My Beloved Family
Hari ini adalah hari pemakaman saya.
Menjadi wanita lima puluh delapan tahun yang kekayaannya tidak akan habis tujuh turunan, memiliki tiga orang anak perempuan dan satu anak laki-laki, serta enam orang cucu menggemaskan, membuat hidup saya sangat lengkap dan bahagia. Mereka baik dan menyayangi saya meskipun jarang pulang ke rumah karena sudah menikah dan tinggal di luar kota.
Saya selalu bahagia. Bahkan ketika dokter menyatakan umur saya tidak akan panjang karena mengidap kanker otak stadium akhir, kebahagiaan tetap tidak sirna. Bukannya ingin cepat-cepat mati, tapi semua keluarga selalu ada dan memberi semangat bahkan mereka yang tidak bisa pulang, akhirnya berkumpul. Pun cucu-cucu saya yang manis dan lucu. Jika mati sekarang, rasanya juga tidak akan semenyedihkan itu, sebab saya akan bertemu kembali dengan suami tercinta yang sudah pergi lebih dahulu.
"Semoga nenek cepat sembuh ya ...." Cucu saya Lizzy yang manis mendoakan. Rasanya ingin saya elus rambutnya yang lembut itu. Akan tetapi, saat itu kondisi saya sedang kritis, hanya dapat melihat mereka yang berkunjung tanpa bisa menyapa.
Bahkan saya dapat melihat tubuh saya sendiri yang sedang terbujur di tempat tidur dengan beberapa alat bantu kesehatan yang memang sengaja didatangkan dari rumah sakit. Bukannya tidak ada yang mau menemani di rumah sakit, tapi mereka sepakat membiarkan saya di rumah untuk terakhir kalinya. Sungguh mereka menyayangi dan peduli pada perasaan saya.
Namun, pada akhirnya kami harus berpisah. Saya dinyatakan meninggal dunia dan di sinilah kami sekarang. Di pemakaman saya.
Selayaknya upacara pemakaman, semua dihiasi satu warna—hitam. Lalu diiringi tangisan dan kata-kata terakhir sebelum peti mati itu dikubur oleh tanah. Mereka begitu manis, mencoba mengenang berbagai macam hal menyenangkan yang pernah kami lalui, pun kebaikan-kebaikan saya yang diumbar hingga rasanya jadi malu sendiri.
Pemakaman saya dihadiri oleh banyak orang. Semua keluarga besar pun datang. Kakak saya, Rose—yang walau sudah enam puluh dua tahun tapi masih terlihat bugar itu juga datang dari jauh. Adik saja—Jane, dia bilang tidak bisa datang karena sedang sibuk bekerja, tapi masih bisa menyempatkan waktu. Apakah dia berkorban demi bisa mengantar kepergian terakhir saya? Padahal saya dengar dia sedang kesulitan keuangan.
Oh, Tuhan. Mereka membuat saya menangis bahagia. Tolong berikan satu kesempatan untuk tetap bersama mereka. Maksudnya bukan dengan hidup kembali lalu menjadi zombi, tapi tetap ada meski menjadi apa pun. Saya memang tidak percaya reinkarnasi, tapi untuk kali ini saya memohon agar dapat bereinkarnasi menjadi bagian dari keluarga saya lagi.
"Kau yakin ingin hidup lagi?" Malaikat berjubah hitam yang sedari tadi berdiri menemani saya mengamati proses pemakaman, akhirnya bersuara.
Tentu saja yakin. Kalau bisa, saya ingin menjadi roh penjaga untuk mereka semua. Awalnya malaikat itu menertawai saya, tapi kemudian ia mengangguk dan berkata, "Baiklah!"
Dan Boom!
Seperti ibu peri di dongeng Cinderella, sang malaikat membuat arwah saya bersinar terang, lalu menghilang. Ah! Bukan menghilang, tapi kembali lagi hanya saja berada di tubuh orang lain. Entah tubuh siapa tapi pandangan saya rasanya berbeda. Saya harus menengadah untuk melihat anak saya Jasmine yang sedang mengelap hidungnya dengan sapu tangan.
Sepertinya saya menyusut!
Ketika mengangkat tangan, jemari saya berubah mungil tanpa keriput. Tidak lupa sebuah cincin berwarna merah muda yang tersemat di jari manis.
"Lizzy, ada apa?" Sentuhan pada bahu dan sapaan dari anak saya Judy, menciptakan sebersit rasa bingung. Dia memanggil saya Lizzy?
"Kenapa diam?" Kali ini dia berlutut hingga membuat saya tidak perlu repot-repot mendongak sedemikian rupa hanya untuk melihat wajahnya. Mata yang memerah sehabis menangis tidak membuat kecantikannya memudar. Anak saya memang yang terbaik. "Lizzy?"
Ah, tunggu! Dia benar-benar memanggil saya Lizzy!
Malaikat berseragam hitam layaknya di film-film kembali muncul dan berpesan, "Kuberi kau waktu satu minggu ini mendiami tubuh cucumu. Setelah itu, kau bisa memilih untuk ikut denganku ke akhirat atau menjadi Lizzy untuk selama-lamanya!"
Ajaibnya, hanya saya yang dapat melihatnya. Sebab Judy, malah merasa aneh ketika saya berjengit ke arah belakangnya—ke tempat malaikat itu berdiri.
"Lizzy?" Judy kembali memanggil.
"Ada apa dengannya?" James, suami Judy—menantu saya yang rupawan—ikut menghampiri. "Kau bawalah ke mobil, mungkin dia kelelahan!"
Judy mengangguk dan mencoba menggendong tapi saya tolak, "Saya masih ingin di sini!" Baik, ini memang aneh. Baru saja saya berkata dengan bahasa yang terlalu baku. Pantas Judy dan James saling berpandangan. "Lizzy ingin menemani nenek lebih lama." Saya mengulang. Anak kedua dan menantu saya tersenyum lalu kembali berdiri dan kami sama-sama menatap pada kuburan yang hampir selesai ditimbun.
Bolehkah saya menangis sekarang? Melihat tubuh sendiri terkubur lalu ditangisi oleh orang-orang kesayangan yang peduli pada saya, rasanya menyesakkan. Mengingat betapa sedih dan kehilangannya mereka setelah ini. Apalagi natal yang beberapa hari lagi akan datang, pasti terasa berbeda tanpa kehadiran saya.
**
Seperti kebanyakan keluarga lain di luar sana, usai upacara pemakaman, seluruh keluarga berkumpul. Hari yang panjang belum berakhir bahkan jika malam sudah mulai larut. Saya yang menjelma menjadi Lizzy, disuruh masuk ke kamar dan tidur, tapi di sinilah saya sekarang. Membuat Lizzy yang manis menjadi anak nakal—mengintip ke dalam ruang keluarga dari sela pintu yang tidak tertutup rapat. Orang-orang kesayangan saya sedang berkumpul dan pastinya tengah mengenang kebersamaan kami.
"Berhenti menangis Bibi Rose!" bentakkan Jasmine sukses membuat saya terkejut. Anak kedua saya itu tidak pernah membentak sebelumnya, sejak kapan ia menjadi sekasar ini?
"Oh, lihat. Akhirnya sifat aslimu keluar. Kenapa? Merasa bebas setelah tua bangka itu mati?" Sekarang, Judy yang bicara. Anak ketigaku yang biasanya manja dan penuh kasih sayang itu mengatakan hal yang sinis dan agaknya kasar.
Siapa 'tua bangka' yang Judy katakan? Saya?
"Berhentilah bertengkar!" Rupert—si sulung kesayangan yang selalu bijak akhirnya ikut bersuara. Dia kebanggaan saya, tampan dan mapan. Kini sudah memiliki apartemen mewah di New York dan seorang istri cantik yang merupakan model ternama. "Kita sudah merdeka. Belenggu terakhir sudah tidak ada. Ini saatnya untuk berbahagia!"
Belenggu? Apa yang sedang anak-anak saya bicarakan? Mereka tidak mau mengenang masa kecil bersama saya? Oh, saat-saat itu adalah yang terbaik. Saya masih ingat ketika Rupert masih berusia empat belas tahun. Dia ikut olimpiade matematika, tapi hanya membawa pulang medali perak. Saya merendamnya di dalam bak mandi hampir semalaman. Besoknya dia demam dan meminta maaf. Lalu, olimpiade selanjutnya dia berhasil mendapat medali emas.
Suami tercinta selalu memuji kehebatan saya dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anak. Jasmine, Judy, dan Hilda juga menjadi bukti nyatanya. Mereka besar dengan manner dan keanggunan wanita terhormat. Cantik, lemah lembut, dan tidak pernah berkata kasar. Pernah sekali Judy menghardik adiknya Hilda dan saya menampar mulutnya hingga satu gigi susunya patah. Dia sempat marah dan mendiamkan saya, tapi setelah dinasihati oleh ayahnya, ia kembali membaik. Sejak saat itu, ia tidak pernah bersikap buruk lagi.
Mereka yang saat ini terlihat berbeda, mungkin karena terguncang atas kepergian saya. Anak-anak yang malang.
Saya membuka celah pintu sedikit lebih lebar agar dapat melihat dan mendengar lebih leluasa, ketika pendengaran saya menangkap suara Jane. "Bisakah kalian berhenti bertengkar dan berikan uangnya sekarang juga?!"
"Kau tidak bisa menunggu hingga besok? Siapa tahu tua bangka itu memberimu sedikit warisannya?!" celetuk Jasmine, kali ini ia tidak menggunakan nada setinggi tadi. Anak manis.
Jane menggerutu, lalu langkah kaki terdengar mendekati pintu. Saya bergegas pergi dan lari ke kamar. Jangan sampai mereka tahu kalau saya—Lizzy—ketahuan belum tidur bahkan mengintip mereka. Akan tetapi, sialnya malam itu saya kembali dan tidur di kamar lama, bukan di kamar yang seharusnya.
Tidak heran ketika pagi tiba, Judy membangunkan saya dengan raut yang ... bagaimana saya menggambarkannya? Entahlah, seperti kebingungan dan risih. Untuk kemudian saya hanya mendengar James berbisik, "Mungkin Lizzy hanya rindu."
**
Sarapan bersama menjadi kegiatan pertama di kehidupan kedua saya. Sudah lebih dari sepuluh tahun saya tidak melakukannya bersama anak-anak. Kali ini bahkan lebih meriah karena semuanya berkumpul, bahkan kakak dan adik saya. Tidak terasa keluarga ini menjadi sangat besar.
"Pengacara akan datang nanti sore." Saya menoleh pada Rupert. Ia mengelap mulut dan berdiri. "Aku ada urusan. Akan kembali nanti sore."
Semuanya tidak acuh, membiarkannya pergi lebih dulu di tengah sarapan kami. Perbuatan yang tidak sopan itu membuat mood saya memburuk seketika. "Di mana sopan santunmu, Rupert?" Dan saya tidak sengaja mengutarakan teguran itu. Alhasil, semua mata memandang ke arah saya..
"Lizzy?" Judy kembali memandang saya dengan tatapan yang sama seperti tadi pagi.
"Ma-maksud Lizzy, Paman Rupert jangan pergi dulu." Semoga mereka hanya merasa salah dengar jika saya mengulanginya dengan bahasa yang lebih mencerminkan anak berumur tujuh tahun.
Akan tetapi, semua di luar perkiraan. Mereka menatap aneh ke arah saya, lalu Hilda berkata, "Selintas aku teringat pada wanita itu."
"Aku juga. Kupikir arwahnya masih mendiami rumah ini!" Jasmine menimpali sambil terkekeh sendiri. Jelas sekali anak itu tengah mencemooh 'wanita' yang ia maksud.
"Lizzy, kamu ... baik-baik saja?" Judy membelai rambut saya. "Kamu masih sedih karena nenek sudah meninggal?"
Saya mengangguk. Seperti kalian, saya juga merindukan saat ketika masih hidup dan memandang kalian dengan penuh kebanggaan. Namun, perkataan Nicol, anak pertama Jasmine yang berusia dua belas tahun, membuat bulu kuduk saya merinding.
"Kau rindu nenek sihir itu? Seharusnya kau senang karena dia sudah tidak ada!"
Kenapa bocah itu berkata demikian? Lancang sekali. Saya langsung menggebrak meja dan berdiri. "Jasmine, ajari anakmu sopan santun! Tidak beradab dan lancang sekali!"
"Li-"
"Atau kau mau saya yang mengajarinya? Akan saya patahkan satu kakinya!"
Ketika saya tersadar dari amarah yang memuncak, suasana menjadi hening, bahkan Judy hanya bisa membuka bibirnya tanpa mengatakan apa pun. Sial, inilah kelemahan saya, mudah tersulut emosi hingga lupa pada situasi.
**
Suasana menjadi sedikit canggung usai insiden tadi pagi. Mereka menyuruh saya bermain dengan Nicol dan yang lain, sementara mereka berkumpul di ruang keluarga. Akan tetapi, kelima cucu saya yang lain menjauh dan tidak mau menyapa, bahkan Janete yang saya tahu sangat dekat dengan Lizzy, tidak mau mendekat.
Baiklah, saya memang tidak bisa bersikap seperti anak-anak di depan anak-anak. Toh, saya juga tidak tahu permainan apa yang bisa kami mainkan. Masa kanak-kanak saya sangat berbeda dengan mereka. Masa itu, tidak ada yang namanya bermain, yang kami tahu hanya belajar dan belajar. Mendapat nilai bagus atau hukuman. Sungguh, beda sekali cara mendidiknya.
Entah apakah cucu saya bisa menjadi sesukses ibu dan ayah mereka nantinya?
Satu jam telah berlalu dan mereka belum juga keluar dari ruang keluarga. Apa yang mereka lakukan? Masih bersedih atas kepergian saya?
"Lizzy?" panggilan Hilda mengalihkan perhatian saya. Dia mendekat dengan pelan—seakan takut. Tidak biasanya, yang saya tahu dia adalah anak yang percaya diri dan tidak pernah canggung pada apa pun. "Kau ... benar-benar Lizzy?"
Tidak, sayang. Aku ibumu. "Ini Lizzy, Tante."
Lama ia terdiam, hingga kembali bersuara, "Jangan ... menirukan wanita itu lagi, Kau-kau membuat kejiwaanku terganggu!" Begitu canggung dan terbata-bata.
"Apa maksud-"
"Lizzy!" Judy memotong pembicaraan kami, ia menghampiri dan menarik saya untuk menjauh. "Jangan mengganggu anakku!"
"Aku tidak mengganggunya. Aku hanya penasaran dengan kejadian tadi pagi. Kupikir ...."
"Kau pikir dia wanita tua itu?"
"Tentu saja. Kau tidak dengar bagaimana cara dia menatap, berucap, dan bahkan kata-kata yang keluar dari mulutnya persis seperti wanita itu. Mengerikan! Ah, rasanya aku akan muntah!" Hilda membekap mulutnya lalu berlari pergi.
Yang menjadi pertanyaan terbesar saya saat ini adalah, sejak kapan Judy dan Hilda berbincang dengan sinis dan bernada kasar seperti itu? Oh, ada apa dengan mereka semua?
Judy menggenggam tangan saya dengan erat lalu membawa saya ke ruang keluarga. Di luar dugaan, rupanya mereka sedang menikmati minuman beralkohol di siang hari. Bukan sekedar minum, mereka sedang berpesta.
Dan kedatangan saya membuat mereka terpaku.
"Lizzy, kau benar-benar pintar menirukan wanita tua itu!" Zain—suami Jasmine berkata lalu tertawa. Dia sudah hampir mabuk. Memalukan.
"Kau benar, dia membuatku bergidik!" Jasmine menambahkan.
Pintu ruangan terbuka lebar ketika saya hendak bicara. Rose dan Jane masuk, lalu berkacak pinggang di hadapan kami semua. " Kalian berpesta terlalu cepat!" Rose berucap dengan nada seolah mengejek. Kakak saya yang bodoh, seharusnya ia memarahi mereka atas sikap yang memalukan.
"Adikmu itu akhirnya mati. Semua ini harus dirayakan!"
"Kalian sebenci itu pada Jade?"
Ketika nama saya diucapkan, saya tersadar pada satu hal. Mereka semua, keluarga yang saya sayangi tidak pernah menyebut nama maupun memanggil 'ibu' sejak awal pemakaman hingga sekarang. Bahkan, mereka menyebut saya 'wanita tua', 'tua bangka', atau 'wanita itu.'
"Tentu saja aku membencinya." Suara Judy mengejutkan saya. Dia maju ke tengah ruangan dengan tangan terlipat di depan dada. "Kami membencinya. Wanita sialan itu seperti iblis, hanya memberikan neraka pada kami."
"Kau benar. Dia memang iblis. Membesarkan kami dengan cara tidak manusiawi." Jasmine, anak itu mendukung perkataan kurang ajar adiknya.
"Andai dia tidak mengidap penyakit mematikan, mungkin aku sudah benar-benar akan meracuninya hingga mati." Perkataan yang muncul dari ambang pintu menjadi penutup dari semua kejelasan yang harusnya saya dengar.
"Kuharap, dia membusuk di neraka." Mereka bertiga bergumam dengan serempak.
Setelah semuanya terucap, saya hilang kendali. Mereka mengecewakan saya. Anak-anak tidak tahu diri yang menyumpahi ibunya sendiri mati dan membusuk di neraka adalah yang terburuk. Saya mengutuk mereka!
"LIZZY!" teriakan Judy dan matanya yang melotot ngeri pun tidak bisa membuat saya menghentikan tangan yang meleparkan botol anggur ke kepala James yang duduk membelakangi saya.
Sebagai ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya, saya harus menghukum mereka agar kembali menjadi anak yang baik!
Saya tidak begitu ingat apa yang terjadi setelah botol anggur menghantam kepala james hingga pecah dan membuatnya tersungkur ke karpet merah bata di ruang keluarga. Ini sering terjadi jika saya sudah terlalu emosi. Akan tetapi, ini pertama kalinya saya diikat di tempat tidur dan dua orang pendeta berdiri di samping saya sambil membacakan alkitab dan mengarahkan salib.
Mereka gila?
**
Chicago, x Juni 2018
Saya Theodore Dreiser, pengacara pribadi keluarga Bringston. Hingga saat ini dipercayakan mengurus surat wasiat Ny. Jade Bringston, akan menceritakan hal sebenarnya yang terjadi pada keluarga kaya raya itu.
Sehari setelah kematian Ny. Bringston, saya dipanggil ke kediaman mereka untuk membacakan surat wasiat di sore harinya. Baru saja turun dari parkiran mobil di depan rumah mereka, Rupert Bringston menyambut saya. Dia juga baru sampai dan mengajak saya untuk masuk ke dalam bersama dengan senyuman yang lebar. Sepertinya dia sudah merelakan kepergian sang ibu.
Suara teriakan yang mengerikan menjadi penyambutan paling brutal hari itu. Kami berdua bergegas lari ke dalam, menuju asal suara—ruang keluarga. Hal pertama yang saya lihat adalah seorang gadis kecil dengan rambut panjang sepunggung-dikepang dua, sedang mencekik seorang wanita yang terlentang di bawahnya.
Dua orang laki-laki termasuk Rupert dan satu wanita mencoba menariknya untuk melepaskan wanita itu tetapi tidak berhasil. Saya mencoba mempelajari situasi. Ruangan itu sudah berantakan. Satu orang pria tersungkur di karpet dengan kepala berdarah dan serpihan kaca di sekitarnya. Lalu satu wanita berambut hitam sebahu tersandar di dinding dengan potongan botol yang menancap pada perutnya.
Hal paling mengerikan dari semua itu adalah gadis kecil yang mereka panggil Lizzy. Dia baru mau melepas cekikkannya setelah wanita itu tidak lagi bergerak. Tiga orang yang menarik dan mencoba menahannya, dihempaskan dengan sangat mudah. Tatapan gadis kecil itu mengerikan, melotot dan memerah.
Kalian mungkin tidak percaya ini, tapi gadis bernama Lizzy itu melompat ke atas meja dan berucap, "Anak tidak tahu diri. Akan kuhukum kalian!" Dan suara yang terdengar dari Lizzy adalah suara Ny. Bringston yang saya hafal sekali bunyinya.
SELESAI
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro