Tiga
Sinar rembulan masuk melalui kaca jendela, berbaur dengan bagian dalam ruang kamar yang hanya diterangi oleh lampu tidur. Di sana, seorang gadis berambut kepirangan nampak frustasi. Rambutnya semrawutan. Gaun yang tadinya terbalut rapi di badannya kini terkesan berantakan. Masih dipikirkannya kejadian beberapa jam lalu. Ya, kejadian yang membuat dia menjadi seperti ini.
.
.
"Ini untukmu, Kak Rezza."
Adena memberikan sebungkus makanan khas restorannya, membuat yang diberi tersenyum sumringah dan tak kuasa menolak kebaikhatian tersebut.
"Terima kasih banyak. Ah, anu ... err ... maaf, mungkin ini agak sedikit lancing." Rezza bergumam ragu di akhir kalimat.
"Tidak apa. Bilang saja."
"Bolehkan aku minta dua porsi lag--"
"Oh tentu. Anita! Bungkuskan dua porsi lagi!"
"Siap!" Gadis yang dipanggil Anita bergaya ala tentara. Segera, dia membungkuskan dua porsi makanan dengan kecepatan yang luar biasa dan memberikannya kepada Rezza. Yang diberi membungkuk sedikit sambil mengucapkan "terima kasih banyak" berulang-ulang, serta bersiap untuk pulang.
"Jadi Kak Rezza mau menghabiskan tiga porsi makanan itu sendirian?" Adena tertawa geli setelah menyelesaikan kalimatnya.
Rezza ikut tertawa. "Tentu saja tidak. Ini untuk istri dan mertuaku. Ah, sekali lagi, terima kasih banyak."
Degup jantung yang kencang mengawali Adena yang kini terdiam, tidak sanggup untuk menyahut barang satu kata pun. Dia kini hanya bisa melihat punggung Rezza yang dengan santainya ke luar dari restoran. Pikiran gadis itu mulai bergulat.
Rezza sudah punya istri? Jadi untuk apa kebaikannya selama ini?
.
.
Adena merebahkan dirinya ke kasur. Wajahnya lesi, merasa semua kebaikannya pada seorang Rezza Nugroho adalah sebuah kesia-siaan. Padahal ingin sekali ia memiliki hati pria itu. Memiliki guna menjadikannya sebagai pendamping hidup untuk selama-lamanya. Sebab perasaannya yang tidak bisa berbohong ini mengatakan demikian. Perasaan yang kembali tumbuh setelah sempat pupus. Ataukah ini karena Rezza Nugroho memiliki beberapa kemiripan dengan dia?
Dengan penuh rasa geram, Adena mengenggam erat sprei kasurnya.
"Aku harus tau siapa istrinya."
vvvvv
"Oi! Apa yang kau lakukan! Lihat! Bajuku jadi kotor begini!"
Seorang pria dengan perawak garang membentak seraya menggebrak meja. Bajunya kotor tertumpah kuah makanan. Padahal itu hanya sebuah tindak ketidaksengajaan dari Anita karena saat mengantarkan makanan tadi kakinya tersandung (disandung) oleh kaki seseorang. Ya, seseorang itu adalah salah satu dari tiga orang--komplotan dari si korban sendiri. Para pengunjung menatap heran, sebagian berbisik-bisik.
"Maaf tuan. Saya t-tidak sengaja--"
"Tidak sengaja apanya, heh! Aku minta pertanggungjawaban!" teriaknya lebih keras. Dua orang temannya yang lain tertawa geli ketika melihat ekspresi Anita saat ini.
"Dia 'kan sudah minta maaf!" ketus Bayu yang tiba-tiba menghampiri dengan tatapan dingin, juga sinis.
"Maaf tidak akan menyelesaikan masalah! Lagipula ada apa denganmu ini! Bicara seperti itu dengan pelanggan! Cih! Akan aku tuntut restoran ini agar ditutup karena pelayanannya yang buruk!" ancam pria itu sembari menyeringai dan balas menatap Bayu.
Untunglah sebelum suasana memanas, Adena datang ke sana sembari bertanya heran. "Ada apa ini?"
Sementara itu, Rezza yang mengekori Adena kaget bukan main ketika melihat siapa pelanggan yang protes tadi. Secara kebetulan, ternyata itu adalah orang yang sangat dia kenal.
"Pak Arief!"
"Re ... Rezza?!" Orang yang dipanggil Pak Arief langsung panik sembari mundur selangkah.
Bayu hampir dapat membaca situasi sekarang. "Kau mengenalnya, Rez?" tanyanya, masih menatap sinis orang tadi.
"Iya. Dia bosku saat aku masih bekerja sebagai pemulung dulu."
"Ha! Kalian berdua yang merampokku tempo hari!" teriak Adena saat melihat dua orang di sebelah Arief.
Hal itu membuat ketiga orang tersebut mengambil ancang-ancang kabur, berniat pergi secepatnya dari restoran ini. Namun seketika dihentikan oleh Rezza yang menarik dua punggung dari dua orang yang berusaha kabur tadi hingga terjatuh. Sedangkan punggung orang satunya ditangkap oleh Bayu.
"Akh! Sial!" Salah seorang komplotan yang tempo hari dipanggil Vroh itu merintih.
Kembali, ketiga orang itu berusaha untuk berlari. Tetapi lagi-lagi digagalkan dengan Bayu yang memukul pipi seorang lelaki yang dipanggil Vroh. Begitu juga Rezza yang memukul perut salah satunya lagi yang dipanggil Bro hingga merintih kesakitan. Situasi ini memaksa Arief dan kawanannya meladeni perkelahian tersebut.
Tendangan dan pukulan dilancarkan. Gerakan mereka begitu halus, seolah-olah orang di sekitar sedang menonton pertunjukkan bela diri di jalanan. Namun itu juga berkat kelihaian Rezza dalam mengontrol suasana.
Tak perlu waktu lama agar pertarungan mendekati klimaks. Dengan kombinasi serangan antara Rezza dan Bayu, tiga orang musuh telah berhasil dibereskan.
Tanpa terlihat babak belur atau mengeluarkan darah sedikitpun, Rezza tersenyum tipis seraya menyeka pelan keringat di sela dahinya.
"Ah, satu hal yang pasti. Jangan tiru adegan tadi di mana pun kalian berada!" ucapnya tegas. Aktingnya tersebut membuat sebagian pengunjung di sana tertawa pelan. Namun tak sedikit yang menatap nanar.
Salah satu pegawai restoran telah menelpon polisi. Sepertinya atmosfer sudah mulai stabil. Dan benar saja, beberapa lama kemudian, para polisi datang untuk meringkus ketiga penjahat tersebut. Alhasil tempat itu kini dikitari banyak orang, tidak untuk menyantap menu makanan, melainkan sekadar menggosip dan mengambil foto untuk di-upload ke media sosial.
"Belakangan ini kami mendapatkan laporan tentang mereka yang dianggap meresahkan warga, terutama rumah makan. Terima kasih atas bantuannya," terang salah seorang polisi menanggapi penjelasan dari Anita.
"Mereka berdualah yang meringkus orang-orang itu, Pak!" Anita menunjuk Rezza dan Bayu di seberang, yang mana kini merasa agak risih lantaran beberapa orang berebut untuk mengambil foto mereka berdua—Rezza dan Bayu.
Tiba-tiba lengan baju Rezza ditarik agak kasar oleh Adena. Tentu Rezza terpancing untuk menatap gadis tersebut.
"Ikut aku ke dapur, sekarang!"
Suruhan Adena itu langsung dituruti Rezza tanpa basa-basi. Sebab ia sadar akan perubahan sikap Adena semenjak pagi tadi. Perubahan yang benar-benar ganjil, dan terasa begitu negatif.
Sekarang di sini, di dapur ini, hanya ada mereka berdua. Mengasingkan diri dari keramaian guna berbicara empat mata. Rezza masih diam, mencoba membaca situasinya agar tidak salah dalam bertindak.
Helaan napas panjang dilakukan Adena sebelum bertanya dengan nada dingin. Yang mana pertanyaan itu spontan membuat Rezza membelalakkan matanya.
"Siapa nama istrimu?"
Entah kenapa, melihat ekspresi Adena saat ini membuatnya ragu-ragu untuk menjawab. Namun setelah beberapa detik membuka mulut, Rezza akhirnya memutuskan untuk menyahut.
"Dwi Nugroho."
Brak!
Mendadak, Adena mendorong Rezza hingga menabrak dinding.
Adena menatap lekat-lekat mata lelaki di hadapannya. "Siapa kau sebenarnya?"
"Aku ...," jeda Rezza seraya menundukkan kepala. Otaknya mulai memproses dan mencoba merangkai apa-apa yang terjadi beberapa saat lalu. Kemudian mengerti akan adanya kemungkinan tentang sesuatu yang pernah terjadi di antara Adena dengan Dwi. Tidak, bisa jadi bukan itu. Setelah memantapkan hatinya, Rezza melanjutkan, "namaku ... Rezza Setiawan."
Hening menyelimuti di antara mereka berdua. Hanya terdengar suara-suara abstrak dari luar dapur. Adena menunduk dalam-dalam. Tangan kanannya memeluk erat lengan satunya. Perlahan ia tertawa, hingga tawa tersebut semakin keras terdengar.
"Aku tidak menyangka kita bisa bertemu seperti ini, Rezza."
Rezza tercengang. Perubahan sikap dan ekspresi gadis di hadapannya benar-benar kentara, seolah-olah itu bukanlah Adena yang dikenali. Tidak, atau mungkin inilah Adena yang sebenarnya?
"Sebenarnya, ayahmu dan ayahku sempat menjodohkan kita berdua lima bulan yang lalu."
Kalimat yang tidak disangka-sangka itu akhirnya diperdengarkan, membuat Rezza tak kuasa menahan jantungnya yang kian memacu kencang. Inikah gadis yang dikatakan ayahnya sekitar lima bulan lalu? Pertemuan mereka sungguh sesuatu yang sangat kebetulan.
"Saat melihat fotomu, aku langsung terpana dan menyukaimu. Namun semuanya pupus ketika tau kau akan segera menikah dengan gadis sialan itu dan kabur bersamanya! Mengorbankan segalanya hanya untuk orang miskin dan cacat. Sejak saat itu, aku mulai mencoba untuk membencimu."
Adena menggenggam pundak pria di hadapannya. "Di saat bertemu dua hari yang lalu. Aku merasakan perasaan itu lagi." Genggamannya kian erat. "Aku benar-benar mengira kalau kau adalah Rezza Setiawan. Meski penampilanmu yang sekarang agak berbeda. Tapi saat itu kau bilang ... Nugroho! Kenapa kau harus berbohong padaku, hah!"
Rezza mengalihkan pandangannya, kemudian menggenggam tangan Adena, mencoba menjauhkan dari pundaknya. "Maaf. Aku hanya ingin melupakan masa laluku sebagai seorang Setiawan," lirih Rezza.
Tiba-tiba, Adena menarik secara paksa tangannya. Perlahan raut mukanya berubah. Ia seperti sedang ... menyeringai?
"Kau dipecat."
Nada bicara itu terkesan sinis. Tawa kecil mulai dilakukannya ketika melihat ekspresi Rezza yang nampak tergemap. Seakan belum puas, Adena kembali berujar dengan nada serupa. "Taukah kau, Rezza. Sebenarnya ayahmu adalah dalang dari kecelakaan yang membuat Dwi Nugroho cacat."
Ruang hampa udara berasa datang, menyelimuti atmosfer sekitar, membuat dada Rezza begitu sesak. Hatinya bagaikan teriris pisau belati tajam. Begitu sakit, begitu perih. Kepalanya mulai panas. Benarkah yang dikatakan Adena barusan? Meski sulit dipercaya, apakah ayahnya benar-benar seseorang yang tega untuk melakukan hal semacam itu?
Kedua tangan Rezza mengepal kuat, seirama dengan dengusan kesal yang menuntut untuk keluar. Namun ketika teringat dengan senyuman istrinya, secercah kehangatan muncul di lubuk hati. Tak lama setelahnya, Rezza menarik nafas dengan sekuat tenaga, lalu menghembuskannya pelan.
Rasa panas di benaknya mulai tertanggulangi. Kini ia tengah menatap Adena dengan senyuman pahit. Tanpa berkata apa-apa, Rezza melepaskan bajunya, memperlihatkan singlet putih dan otot lengan yang lumayan berisi. Ia serahkan baju khusus pelayan restoran tersebut kepada Adena, kemudian berbalik pergi dari hadapannya.
Adena terdiam. Dan tanpa ia sadari, air mata mengalir di kedua pipinya. Bibirnya membuka, tetapi tidak sanggup untuk mengeluarkan barang satu kata pun. Benar. Penyesalan selalu datang di akhir.
Sementara itu, di luar dapur, semua orang menatap Rezza heran. Dan tentu penampilannya saat ini mengundang tanda tanya dari (mantan) rekan kerjanya.
"Rez, bajumu mana?" tanyanya—Anita sesambil menggaruk-garuk pipi. Namun pertanyaannya itu tidak digubris sama sekali oleh yang ditanya.
Kerumunan orang yang menatapnya tidak mengubah langkah gontai Rezza yang ke luar dari restoran itu. Ya, kenyataan tadi memang sebuah pukulan berat bagi dirinya. Namun ia sadar bahwa terus merutuki masa lalu tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab ada yang jauh lebih penting dari itu. Nasib keluarga kecil.
Lamunan Rezza seketika buyar saat seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Anda yang mengajar penjahat tadi, kan?"
Rezza berhenti melangkah, lalu berbalik guna menatap si empunya suara tadi. Dilihatnya seorang pria berambut agak keputihan tengah tersenyum hangat.
"Iya, benar. Anda siapa, ya? Dan ada apa?"
Pria tadi merogoh sebuah kartu nama dari saku baju dan memberikannya pada Rezza.
"Perkenalkan. Nama saya Candra Darmawan. Seorang sutradara. Ya ... walaupun saya tidak terlalu terkenal." Pria bernama Candra itu tertawa ringan.
Perlahan ekspresi Rezza mulai berubah kaget. "P-Pak Candra Darmawan yang menyutradarai film Akademi NPC itu?! Film yang berhasil meraih penghargaan sebagai film aksi terbaik tahun lalu itu?"
Candra mengangguk seraya mengumbar cengiran. "Wah, ternyata Anda cukup tau banyak. Begini, saya sedang mencari seseorang untuk menjadi pemeran dalam drama aksi terbaru yang rencananya akan dibuat beberapa pekan ke depan. Setelah melihat kemampuan dan potensi yang ada di diri Anda, maukah Anda menjadi pemeran di drama tersebut?" terangnya.
Rezza berujar ragu. "Ta-tapi ... bukannya pria bernama Bayu juga menghajar penjahat ta--"
"Sudah saya bilang jikalau saya melihat potensi pada diri Anda."
Hening sesaat. Meski mulut Rezza terbuka, tetapi tak ada sahutan yang diberikan.
Melihat raut heran itu membuat Candra berujar, "Jika tidak ya--"
"Tentu saja saya bersedia! Terima kasih banyak, Pak Candra!" sela Rezza seraya menyalami Candra dengan semangat yang meluap. Jelas ia begitu senang akan apa yang sedang terjadi. Lagi dan lagi, peristiwa tak terduga menyinggahi kehidupannya.
Candra merogoh sesuatu dari saku celananya. Mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dan memberikannya pada Rezza. "Ini ada sedikit uang. Anggaplah sebagai kebaikan hati saya," katanya masih disertai senyuman.
Pemberian tersebut tentu tidak disia-siakan oleh Rezza yang langsung menerimanya tanpa keraguan. Kata "terima kasih" terus ia lantunkan. Memberikan pertanda rasa syukur yang mendalam.
"Apa anda pernah berakting sebelumnya?" tanya Candra.
"Eh, iya. Sewaktu SMA dulu saya mengikuti klub drama dan sering menjadi pemeran utamanya. Yah, meski menurut saya drama tersebut cukup membosankan." Rezza tertawa kecil sesambil mengelus-elus bagian belakang kepalanya.
"Ah, baguslah. Hmm, nama lengkap Anda Rezza Nugroho, kan?"
Rezza menundukkan sedikit kepala. Meski sempat ragu, akhirnya sahutan yang ia berikan dibarengi dengan kemantapan hati.
"Bukan. Sebenarnya nama lengkap saya adalah Rezza Setiawan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro