Bagian 4 : Sebutir Telur Membawa Cerita
Aku berpisah dengan Ket, karena aku harus menuju ke jalan selanjutnya. Reb menghentikan perjalananku di daerah berwarna biru. Selanjutnya, aku akan melanjutkan perjalananku sendiri ke daerah berwarna ungu.
Tunggu. Untuk apa aku menempuh perjalanan? Keluar dari sini?
"Blue ada di tempat aneh ini? Benar begitu?" tanyaku kepada diriku sendiri sambil melangkah maju menempuh jalan. "Untuk apa dia di sini? Dan ... kalung batu bening ini ajaib? Ah, akhirnya aku sampai."
Di daerah berwarna ungu, di mana pohon-pohon dan lainnya berwarnakan ungu. Semua yang aku kunjungi di sini benar-benar aneh. Apa maksud warna-warna yang terpisah di berbagai tempat ini? Lalu, benda lonjong raksasa apa yang ada di atas batu itu?
Aku berjalan pelan mendekati benda lonjong tersebut. Tanganku ingin menyentuh benda itu karena penasaran, tetapi tiba-tiba saja benda itu bergerak ... oh! Benda itu punya muka! Dia berbalik ke arahku.
Harusnya aku berteriak dan ketakutan, tapi ternyata tampangku biasa saja ketika melihatnya pertama kali. Tidak asing dilihat, walaupun aku belum pernah bertemu dengannya.
Telur. Hanya saja, ukurannya jauh lebih besar, sekitar lebih tinggi daripada aku.
Dia aneh. Warnanya ungu. Dia memakai topi tabung berwarna hitam dan memegang sebuah tongkat seperti gagang payung. Dia seperti seorang pesulap, tapi lebih ke dominan sebutir telur jumbo.
"Siapa?" tanya telur itu dengan dingin.
"Kau tidak tahu diriku? Aku pikir semua makhluk yang ada di tempat aneh ini mengetahui namaku," jawabku.
"Oh, aku tahu, kok. Kau Nona Elly. Iya, kan?" Kalau tahu, ngapain tadi dia bertanya? Keanehannya bertambah.
"Ya, aku Elly. Kalau kau siapa?"
"Aku Ulter."
"Oh, salam kenal, Ulter."
Namanya terdengar aneh bagiku. Aku memberikan tanganku untuk berjabat dengannya. Tapi mengesalkannya, dia hanya memandang tanganku dengan datar.
"Apa itu?" tanya Ulter.
"Ini tangan," jawabku ikut datar.
"Aku tahu itu tangan. Tapi, untuk apa kau menyodorkan tanganmu seperti itu?"
Apa dia tidak tahu cara berkenalan dengan baik? Keanehannya bertambah lagi.
"Jabat tangan. Kau punya tangan, kan? Sini, aku mau jabat," jawabku sambil meraih tangannya dan berjabat. Tangannya kecil, jarinya cuma ada empat. "Setelah aku mengucapkan 'salam kenal' padamu, kau harus balas 'salam kenal juga'. Ayo, ucapkan."
Ulter menatapku dengan bingung. Tapi setelah itu, akhirnya dia mau mengucapkan kata-kata yang aku maksud.
"Salam kenal juga."
Kami pun mengakhiri jabat tangan.
"Nah, begitu."
Ulter terdiam melihatku. Sepertinya dia bengong. Mungkin dia tidak pernah berkenalan seperti itu dengan orang lain. Bagus, aku telah menyebarkan ilmu yang belum diketahui oleh orang lain. Aku merasa senang akan hal itu.
"Elly," panggil Ulter. "Kau lelah? Duduklah dulu di sampingku. Aku akan menceritakan sesuatu padamu."
"Baiklah," kataku menurut padanya. Aku duduk di sampingnya dan melihat ke arahnya. "Kau ingin menceritakan apa padaku?"
Ulter tersenyum. Oh, ternyata dia bisa tersenyum. Aku pikir dia tidak mudah tersenyum karena wajahnya selalu datar. "Aku akan menceritakan tentang seorang pangeran yang dikutuk menjadi seorang badut yang penakut."
"Hm, menarik," balasku.
"Benarkah? Kau tertarik dengan cerita yang akan aku ceritakan?" tanya Ulter tiba-tiba, membuatku terkejut dan hampir terjatuh dari tempat aku duduk.
"Haha, kau terdengar senang sekali mendengar aku akan mendengarkan ceritamu, Ulter," kataku.
Ulter menunduk. "Iya. Aku senang sekali."
Aku tersenyum. "Itu artinya, kau akan menceritakan kisah itu, bukan?"
"Tentu, Nona. Aku akan bercerita sekarang."
Ulter pun bercerita.
Ada seorang pangeran yang sangat baik dan ceria. Dia senang berteman dengan siapa saja dan menyayangi raja dan ratu alias kedua orang tuanya.
Negeri terasa lebih damai karena adanya pangeran. Penduduk senang melihat pangeran selalu berjalan-jalan ke pasar untuk menyapa dan berbelanja sesuatu yang diinginkan. Kadang, pangeran membeli sebuket bunga untuk ibunya.
Tapi, semua berubah ketika kakak ibunya yang juga seorang ratu di salah satu kerajaan, mengubah negeri damai itu menjadi kacau. Semua penduduk dikutuk menjadi semut, raja dibunuh dengan panah racun, ratu disiksa di menara tinggi, dan pangeran dikutuk menjadi badut penakut.
Tamat.
"Hiks! Hiks! Menyedihkan. Aku rasa itu bukan akhir dalam ceritanya," komentarku sambil menyeka air mataku dengan punggung tangan. "Terasa ... ada yang belum lengkap."
"Memang," balas Ulter.
"Memang? Jadi, cerita itu belum tamat?" tanyaku dengan kaget.
"Sebenarnya ... belum."
"Siapa yang mengarang cerita itu? Suruh dia menamatkan ceritanya! Aku penasaran!"
Ulter menepuk pundakku. "Nona, itu bukan cerita fiksi, melainkan nyata. Dan yang bisa melanjutkan cerita itu adalah kau, Elly."
"Aku?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri dengan bingung. "Kau menyebutku? Kenapa aku?"
"Karena kaulah yang lebih mengerti pangeran itu," jawab Ulter.
"Hah? Aku lagi? Apa aku mengenalnya?" tanyaku lagi. "Hm, tidak mungkin pangeran yang kau maksud itu Blue, kan?"
"Benar, kok."
Aku langsung melotot.
"HAH?!"
To be continue...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro