Satu
"Menurutku itu cocok denganmu, Dwi."
Gaun pengantin putih panjang, dihiasi dengan berbagai pernak-pernik. Benda serupa permata dan manik-manik yang bekerlapan menambah keindahan dari seorang gadis yang memakai pakaian tersebut. Dengan anggun ia berjalan. Rambut hitamnya yang diurai pun terbelai, memperkuat pancaran kecantikan. Sementara pria yang berada di hadapannya hanya bisa tertegun kagum.
"Kak Rezza ... k-kurasa ini terlalu--"
"Kami ambil yang ini."
Tanpa mendengarkan Dwi yang mencoba berpendapat, lelaki yang dipanggil Kak Rezza tadi langsung membeli gaun tersebut.
"Tapi, Kak Rez--"
"Aku ingin istriku tampil cantik saat hari pernikahan kita nanti."
Kata-kata itu sukses membuat wajah Dwi bagaikan tomat sekarang, disertai degup jantung yang berpacu kencang. Memang, impian gadis itu adalah menikah dengan Rezza. Pria yang sejak dua belas tahun lalu ia sukai. Hingga akhirnya perasaan itu terbalaskan.
Pelukan hangat pun terjadi di antara mereka berdua. Insan yang akan berbahagia dua minggu lagi.
"Terima kasih."
.
.
"Kak Rez? Kenapa melamun?" tanya seorang gadis yang sedang dalam posisi duduk selonjor di sebuah kasur sederhana sambil memegang dahi suaminya.
Sang suami yang bernama Rezza itu kemudian memperlihatkan cengiran khas. "Aku tidak sedang melamun kok tadi. Hanya memerhatikan seekor semut."
Rezza membelai lembut rambut panjang istrinya. Wanita yang sangat ia sayangi.
"Maaf." Dwi mengalihkan wajahnya. Parasnya nampak begitu murung. Sangat kentara akan kenestapaan. Menyadarinya, Rezza pun tersenyum sambil memegang lembut dagu istrinya itu dan mengarahkannya agar bisa bertatapan langsung dengannya.
"Sudah kubilang berulang kali. Kau tidak salah--"
"Apanya yang tidak salah? Aku cacat! Tidak bisa sepenuhnya menjalankan kewajibanku sebagai istri! Aku dan ayahku hanya menambah beban Kak Rezza saja! Apa gunanya aku hidup di dunia ini? Apa!"
Air mata Dwi tak terbendung lagi. Secercah emosi muncul di lubuk hati disebabkan oleh tangisannya sendiri. Sementara Rezza hanya menanggapi dengan senyuman. Tidak memperlihatkan sedikitpun ekspresi marah maupun sedih. Hanya kelembutan yang terlukiskan.
Seketika hati Dwi luluh. Ia kemudian menenggelamkan kepalanya di dada bidang suaminya.
"Aku tidak ... i-ingin m-melihat ... Kak Rezza pingsan karena mencari uang untuk ... k-kami berdua ... s-seperti waktu itu," ujar Dwi berusaha menahan tangis. Kepalanya mendapatkan belaian lembut dari sang suami.
"Tidak apa. Aku ikhlas kok--"
"Apa Kak Rezza tidak ingin menceraikanku? Bila itu Kakak lakukan, Kakak bisa kembali ke keluarga Kakak lagi dan hidup Kakak tidak akan sengsara seperti sekarang ini."
Hening kemudian. Mereka berdua saling bertatapan. Kini, melalui sorot mata, Dwi berusaha meyakinkan suaminya akan apa yang ia katakan barusan.
"Dengan bersamamu saja sudah membuatku bahagia." Lagi dan lagi, Rezza memperlihatkan sebuah senyuman tulus. "Biar bagaimanapun keadaannya, biar sesulit apapun, aku tetap akan mencintaimu. Itulah janjiku seumur hidup. Janji yang pertama kali aku ungkapkan kepadamu saat hari pernikahan kita dulu. Dan sudah kubilang untuk kesekian kalinya."
Dwi terdiam, kemudian menunduk. Perasaan malu akan pernyataannya barusan muncul ke permukaan. "Maaf," katanya lirih.
"Berjanjilah padaku kalau kau tidak akan mengatakan hal semacam itu lagi."
"Janji!"
"Wah, wah, wah. Cepat sekali kalian akur."
Pasangan suami istri itu mengarahkan pandangan kepada yang barusan bersuara. Dia adalah lelaki paruh baya, menatap lembut Dwi dan Rezza sambil tertawa kecil.
"Ah, Ayah ...," kata Dwi setengah berteriak dengan wajah malu-malu.
Lelaki yang dipanggil ayah oleh Dwi tadi duduk di kasur tempat Dwi beristirahat sekarang. "Hargailah perjuangan suamimu selama ini, Dwi. Sudah lima bulan kalian menikah dan lima bulan pula kita berada dalam kondisi seperti ini. Seharusnya kau sudah bisa lebih bersikap dewasa."
"I-iya. Maaf."
"Ah iya, saatnya bekerja. Aku pamit dulu."
Rezza memasang topi abu-abu usangnya seraya berpamitan dan mencium lembut pipi istrinya.
"Kak Rezza sudah makan?" Dwi menggenggam erat pergelangan tangan suaminya.
Rezza melepaskan genggaman tersebut dengan lembut seraya berdalih, "Aku kan laki-laki, jadi harus kuat!"
Ayah Dwi tersenyum melihat tingkah menantunya. Walaupun sudah lima bulan ternyata sikapnya tetap tidak berubah.
Dwi pun pasrah. "Hati-hati, Kak."
.
.
"Wah, kamu benar-benar cantik, Dwi. Apalagi dengan gaun itu," puji seorang wanita paruh baya kepada gadis yang berada di hadapannya.
"Terima kasih, Tante Lila."
Dwi sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda hormat. Memang benar, dilihat dari sisi mana pun, penampilan Dwi saat ini terlihat sangat manis Gaun yang dikenakan begitu cocok. Setelah itu, terjadilah pembicaraan hangat antara Dwi dan Lila -Ibu Rezza.
"Calon istriku memang harus selalu tampil cantik. Hahaha! Benarkan, Aya--"
Spontan Rezza menghentikan kalimatnya ketika melihat ayahnya. Ia heran, kenapa beliau menatap Dwi seperti itu? Bisa dikatakan seperti ... err ... tidak menyukai kehadirannya. Atau mungkin hanya perasaan Rezza saja?
Tak lama, Puji-Ayah Dwi bergabung dengan perbincangan. Dan itu berhasil mengubah tatapan Ryan -Ayah Rezza 180 derajat.
Entah mengapa, perasaan cemas datang dan membuat Rezza berharap agar semua berjalan dengan lancar.
^^^^
Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan sepi. Penumpangnya-seorang gadis nampak sangat kecapaian. Berulang kali ia menghela napas, berusaha mensugestikan ketenangan pada diri sendiri. Memang, aktifitas yang padat sebelumnya begitu menguras tenaga dan pikirannya. Dan sekarang, tempo perpindahan yang semakin kencang membuat ia agak paranoid.
"Anu, Om Bagus. B-bisakah kita pelan-pelan saja?"
"Sesuai permintaan Anda, Nona Dwi," ucap sang supir tersenyum dibalik maskernya. Namun senyuman tersebut sirna seketika setelah menyadari sesuatu.
Remnya blong.
.
.
"Oi, Rezza! Kau dengar! Woooy!"
"E-eh? I-iya, maaf, Pak Arief," kata Rezza terperanjat dan spontan menggenggam erat keranjangnya.
"Ini bayaranmu. Sekarang cepatlah pergi!" Pria yang dipanggil Pak Arief tadi melempar secara sembarang sejumlah uang hingga berserakan di tanah.
Dengan sigap, Rezza memungut uang-uang tersebut satu persatu. Setelah semuanya terambil, ia berdiri dan terdiam, seakan sedang menunggu sesuatu.
"Loh? Kenapa masih disini?! Pergi sana!" bentak Pak Arief, lalu beralih menghitung lembar demi lembar uang di genggamannya.
"T-tapi ini jauh lebih sedikit dari biasanya. Ayolah, Pak. Keluarga saya mau makan apa dengan uang segini--"
Brak!
Mendadak, Arief menggebrak meja. Hal tersebut sukses membuat orang-orang yang berada di sekitar sana mengalihkan pandangan ke arah Rezza dan Arief yang sekarang sedang bersitatap tajam.
"Disini aku bosnya! Kau tidak ada hak untuk protes! Lagipula barang-barang yang kau dapat itu tidak bagus! Jadi, sebenarnya aku sudah berbaik hati! Camkan itu, pemulung kotor!" ujar pria yang memiliki tindik di kedua daun telinganya itu memberikan penekanan pada kata "pemulung kotor", lalu kembali duduk di kursinya.
Tak mau mempertegang suasana, terpaksa Rezza melenyapkan keinginannya untuk melawan dan pergi menjauh.
Sebenarnya kau lebih kotor daripada aku, Arief. Dia mengumpat dalam hati.
Rona oranye telah nampak dari ujung cakrawala. Matahari perlahan kembali ke peraduan. Burung-burung beterbangan, seakan saling berlomba untuk sampai ke garis finis. Di tengah suasana itu, dengan langkah yang sedikit oleng, Rezza menggendong keranjangnya. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah istri dan mertuanya. Tiba-tiba dia tersenyum setelah mendapatkan sebuah ide, lalu beranjak masuk ke supermarket di seberang.
.
.
Seorang pria paruh baya tengah bersantai, membaca koran ditemani secangkir kopi hangat. Berbagai perabot unik tertata, juga desain interiornya memberi kesan bahwa rumah tersebut sangatlah mewah. Dan kini, beliau berada di bagian ruang tamu. Ya, karena beliau adalah seorang pengusaha tersukses seantero kota, Ryan Setiawan.
Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya duduk di sampingnya.
"Apa benar-benar setuju 'kan dengan pernikahan Rezza?" tanya wanita tersebut.
Yang ditanya menghentikan aktifitasnya. "Ini menyangkut bisnisku juga, Lila. Bila Rezza menikah dengan seorang anak pemimpin perusahaan besar. otomatis kerjasama kami akan lebih--"
"Pemimpin perusahaan besar? Maksudmu mantan pemimpin perusahaan besar," kata wanita yang dipanggil Lila tadi, semakin lirih di kata-kata terakhir..
"Apa maksudmu?" Ryan menautkan kedua alisnya, lalu menatap istrinya itu dengan lebih serius.
Sang istri menampakkan raut muka sayu.
"Puji Nugroho baru saja dipecat menjadi pemimpin perusahaannya tadi pagi karena terlibat skandal. Perusahaannya bermasalah. Tidak menutup kemungkinan kalau rumah mereka nantinya akan disita. Juga, setelah kecelakaan itu, Dwi ... kedua kakinya ...."
Hening kemudian. Ryan masih mencerna makna dari kalimat-kaliimat yang dilontarkan istinya tadi. Lelaki itu kemudian berdiri sebelum berujar dingin.
"Segera katakan kepada Rezza bahwa pernikahannya dengan Dwi. dibatalkan."
.
.
Tok tok tok
"Ayah! Ada seseorang yang mengetok pintu," seru Dwi. Karena dia sedang berbaring, jadi tidak dapat membukakan pintu.
Sang ayah berusaha bangkit dari tempat duduknya dengan susah payah dan berjalan dengan susah payah pula. Beliau membukakan pintu tersebut. Terlihat Rezza membawa sebuah kantongan plastik hitam.
"Akhirnya kau pulang, Nak. Aku sudah lapar nih, ahaha!" ujar Puji dengan suara berat yang sebenarnya itu hanyalah sebuah candaan.
Rezza tersenyum penuh kepalsuan. "Maaf. Aku cuma bisa membawakan makanan-makanan ini.
Lelaki itu tertunduk lesu.
"Syukurlah. Yang penting kita makan hari ini," ujar Dwi mernyahut. Dia duduk di kasur masih dengan kaki terunjur. "B-bisa bantu Dwi untuk naik ke kursi roda?"
Segera Rezza dan Puji menuruti permintaan perempuan itu. Dengan lemah lembut, Rezza mengangkat Dwi. Iya, meskipun hampir seharian ini tidak makan, Rezza tidak mau memperlihatkan pertandanya kepada sang istri.
"Silakan dimakan. Ini bisa cukup sampai besok pagi."
Puji dan Dwi saling bertatapan.
"Kak Rezza? Lalu Kakak bagaimana?" tanya Dwi heran yang sekarang telah duduk di kursi roda. Matanya menatap Rezza sayu.
"Kenyang. Aku sudah makan kok. Sudah yah, aku mau istirahat dulu." Masih tersenyum, Rezza berkilah. Ia sedikit menundukkan kepala dan beranjak untuk tiduran di kasur. Dan benar saja, aktingnya tersebut berhasil meyakinkan Dwi dan Mertuanya.
Kuharap besok akan menjadi hari yang lebih baik.
vvvvv
Embun pagi membasahi rerumputan. Burung-burung berkicau senang karena mentari telah menampakkan sinarnya. Menggantikan bulan yang telah menyelesaikan tugasnya di malam hari.
Rezza menghirup kuat-kuat udara yang masih terasa segar. Ia sedikit berolahraga, melakukan perenggangan otot-otot tubuh, bersiap untuk mencari nafkah hari ini.
Tak lama, Dwi keluar dari rumah dengan kursi rodanya, Perempuan itu menatap geli tingkah suaminya. Setelahnya ia menengadah, menikmati pemandangan pada langit biru. Pikirannya mulai bergulat dalam dunia khayalan.
"Aku kerja dulu yah, Dwi."
Perkataan Rezza itu sukses mengagetkan sang istri yang baru sadar kalau suaminya itu telah berada tepat di depannya.
"Iya. Hati-hati, Kak Rezza"
Rezza mencium kening istrinya sebagai tanda perpisahan sementara.
vvvvv
Alat-alat transportasi yang memadat di jalan raya telah mencemari udara sekitar. Sangat tidak nyaman untuk dihirup. Terlebih lagi, siang ini terasa lebih panas dari biasanya. Di bawah terik itu, Rezza berjalan sempoyongan. Tubuhnya mengisyaratan untuk beristirahat dan mencerna sejumlah makanan, tetapi hati berkata lain. Di benaknya selalu teringat akan istri dan mertuanya. Ya, semakin pikirannya menyelam lebih dalam, perasaan bersalah kian membesar. Sebab ia merasa telah gagal menjadi seorang suami, bahkan tidak pantas menyandang predikat tersebut.
Tak bisa dipungkiri, terkadang muncul bayangan dari sosok ayahnya. Tidak, pria yang ia sebut ayah itu sudah tidak menganggapnya sebagai anak lagi. Mungkinkah ini bayaran yang harus diterima oleh anak durhaka seperti Rezza?
Entahlah. Hanya saja untuk saat ini, ia hanya ingin melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk keluarga kecilnya. Meksipun berat, prinsip "lebih baik membanting tulang terlontang-lanting, daripada meminta-minta" tetap kukuh ia pegang.
Rezza menyusuri sebuah gang sepi. Sangat sepi. Bahkan suara jangkrik pun sama sekali tidak terdengar. Dia terus berjalan, walaupun langkahnya begitu dipaksakan. Tiba-tiba, ia mendengar suara jeritan. Ini jeritan seorang ... wanita?
"Tolong!"
Rezza berusaha menstabilkan pikirannya. Ia memfokuskan indera pendengaran guna mencari-cari darimana asal suara tersebut. Setelahnya, segera Rezza melempar keranjangnya asal-asalan untuk berlari menuju asal suara itu.
"Woi, Bro! Cepetan cabut!"
Lelaki tampang preman berambut kecoklatan berteriak kepada seorang lelaki preman lainnya. Yang dipanggil Bro tadi mendengus kesal sambil mendorong gadis yang mereka rampok hingga tersungkur.
"Sabar, Vroh. Aku lagi lihat-li--"
Buak!
"Kyaaaa!!"
Satu pukulan keras tepat mengenai pipi si Bro dan membuatnya tersungkur di selokan terdekat. Preman satunya langsung menyiapkan aba-aba bertarung setelah sempat kaget melihat kejadian barusan.
"Oi, kamvret!" bentaknya dengan tampang garang. Lelaki berambut hitam acak-acakan yang ditatapnya--Rezza menyeringai.
Buak!
"Kyaaaa!!" Gadis berambut agak kepirangan yang dirampok tadi berteriak histeris.
Si preman yang dipanggil Vroh melepaskan pukulan tangan kiri yang dengan mudah dihindari oleh Rezza. Lelaki itu terus melancarkan serangan-serangan kecil. Namun masih dapat ditangkis dengan sempurna, seakan Rezza sudah terbiasa berkelahi.
Secara tak terduga, dari belakang, Bro memukulkan sebuah balok kayu dengan keras dan tepat mengenai punggung Rezza yang terlalu berkonsentrasi pada pertarungannya melawan Vroh. Alhasil, Rezza pun terjatuh.
"Kalau mau sok pahlawan jangan disini!"
Bro tersenyum remeh sembari memperlihatkan sebuah pisau tajam, bersiap untuk menusukkannya pada Rezza. Dan ketika niat tersebut dilakukan, Rezza memutar tubuhnya dengan sigap dan berhasil menghindar.
"Bajingan!" Kali ini Bro menyerang membabi buta. Dengan insting yang kuat, lagi-lagi serangan mengerikan itu tak menimbulkan dampak serius, meski lengan kiri Rezza tergores tipis karenanya.
Sekarang serangan balasan. Rezza menendang tangan si Bro yang memegang pisau tersebut dan sukses membuat benda tajam itu terlempar jatuh ke selokan. Rezza kemudian menghantam perut lawannya sekeras mungkin hingga sang lawan meringis kesakitan. Namun tiba-tiba ....
"Kyaaaa!!"
Kembali, si gadis pirang menjerit di saat melihat lengan Rezza terkena tebasan pisau oleh penjahat yang satunya lagi--Vroh.
Tak ingin membuang waktu untuk meratapi perih yang ia rasakan, Rezza menendang keras perut Vroh hingga hilang keseimbangan.
"Mereka berdua penjahatnya!" teriak si gadis pirang.
"Woy!"
Dari ujung gang, beberapa orang (semuanya laki-laki) berteriak ke arah Bro dan Vroh. Kedua perampok itu mulai panik. Tanpa berpikir lagi mereka lari tunggang langgang, berusaha bebas dari amukan massa yang mulai mengejar.
"K-kamu tidak a-apa-apa?"
Rezza tersenyum lesu sesambil berusaha untuk berdiri. Namun gagal. Penglihatannya mulai kabur. Perlahan kegelapan menyerang dan membuat dirinya tak sadarkan diri.
Ib
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro