Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 04

Anwar menggeliatkan tubuh. Lehernya pegal bukan kepalang. Anwar menegakkan tubuh dan mengusap wajahnya dengan kasar.

Bagaimana tidak pegal? Menempelkan setengah wajah pada jendela pesawat dalam perjalanan tiga jam, tapi saat terbangun perjalanannya masih setengah jalan lagi, fiuh!

Mendadak lehernya kram dan kepala Anwar tidak bisa menoleh ke samping. Sial! Nasib buruk apalagi yang kini harus menimpanya? Anwar bersungut dalam hati.

[Jendela pesawat tempat Anwar menyandarkan tubuhnya yang tinggi besar selama perjalanan menuju kampung halaman Zelda. Sumber: unsplashdotcom/JesseRamirez]

Beberapa saat kemudian, Anwar merasakan tangannya disentuh oleh Zelda. Perempuan iblis itu! Perempuan yang berhasil mengancamnya dengan kesepakatan culas!

Apa Zelda tidak bisa menjebak lelaki selain dirinya? Bukankah Indonesia sangat luas? Tidak mungkin, Zelda tidak bisa menemukan lelaki lain sebodoh dirinya. Brengsek!

"Kau mau minum apa? Tadi pramugari berkeliling dan membagikan makan siang," ujar Zelda pelan.

Anwar dapat merasakan ketulusan yang ditunjukan calon istri pura-puranya. Meski demikian, ia tidak boleh terhasut oleh perhatian Zelda! Perempuan itu tidak sepolos kelihatannya, batin Anwar pada dirinya sendiri.

"Terserah," balas Anwar tanpa menengok lawan bicaranya. Andai Zelda tahu lehernya sedang sakit bukan kepalang dan tidak bisa menoleh.

Zelda menyusupkan tangan di selangkangan Anwar dan menghadiahinya cubitan kecil. "Jawabanmu salah, Sayang. Cobalah lebih manis agar kakek percaya pada sandiwara kita."

Anwar mengaduh dalam bahasa ibunya, sedangkan Zelda justru menanyakan kembali pertanyaan yang sama.

Merasa harus menyelamatkan asetnya, Anwar mengalah dan mengulang jawabannya. "Terserah kau saja, Sayang. Bahkan jika kau hidangkan racun kalajengking pun, aku akan meminumnya dengan ikhlas."

Zelda memajukan tubuh untuk memandang wajah Anwar. "Dialog sandiwara milikmu sudah jauh lebih baik, tapi coba kurangi sarkasmenya. Tidak semua paham dengan gaya humormu."

Anwar menatap sepasang mata jernih milik Zelda, "Leherku sakit, Zelda. Aku tidak bisa melihat ke samping. Kalau kau punya jus atau minuman segar, aku akan sangat berterima kasih."

Zelda mengambil gelas plastik yang berisi jus melon dan menusuknya dengan sedotan, lalu menyerahkannya pada Anwar. Keduanya terdiam karena Zelda kembali menghabiskan makan siangnya.

Selesai menyelesaikan makan siang miliknya, Anwar penasaran dan bertanya pada Zelda. "Apa perjalanan kita masih lama?"

"Satu jam lagi sebelum kita mendarat di Bau-Bau," jawab Zelda sambil mencatat sesuatu pada jurnalnya.

Anwar berusaha mengintip apa yang sedang dilakukan Zelda di layar monitor laptopnya yang terbuka. "Apa yang sedang kau kerjakan?"

"Mengapa kau ingin tahu?" Zelda masih fokus pada pekerjaannya.

"Kita kan bertunangan, Zelda. Apa kau tidak ingin memberitahu apa pekerjaanmu yang sebenarnya? Bukankah aneh jika calon tunanganmu tidak tahu kegiatanmu sehari-hari?"

Zelda menoleh pada Anwar dan menutup laptopnya. "Sepertinya calon suamiku ini memang butuh perhatian. Jadi, apa yang kau ingin tahu tentangku? Bukankah percakapan panjang kita selama ini sudah menjelaskan apa yang aku kerjakan?"

"Apa kau benar-benar seorang manajer perusahaan?" Anwar mencoba menggerakkan lehernya meski hanya berhasil sedikit.

"Ya."

"Apa kau sedang melanjutkan kuliah magister?"

Zelda mengangguk mantap, "Bulan ini kemungkinan besar jadwal sidang tesis milikku diumumkan. Setelah revisi, kemungkinan besar aku akan menjadi salah satu lulusan terbaik School of Business and Management."

"Apa kau sungguh sebatang kara?"

"Pertanyaan macam apa ini?" Zelda bertanya sengit, "Mengapa kau menanyakan hal itu, Anwar?"

"Kau pernah bercerita padaku bahwa ayah ibumu sudah tiada dan kau adalah anak tunggal. Tentu saja otomatis kau sebatang kara, bukan?" Anwar bertanya tidak enak.

"Ya, kau tidak salah. Hanya ada kakek dalam hidupku sekarang. Jadi, semua permintaannya adalah sabda pandita ratu. Harus dikabulkan, bagaimanapun caranya." Zelda memiringkan tubuhnya sedikit agar bisa berhadapan dengan Anwar.

"Termasuk mengabulkan keinginannya mendapatkan cucu menantu," sahut Anwar enteng.

"Ya, betul. Kau memang pintar, Anwar." Zelda menepuk pelan lutut Anwar.

Tidak dipungkiri, Anwar memang merasakan sesuatu saat Zelda masih meletakkan tangannya disana. Anwar berdehem dan memberi isyarat agar calon istri pura-puranya segera memindahkan jari lentiknya.

"Mengapa, Anwar? Kau keberatan jika kita sering melakukan kontak fisik? Bukankah aneh jika kita tidak pernah bersentuhan?" Zelda semakin mendekatkan tubuhnya pada Anwar.

Anwar memundurkan diri hingga tubuhnya mentok menempel pada pinggiran jendela pesawat. Tindakan Anwar justru membuat Zelda semakin berani menggoda. Perempuan itu malah makin memajukan diri dan menempelkan bibirnya di telinga Anwar.

"Kau harus membiasakan diri, Anwar. Siapa tahu aku akan berbuat lebih berani dari ini?" Zelda berbisik tepat di telinga Anwar dan membuat bulu kuduknya merinding. Justru bukan nafsu hasrat yang dirasakan Anwar, melainkan hawa ngeri yang terpancar dari aura perempuan itu.***

Add this book to your library! Love and Vote!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro