Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6

Lima tahun lalu...

Dimas memasuki lift yang tampak dipenuhi para pegawai perusahaan. Semua memberi salam, dan menunduk saat melihatnya. Dimas masuk semakin dalam karena memang tidak ingin tertabrak yang lain, meskipun dia tahu tidak ada yang berani melakukan itu. Hanya saja Dimas tidak ingin mengganggu pegawai lainnya.

Suasana lift sudah hampir penuh. Tersisa satu tempat lagi dan bertepatan dengan itu, seorang perempuan berteriak meminta pintu lift agar jangan ditutup. Perempuan itu memasuki lift. Pelan-pelan tubuh perempuan itu masuk lebih dalam karena beberapa orang tidak ingin berada di bagian paling belakang. Perempuan itu berdiri tepat di samping Dimas.

Dari ekor matanya, Dimas mengamati penampilan perempuan itu. Kemeja putih, rok hitam sebatas lutut, dan flat shoes hitam. Kalau boleh menebak, perempuan itu pasti baru lulus kuliah. Hanya firasat Dimas.

Namun, bukan soal penampilannya yang menjadi masalah, tapi tangan kiri Dimas yang terjepit di belakang bokong gadis itu. Bagaimana dia menarik tangannya, sementara gadis itu tampak tidak menyadari hal tersebut?

Dimas mencoba menarik tangannya. Tapi sayang, usahanya menjadi gesekan pada bokong gadis itu. Beruntung perempuan itu tidak bereaksi.

Sekali lagi Dimas mencoba dan hasilnya sama. Dia benar-benar bingung harus berbuat apa. Takut pegawai lain menyadari dan mengira dirinya berbuat yang tidak-tidak.

"Uhm," Dimas berusaha bicara, tapi gagal karena pintu lift terbuka. Dia senang karena sebagian dari mereka keluar, sehingga lift terasa lebih lenggang. Dimas bernapas lega. Akhirnya dia menarik tangannya dan berhasil. Namun, untuk melewati keberhasilan itu tangannya harus kembali mengenai bokong gadis itu.

Tepat di lantai 28 beberapa orang keluar. Perempuan itu menelengkan kepala ke samping, menatap tajam Dimas yang tersentak kaget. "Memangnya saya nggak tahu kamu gesek-gesekin tangan kamu ke bokong saya? Dasar penjahat kelamin! Mesum!" omel perempuan itu pada Dimas.

Dimas terkaget-kaget. Padahal dia tidak berniat begitu, hanya saja, situasi berkata lain. Perempuan itu menunjukkan wajah marah setelah menunjuk-nunjuk dirinya, lalu keluar dari lift. Beruntung di dalam lift hanya menyisakan dirinya dan sekretarisnya sehingga Dimas tidak perlu merasa malu.

"Itu anak kok marah-marah sama calon bosnya, sih?" ucap Sinta, sekretaris Dimas.

"Maksud kamu?"

"Namanya Antari Satwika, Pak. Dia akan menggantikan saya di sini. Calon sekretaris baru Pak Dimas."

"Antari?" Dimas mengulang nama perempuan itu.

"Iya, Pak. Masa nuduh Pak Dimas kayak gitu. Tapi Bapak nggak melakukan hal itu kan, Pak?"

Dimas mendelik tajam. "Ya kalau saya melakukan itu mending saya remas sekalian bokongnya. Nanggung amat gesek-gesek doang. Tadi tangan saya kejepit di belakang bokong dia, makanya mau narik malah nggak sengaja gesek bokongnya."

Sinta tertawa pelan. Dimas mengabaikan ledekan itu karena kepalanya dipenuhi nama perempuan yang akan menjadi sekretaris barunya.

Antari. Lucu juga namanya.

*****

Antari masuk ke ruangan Dimas membawa beberapa berkas. Pandangan Dimas tertuju pada bagian kancing kemeja yang Antari kenakan. Tepat pada bagian tengah, kancingnya terbuka. Dada berukuran besar itu terekspos sempurna, menampilkan keindahan bentuknya. Suhu tubuh Dimas mendadak panas.

"Ini berkas yang Bapak minta kemarin." Antari meletakkannya di atas meja.

"Kamu masuk ke sini buka kancing dulu, ya? Itu kancing kamu terbuka." Dimas memberitahu. Dia mencoba mengalihkan pandangannya. Sialnya selalu kembali pada buah dada yang menggoda di siang bolong. Astaga... pikiran kotornya muncul gara-gara Antari! "Kamu mau menggoda saya di siang bolong begini? Mau melanjutkan ronde yang belum selesai kemarin?" lanjutnya.

"Hah?" Antari menurunkan pandangan setelah mengamati tatapan Dimas mengarah ke mana. Menyadari kancingnya terbuka, Antari berbalik badan, lalu mengancingkan kemejanya. "Ma-maaf, Pak. Saya nggak tau kancingnya terbuka," ucap Antari masih membelakangi Dimas. Dia malu. Mengapa dia sebodoh ini membiarkan dirinya terlihat seperti penggoda sejati?

"Lain kali cek dulu pakaian kamu. Kalau yang lain lihat, gimana? Mau jadi tontonan gratis? Dada ayam KFC aja nggak gratis."

Itu ayam buat dimakan, kan nggak mungkin gratis! Masa dada gue disamain kayak dada ayam? Gila nih manusia! batin Antari. "Iya, Pak. Maaf. Saya akan lebih berhati-hati lagi ke depannya." Kini, Antari sudah kembali menghadap Dimas seperti semula.

Dimas terlanjur berfantasi liar memikirkan hal tidak senonoh. Dimas ingin mengutuk Antari sudah membuatnya gerah. Karena hal itu, Dimas melonggarkan dasi yang terasa mulai mencekik. "Ya udah, kamu boleh keluar. Jangan sampai kamu pamer dada. Ini kantor bukan jualan yang lain."

Kekesalan Antari sejak pagi belum sepenuhnya hilang. Dimas semakin menambah kekesalan itu. Dipikir dia mau menjual tubuhnya gitu? Ampun... setelah mereka tidur bersama, mulut Dimas menjadi lebih menyebalkan. Andai tidak tidur bersama, mungkin Dimas tidak seketus ini padanya.

"Pak, maaf nih. Saya ingatkan jangan ketus-ketus kalau nggak mau muntah paku. Saya permisi."

Setelah Antari keluar, Dimas mengusap wajahnya kasar. "Tuh anak kenapa sih bikin cenat-cenut di mana-mana? Nggak hati, tapi juga di tempat lain. Heran!" Dimas menggerutu kesal. Matanya mengikuti pergerakan Antari di luar.

Tiba-tiba ada sesuatu yang menarik. Dimas melihat seorang pegawai laki-laki memberikan paper bag pada Antari. Seperti sebelumnya, Dimas mendidih bagai air yang baru matang. Tidak hanya itu, Antari mengambil dompet miliknya, mengisyaratkan mereka berdua akan pergi mengingat sekarang adalah jam makan siang.

Dimas buru-buru menghubungi telepon di atas meja Antari. Terlihat sekretarisnya itu segera mengangkat telepon seraya melihat ke arahnya.

"Bawakan berkas yang tempo hari saya suruh selesaikan untuk lusa. Selesaikan sekarang," suruh Dimas setelah mendengar sapaan halo dari Antari.

"Berkasnya di atas meja, Bapak. Baru saya kasih tadi. Saya sudah kerjakan dari kemarin, Pak."

Aduh, Antari rajin amat, sih! Ngapain buru-buru dikelarin? protes Dimas dalam hati.

"Kalau gitu kamu nggak boleh istirahat dulu. Masih ada kerjaan yang perlu kamu kerjakan."

Antari tampak tidak merespons, tapi kerutan di dahinya ditunjukkan secara gamblang saat menatap Dimas. Menyadari hal itu, Dimas memutar otak. Dia harus mengatakan apa supaya Antari tidak beranjak dari tempatnya? Apa membawa nama Maguna? Oh, iya, Maguna! Putri kecilnya itu bisa menjadi tameng Dimas.

"Temani saya sama Maguna belanja. Kebetulan Maguna lagi otw ke sini."

Antari tidak merespons. Mungkin ucapannya kurang detail. Dimas pun memperjelas kalimatnya, "Saya mau beli baju buat Maguna. Kamu nggak lupa kan saya ditinggal istri? Saya nggak tau baju yang bagus untuk anak perempuan. Kamu harus bantu saya pilih baju untuk Maguna."

"Baiklah, Pak. Omong-omong, Bapak mau makan apa? Biar saya pesankan sama OB seandainya Bapak nggak makan di luar."

Seketika jiwa dalam diri Dimas berteriak senang mendengar Antari tidak jadi pergi.

Yes! Yes! Yes!

"Nasi Padang aja."

Belum sempat Antari melanjutkan, Dimas sudah menutup telepon. Dimas memutar kursinya agar menghadap tembok. Lalu cengar-cengir seperti orang kesurupan. Umurnya sudah tiga puluh tahun, tapi masih seperti ABG yang merasakan cinta monyet. Dimas sebahagia itu.

Beberapa menit cengengesan, Dimas teringat soal Maguna. Dia harus meminta pembantunya membawa Maguna ke kantor. Tanpa membuang waktu Dimas menghubungi Mbak Inem.

"Mbak Inem, tolong siapkan semua barang Maguna dan ajak dia ke kantor. Minta antar sama Pak Tondy. Jangan pakai lama. Setengah jam harus sampai sini." Dimas mematikan sambungan sebelum Inem sempat mengatakan apa-apa.

Dimas bernapas lega. Dia kembali menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Ada senyum penuh kemenangan terukir di wajahnya. Tak disangka Maguna bisa menjadi senjata ampuh. Mulai detik ini, Maguna harus menjadi tamengnya untuk meminta Antari agar selalu bersamanya.

Di tengah kemenangan itu, tiba-tiba ketukan pada pintu kembali terdengar. Dimas memutar kursinya. Antari memasuki ruangan setelah Dimas mempersilakan.

"Pak, makanannya sedang dibelikan OB. Maaf, saya datang lagi soalnya saya lupa meletakkan berkas lain yang tertinggal di meja saya." Antari meletakkan berkas lainnya di atas meja Dimas. Setelah itu, dia memutar tubuhnya sesudah berpamitan. Belum sempat melangkah jauh, Dimas menghentikan langkahnya.

"Tunggu bentar."

Antari memutar tubuhnya. "Ya? Ada apa, Pak? Pakaian saya kayaknya udah tertutup."

Dimas bangun dari tempat duduknya. Sorot tajamnya membuat Antari meneguk air liurnya ngeri. Tiba-tiba Dimas menekan remot khusus yang dapat menurunkan tirai untuk menutupi kaca jendela ruang kerjanya. Semua tirai turun dengan baik, hingga ruangannya cukup gelap.

"Kamu mau menguji ketahanan hasrat saya?"

"Maksudnya gimana, Pak?"

Dimas menarik tubuh Antari hingga merapat padanya. Tangan kokoh yang berada di pinggang meraba naik ke atas punggung Antari, hingga tangan itu berhenti tepat di bagian pengait bra yang terlindungi oleh kemeja yang dikenakan.

"Jangan sampai kita melakukan ronde lain di sini."

Tubuh Antari membeku. Bulu kuduknya berdiri. Bibirnya sulit mengatakan apa-apa, karena tatapan Dimas sudah melahap dirinya masuk ke dalam dunia lain laki-laki itu. Sentuhan Dimas mengejutkan adrenalinnya. Namun, lebih mengejutkan lagi ketika Dimas mendadak bertekuk lutut di depannya. Mau melamar? Bukan! Dimas mendaratkan tangannya pada belakang betis Antari. Lalu pelan-pelan merambat naik sampai bagian paha belakang.

Antari semakin diam mematung.

Jangan mendesah, Antari! Tahan-tahan! Jangan sampai gue mengutuk diri sendiri jadi batu! batin Antari penuh antisipasi.

Dimas menengadahkan kepalanya ke atas, memandangi Antari yang kebetulan menunduk sedikit melihatnya. "Saya baru sadar belahan rok belakang kamu setinggi ini. Kalau besok saya lihat belahannya terlalu tinggi, jangan salahkan saya tangan ini meraba lebih jauh."

Antari tidak bisa berkata apa-apa. Jantungnya berdetak cepat nyaris melompat dari dari tempatnya. Sentuhan Dimas terlalu memabukkan. Oh, Tuhan... selemah ini dirinya akan sentuhan bosnya.

"I-iya, Pak," ucap Antari gelagapan. Tangan Dimas di belakang pahanya terasa luar biasa. Semoga jiwa binalnya tidak muncul membalas perlakuan laki-laki itu.

Antari, jangan macem-macem. Itu bos, bukan bujangan lain!

Dimas menarik tangannya, lalu berdiri dan melepas jas miliknya. Kalau boleh jujur, ada sesuatu yang terasa tidak nyaman, tapi Dimas menahan diri mati-matian. Hampir saja dia kebablasan menyentuh Antari.

"Jangan dilepas sampai nanti beli rok baru pas menemani saya belanja. Kalau dilepas, siap-siap saya terkam," tegas Dimas seraya mengikatkan bagian lengan jas miliknya di seputaran pinggang Antari. Beruntung jasnya besar, jadi dapat menutupi belahan sialan yang menggugah selera.

"Ba-baik, Pak."

Dimas kembali duduk di tempatnya, sedangkan Antari memutar tubuhnya, hendak keluar. Ketika tangan Antari meraih gagang pintu, Dimas kembali bersuara. "Antari?"

"Ya, Pak?"

"Tolong pikirkan kembali soal ajakan menikah saya tempo hari."

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro