihnya. Wajah Halilintar kembali mendekat. Dikecupnya pipi kanan gadisnya, " Sudah lama aku ingin menciummu, bertanya apakah bibir pink itu semanis kelihatannya. Dan sekarang aku tahu jawabannya. Kamu sungguh manis, Yaya." Ujarnya sembari mengecup seluruh area wajah merah Yaya yang justru terlihat menggemaskan di mata Halilintar.
Sudah cukup. Lebih lama lagi maka Yaya akan benar-benar menjadi pasien UKS ini.
Di dorongnya dada Halilintar darinya, menghentikan persona itu yang tidak lelah mencuri kecupan dari wajahnya, "S-Sudah Hali...aku takut."
Gadis itu menunduk sehingga tidak bisa melihat senyum manis di wajah Halilintar. Pemuda itu kemudian meraih kedua tangan Yaya dan menggemnya, "Jangan takut. Aku tidak akan pernah lebih daripada ini. Kesatuan dari kami berlima yang akan mendapat kesempatan itu saat kita menikah nanti." Ucap Halilintar seraya mencium tangan kekasihnya yang merona hebat.
Ding Ding Dong Ding~... Jam pertama telah usai, saatnya untuk jam pelajaran kedua...Ding Ding Dong Ding~
Hahh? Jam keduanya? Kapan bel masuknya?
Terlalu hanyut pada pesona Halilintar memang sangat berbahaya. Telinga Yaya yang biasa sensitive terhadap bunyi bel seakan dibuat tuli.
Rasa panik segera mendera Yaya, ia terlambat mengikuti jam pertama. Apa kata guru dan teman-temannya nanti?. Yaya hendak berdiri mengambil sepatunya tapi seakan tahu tujuan Yaya, Halilintar bergerak lebih dulu.
"Tidak usah Hali. Biar aku sendiri." Cegah Yaya ketika Halilintar mencoba memakaikan kaus kaki dan sepatunya. Tapi pada akhirnya gadis pembuat biscuit mematikan pulau rintis itu menyerah. Belum habis dengan itu, Yaya di buat bingung dengan Halilintar yang berputar membelakanginya dan membungkuk.
"Ayo!" kata Halilintar.
"Ayo apa?"
"Naik ke punggungku, Yaya. Aku akan menggendongmu sampai ke kelas." Jelas persona itu malas.
Tapi tentu saja Yaya menggeleng. Dia bukan perempuan manja sampai harus di gendong. "Tidak usah Hali, kaki ku tida—"
"Naik atau tidak usah kembali ke kelas sekalian." Yaya menelan kalimatnya bulat-bulat dan bergegas naik ke punggung tegap Halilintar.
Seolah Yaya hanya seberat kapas, Halilintar berjalan pelan tanpa kesulitan. Tidak dipedulikan Yaya yang menyembunyikan wajah di lehernya. Fokusnya hanya berjalan pelan sembari menikmati waktu-waktu—yang tidak terjadi setiap hari—bersama pujaan hatinya.
"Terima kasih, Halilintar." Senyum mengembang di wajah tampan itu. Mendengar namanya dari kekasihnya adalah kebahagiaan untuknya.
"Apapun untukmu, nona cantik."
Yaya begitu terbakar mendapat balasan manis semacam itu. Tadi ia hanya merasa perlu berterima kasih atas perhatian Halilintar—kecuali untuk ciuman—karena sungguh, Yaya bahagia mendapati satu lagi sifat Boboiboy yang belum ia ketahui. Hanya saja Yaya berharap Halilintar tidak akan sering-sering membuatnya meleleh. Kasihan jantungnya, masih pagi tapi dipaksa kerja rodi.
"Yaya..." panggil Halilintar.
"Hem?"
"Aku mencintaimu."
Duh Tuhan~...Kuatkan iman Yaya.
TBC
Hehehehehhehehehehheehheheh
Jangan lupa Vote sama commnet yang Readers. Dan FOLLOW juga Authornya biar makin mantap.
Jumpa chapter depan.
Salam Hangat
Ellena Nomihara. Senin, 04 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro