Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua

"Eh? Ayah dan Ibu pasti sedang bercanda, kan?"

Rezza menatap kedua orang tuanya dengan cengiran. Tak memedulikan raut muka ayahnya yang memperlihatkan keseriusan. Tentu, dilihat dari manapun, tidak ada pertanda bahwa beliau sedang bercanda.

"Ini serius, Rezza. Ayah tidak mungkin menikahkanmu dengan orang cacat yang tidak sederajat dengan kita. Kau adalah anak dari seorang Ryan Setiawan! Mau ditaruh dimana harga diri ayahmu ini, hah?!" bentak Ryan. "Ayah sudah menemukan pengganti Dwi. Ayah yakin kau akan menyu--"

Rezza memukulkan tangannya ke atas meja sembari berdiri. Emosi yang bergejolak terlihat jelas dari ekspresinya saat ini. Tanpa menyahut, Rezza mengambil kunci mobilnya, lalu pergi dari hadapan orang tuanya.

"Mau kemana kau, Rezza Setiawan!" Ryan berdiri. Ia geram. "Anak itu!" Ryan memberikan penakanan pada kalimatnya, kemudian duduk untuk menenangkan diri.

Sang istri mencoba menenangkan. "Sudahlah. Rezza cuma perlu waktu untuk berpikir."

^^^^

Sebuah mobil mewah melaju dengan kencang sampai akhirnya memberhentikan diri secara mendadak, meninggalkan beberapa goresan di aspal jalan. Sang pengendara pun turun. Tatapannya nanar setelah melihat sesuatu di depan pintu sebuah rumah bertuliskan "rumah ini disita". Begitu paniknya pria itu—Rezza ketika pandangannya jatuh kepada seorang gadis dan pria paruh baya yang tengah menggendong beberapa tas berada di sekitar rumah mewah tersebut.

"Dwi! S-sebenarnya apa yang terjadi?"

Rezza langsung memeluk calon istrinya--Dwi dengan perasaan campur aduk. Lelaki paruh baya di sebelahnya tersenyum miris.

"K-Kak Rezza ...," ucap gadis itu lemah masih dalam pelukan. Ia kini tengah duduk di sebuah kursi roda.

Rezza menyudahi pelukannya dan menatap mata milik calon istrinya yang merepresentasikan kesedihan mendalam.

"Pe ... perusahaan yang ayah pi-pimpin ... bangkrut. Seluruh harta ayah disita. Semuanya d-disita ...."

Bibir Dwi bergetar. Tangis gadis itu akhirnya tak terbendung lagi, dan dada Rezza menjadi tempat pelampiasannya.

"Tidak semuanya Dwi.Masih ada kau. Kaulah harta ayah yang paling berharga daripada segalanya." Puji berusaha menghibur. Kali ini dengan sangat tulus beliau tersenyum. Tangisan Dwi berangsur-angsur mulai mereda.

"Akan kuantar kalian ke rumah orangtuaku. Kita harus membicarakan semua ini."

^^^^

"Tidak!"

"Ta-tapi, Ayah ... k-kena--"

"Aku bilang tidak ya tidak! Kau harus batalkan rencana pernikahan itu!"

Rezza tersentak. Perih yang ia rasakan di ulu hati. Seakan ditikam oleh beribu-ribu jarum. Sakit. Sakit sekali. Dia sangat mencintai Dwi. Tapi di lain sisi dia juga mencintai kedua orangtuanya.

Dirinya pun bergulat dalam keragu-raguan. Namun keraguan itu spontan sirna ketika melihat Dwi yang menangis di dekapan sang ayah. Hatinya sudah mantap kali ini.

"Kalau Ayah tidak mengizinkan kami menikah. Biarlah aku angkat kaki dari rumah ini."

Hening. Dwi tiba-tiba menghentikan tangisnya begitu mendengar hal itu. Ditengah isak samarnya, perasaan bersalah menyelimuti.

Ryan berjalan mendekati anaknya. "Baiklah kalau itu yang kau mau, Rezza. Mulai menit ini. Mulai detik ini. Kau ... bukan lagi anakku!"

Dwi menganga. Seluruh badannya bergetar hebat. Kelopak matanya kini mulai basah kembali.

"P-Pak Ryan ... jangan begi—"

"Diam kau, Puji! Ini bukan urusanmu!"

"Sayang! Rezza tidak serius mengatakan hal itu!"

"Aku serius. Ibu. Sangat serius." Rezza memasang ekspresi penuh keyakinan sembari melemparkan kunci mobilnya sembarang. Ia kini menatap dingin ayahnya.

Sikap masa bodoh diperlihatkan Ryan tatkala ia berbalik dan masuk ke dalam rumah mewahnya.

Lila merogoh dompet dari kantong celana dan memberikan beberapa lembar uang kepada anaknya.

"Ibu ada sedikit uang untuk Rezza. Pakailah untuk biaya pernikahan kalian nanti."

Rezza masih mencerna makna dari pernyataan ibunya barusan. "I-itu ... artinya ..."

Lila menatap Rezza dengan penuh kasih sayang, kemudian memeluknya."Itu artinya Ibu merestui hubungan kalian berdua. Ingatlah baik-baik. Selamanya, kamu ... ad .... adalah anak Ibu ...."

Perempuan itu terisak, menandai perpisahannya dengan anak tercinta. Tanpa terasa, Rezza mulai mengeluarkan cairan bening dari kedua pelupuk mata. Mendadak, Ryan keluar dari rumah dan menarik secara paksa istrinya menuju ke dalam.

"Rezza!"

"Ibu!"

Brak!

Pintu sukses tertutup. Rezza masih terpaku. Kaku. Tubuhnya seakan-akan mati rasa. Sedikitpun tak dapat bergerak.

Puji mendekati pemuda itu. "Maaf."

Rezza mengusap matanya, lalu tersenyum. Ya, senyuman itulah yang selalu ia perlihatkan guna menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang pria yang kuat.

"Untuk apa minta maaf, Om Puji. Ayo, kita bantu Dwi duduk di kursi roda itu."

.

.

Kedua kelopak mata lelaki itu membuka. Penglihatannya kini menangkap sebuah kamar dengan dinding bermotif bunga lavender. Boneka-boneka hewan tertata rapi di atas lemari kaca di seberang. Bau harum yang mengitari membuat ia berspekulasi bahwa ini seperti kamar seorang... gadis?

"Kau sudah sadar rupanya."

Suara halus itu mengagetkan lelaki tersebut—Rezza.yang langsung menatap sang empunya. Dia adalah seorang gadis, dengan paras yang tampak masih muda, sekilas terlihat berumur tujuh belasan. Rambut kepirangannya yang panjang terurai dengan bola mata biru nan eksotis menambah kesan cantik serta anggun.

"A-apa yang terjadi?" Rezza berusaha mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Seiring itu rasa sakit menjalar di lengan kiri pria tersebut.

"Jangan memaksakan diri. Lebih baik istirahat saja dulu," ujar si gadis pirang sembari sedikit membantu Rezza mendapatkan posisinya.

Bulan purnama dapat terlihat jelas dari luar jendela. Ditambah dengan beberapa bintang bekerlapan mengitari langit malam membuat pemandangan begitu indah dan sedap dipandang.

Hal itu membuat Rezza tersadar akan sesuatu, dan berubah panik setelah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh. "Keluargaku! Aku harus segera pulang!" Ia pun berusaha berdiri, namun dicegat oleh gadis di hadapan.

"Lebih baik kau istirahat dulu. Ah, iya, sebelumnya perkenalkan. Namaku Adena. Kalau boleh tau, namamu siapa?" tanya gadis yang menyebut dirinya sebagai Adena itu sambil tersenyum manis.

"Rezza ..."

Adena menaikkan sebelah alis ketika melihat Rezza yang nampak ragu untuk melanjutkan pernyataan.

"... Nugroho."

Kemudian, suasana hening menyelimuti, meskipun tidak berlangsung lama.

"Ah! Keranjangku! Dimana!?" pekik Rezza. Kini ia mengacak-acak rambut bak orang kesurupan.

Melihat tingkah aneh tersebut membuat Adena tertawa geli. "Ah, itu. Keranjangmu rusak diinjak warga yang mengamuk siang tadi. Maafkan aku."

"Kenapa harus minta maaf?" Rezza memasang wajah polos.

"Pokoknya aku minta maaf! Sebenarnya pekerjaan Kak Rezza apa sih?"

Mendengar kata "Kak Rezza" membuat bayangan dari sosok yang sangat dicintai muncul di benak Rezza. Seorang perempuan yang kini sedang menunggu kepulangannya. Perlahan bayangan dari paras wanita tersebut semakin jelas. Hatinya spontan serasa tertusuk. Bagaimana perasaan istrinya ketika ia pulang dalam keadaan berbalut perban seperti ini?

"Ada yang salah? Ma-maaf kalau aku lancang. Seharusnya aku--"

"Tidak apa-apa kok." Rezza nyengir, mencoba menghibur. Tak tega ia melihat raut muka Adena yang berubah sedih. "Sebenarnya ... aku hanya seorang pemulung."

"Pe-pemulung? Tapi wajahmu yang tampan itu tidak menunjukkan kalau Kak Rezza seorang pemulung." Adena tersenyum. "Ah! Bagaimana kalau Kak Rezza bekerja jadi pelayan di restoran punyaku? Mau tidak?"

Spontan, Rezza tertegun. Butuh waktu agak lama untuk memikirkan maksud dari pernyataan Adena tadi. "Menjadi ... pelayan ... restoran ... punyamu?!"

Adena mengangguk tanda mengiyakan.

"Ba-baik! Iya! Eh, terima kasih banyak!" ujar Rezza dengan semangat empat lima. Saking senangnya, ekspresinya kini begitu berbinar-binar.

"Anu ... Kak Rezza. Sebaiknya Kakak makan dulu. Aku sudah sediakan. Dan biar aku yang mengantar Kakak pulang."

vvvvv

Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan sebuah rumah. Ya, di sanalah tempat tinggal Rezza dan keluarganya. Meski terlihat tidak cukup layak untuk ditempati, namun kehangatan di dalamnya tetaplah dirasakan. Lagipula, rumah itu merupakan satu-satunya kepunyaan dari ayah Dwi yang tersisa.

Setelah mengucapkan "terima kasih banyak" kepada Adena, secara perlahan, Rezza turun dari mobil tersebut. Wajah sumringahnya tertata begitu kentara.

"Kak Rezza. Jangan lupa besok yah?" kata Adena riang.

Rezza menyempatkan diri menoleh ke arah gadis itu dan menggangguk mantap, kemudian melanjutkan langkahnya. Pintu rumahnya terbuka, menandakan sambutan selamat datang dari orang di dalamnya.

Sang supir mulai menjalankan mobil di mana Adena berada. "Hmm, gadis itu ... sepertinya aku kenal," gumam Adena dari balik kaca mobil. Ia terheran saat melihat kedatangan Rezza yang disambut oleh seorang gadis berkursi rodanya. Namun untuk sekarang, ia tak mau berpikiran macam-macam.

"Be-benarkah itu, Kak Rezza?"

Rezza mengangguk mantap, lalu mengeluarkan sejumlah uang. "Adena juga memberikan ini sebagai rasa terima kasihnya."

Hal itu sukses membuat istri dan mertuanya tercengang.

"I-ini ... b-banyak sekali. Syukurlah," ujar ayah Dwi.

Sembari mengangguk, Rezza nyengir ala kuda, membuat istrinya sangat lega dan diliputi perasaan bahagia yang luar biasa. Kebaikan pastilah akan dibalas dengan kebaikan, begitu pula sebaliknya. Sebab hal tak terduga biasanya menjadi pengiring dari beberapa peristiwa.

Tiba-tiba, suara khas dari perut Dwi terdengar. Dan karena suara itulah perubahan ekspresi Rezza begitu kontras. Dari senang menjadi sedih. Perasaan bersalah mulai datang. Bagaimana bisa ia makan enak tadi sedangkan istri dan mertuanya kelaparan?

Dwi memutar roda dari kursi rodanya guna mendekati suaminya, kemudian menggenggam tangannya dengan penuh kelembutan. "Sudahlah, jangan sedih begitu, Kak Rez. Dengan tidur juga rasa lapar ini akan hilang. Mari kita istirahat. Kak Rezza mesti tidur sekarang, supaya besok bisa bekerja dengan maksimal."

vvvvv

Sekarang pukul delapan pagi. Rezza telah berada di restoran kepunyaan Adena. Sangat mewah. Lelaki itu tak henti-hentinya kagum. Mungkin juga sedikit ... rindu, karena sudah lama dia tidak makan di restoran mewah semacam ini. Tak lama, Adena datang dengan mengenakan gaun berwarna mewah tua. Gadis itu terlihat anggun saat berjalan.

"Nah, inilah restoran punyaku. Memang tidak terlalu mewah, sih. Karena ini cuma salah satu restoran tersederhana punya keluargaku. Dan apakah Kak Rezza tau, bahwa keluargaku adalah pemilik tiga restoran di kota ini." Gadis itu tertawa pelan.

Dahi Rezza berkerut samar. Ia merasa kalau perkataan Adena tadi mempunyai makna yang cenderung seperti ... menyombongkan diri? Ah, sudahlah. Bekerja di sini saja sudah membuat Rezza sangat bersyukur. Segera, Rezza menjauhkan pemikiran-pemikiran negatif tersebut dari benaknya.

"Ya ... pokoknya, aku sudah sangat bersyukur bisa bekerja disini!"

Mereka berdua mulai berbincang-bincang. Adena menjelaskan apa pekerjaannya di sini, bagaimana dia bekerja, dan lain sebagainya. Seringkali Rezza menyelingi pembicaraan tersebut dengan candaan. Dengan otaknya yang cepat tanggap , Rezza bisa dengan mudah memahami maksud dari penjelasan Adena.

Kini, Rezza telah memakai seragam khusus pelayan di restoran tersebut. Berwarna hijau muda, bertuliskan Adena's Resto di dada.

"Oh iya. Restoran ini buka tepat jam sembilan pagi. Tersisa sekitar tiga puluh menit lagi waktu untuk bekerja. Jadi, bersiaplah, Kak Rezza," tegas Adena sembari mengeluarkan beberapa uang dari sakunya.

Tentu hal tersebut mengundang tanda tanya besar di benak Rezza. "Eh? Ini?"

"Ini bonus dariku. Ambilah."

"E-eh? A-anu ... terima kasih banyak!" Meski sempat ragu, Rezza pun mengambil uang tersebut dengan penuh kegembiraan. Lumayan 'kan untuk tambahan biaya kehidupan sehari-hari.

"Sekarang pergilah ke dapur. Bergabunglah dengan pegawai-pegawaiku yang lain."

Instruksi tersebut pun segera dilakukan Rezza. Tak perlu waktu lama agar debutnya sebagai pelayan dimulai. Dari dapur ke meja makan. Dari meja satu ke meja lain. Tak terasa Rezza sangat menikmati pekerjaan yang satu ini. Karena ini jauh lebih menyenangkan daripada pekerjaan yang sebelumnya.

Di sana, Rezza berkenalan dengan rekan-rekannya. Salah satunya bernama Bayu. Meskipun sikapnya dingin dan agak cuek, tetapi Rezza bisa melihat banyak kehangatan dan kebaikan dalam diri Bayu. Itulah sebabnya ia bisa lebih mudah mengakrabkan diri dengannya. Selain itu ada juga gadis bernama Anita. Dia agak kasar memang, namun begitulah cara dia untuk menunjukkan perhatian. Berkali-kali Rezza dibantu olehnya ketika kebingungan saat bekerja.

Ya, sekarang Rezza benar-benar telah mendapatkan teman baru.

vvvvv

Suara decitan kursi roda terkadang terdengar ketika Puji membantu anaknya untuk beranjak. Beberapa saat lalu, Dwi dan Puji pergi ke toko guna membeli beberapa makanan untuk persedian beberapa hari ke depan. Sekarang mereka dalam perjalanan pulang. Dan tidak terasa, sosok dari rumah sederhana mereka telah terlihat di seberang sana.

Dwi yang berada di kursi rodanya menyingkap plastik hitam yang sedari tadi ia pangku. Dan sepersekian detik kemudian, ia baru mengingat sesuatu.

"Astaga! Ayah! Kita melupakan sabun mandinya!" kata Dwi kaget, setengah berteriak.

"Dwi masuk saja duluan ke rumah. Biar ayah yang belikan."

Puji mulai meninggalkan Dwi di bagian teras rumah mereka, berniat ingin kembali ke toko tadi.

Cukup lama Dwi terdiam. Entah mengapa ia serasa enggan untuk masuk ke rumah. Ada sesuatu ganjalan di hati, namun ia tidak tau apa itu. Lamunannya pun mulai buyar. Dwi memutar rodanya, berniat jalan-jalan sejenak guna menenangkan diri. Namun perpindahannya spontan terhenti di balik dinding ketika mendengar suara perbincangan wanita.

"Eh, tadi itukan istri Rezza Nugroho. Kenapa suaminya tidak menceraikan wanita itu saja yah?"

"Rezza itu kan pemulung. Jadi sudah sepantasnya mendapatkan istri kayak gitu."

"Ish, kau tidak tau ya! Kulihat kemarin malam Rezza bersama seorang gadis cantik di dalam mobil mewah. Mereka bicara nampak akrab loh. Dan kudengar lagi, katanya Rezza telah diterima bekerja sebagai pelayan di Adena's Resto."

"Ha!? Restoran terkenal itu!?"

"Iya. Padahal dengan wajah tampannya itu, sangat mudah mencari gadis yang kaya loh. Meskipun Dwi itu cantik, tetap saja dia ...."

"Kau benar. Eh, ada satu hal. Sudah lima bulan mereka menikah. Tetapi si Dwi belum juga hamil. Apa jangan-jangan dia ...."

"Hush! Sudahlah, jangan membicarakan orang lagi!"

"Bukannya kau yang mulai duluan!"

Bergegas, Dwi memutar rodanya, bersegera masuk ke rumah. Bergetar. Perempuan itu terisak. Perasaan ini datang lagi. Perasaan di mana merasa dirinya tidak berguna. Perasaan di mana merasa dirinya tidak pantas menjadi istri seorang Rezza Setiawan. Iya, dirinya hanyalah orang bodoh yang membuat Rezza jatuh miskin. Membuat Rezza meninggalkan segala kemewahan hanya untuk dirinya.

Tapi untuk apa Rezza melakukan itu? Apakah karena kasian? Ataukah alasan lain? Tidak, apapun itu, hanya saja, dada Dwi berasa sangat sesak. Bulir-bulir air mata berjatuhan, mengaliri pipinya yang merah marun. Dirinya kembali teringat akan impian yang pernah dikatakan suaminya dulu. Mempunyai seorang anak. Iya, buah hati yang akan mereka kasihi dan cintai seumur hidup.

Mungkinkah harapan itu akan menjadi nyata.

vvvvv

"Ah, lihat! Aku bawa makanan enak, loh!"

Rezza memperlihatkan sebuah kantong plastik hitam yang berisikan makanan dari restoran tempat ia bekerja. Setelah berucap syukur, Puji membantu mempersiapkan dan membagikan makanan yang ada di dalamnya. Mereka bertiga pun menyantap hidangan tersebut. Di tengah acara makan bersama itu, Rezza baru saja menyadari perbedaan raut muka istrinya dibandingkan sebelum ia berangkat kerja pagi tadi.

"Makanannya tidak enak yah, Dwi?"

"Ohok! Ohok!" Yang ditanya spontan berperanjat dan terbatuk-batuk. Diminumnya sedikit air putih untuk melancarkan dirinya bebas dari ketersedakan. "B-bukannya begitu, Kak Rezza. Hanya saja ... hanya saja ada ... ada sesuatu yang aku pikirkan."

Dwi menundukkan kepalanya.

"Apa itu?" tanya Rezza dan Puji berbarengan.

"Anu ... akankah k-kita dapat memiliki momongan su-suatu saat nanti ...."

Hening sejenak. Mendengar anaknya mengatakan itu membuat Puji tiba-tiba gatal untuk segera menggendong seorang cucu.

Tawa kecil Rezza lakukan sebelum menyahut. "Percayalah, Dwi. Nanti kita pasti akan memilikinya. Kalau perlu, mari kita usahakan membuatnya malam ini juga!"

Kali ini Puji dan Rezza terkekeh bersamaan, begitu keras sampai-sampai orang luar rumah bisa mendengar tawa mereka dengan sangat jelas. Lama itu dilakukan, tanpa memedulikan Dwi yang wajahnya semakin merona kemerahan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro