29
Taeyong's POV
Siang itu, aku baru saja selesai fitting baju pengantin bersama Jennie. Aku tak ada alasan menolak pernikahan ini, bisnisku sangatlah penting bagiku. Aku berjuang mati-matian untuk membesarkan nama perusahaanku sendiri. Tanpanya, mungkin aku tak dapat mendirikan cabang TY Departement Store di berbagai kota bahkan sampai ke mancanegara.
Saat berada di luar butik, kami tidak langsung masuk ke dalam mobil. Langkahku terlalu berat. Meskipun ucap janji pernikahan beberapa meter di depan mata. Aku masih tak sanggup. Tak rela. Aku tak bisa memenuhi sumpah yang akan aku ucap di altar nanti.
Aku melamun. Mendadak, bibirku terasa basah. Jennie mencumbuku dengan permainannya sendiri.
Aku membencinya ketika ia melakukan hal semacam itu. Ia terlalu mendominasi. Dan aku tidak suka wanita agresif.
Aku ingin sekali menjahit kedua bibirnya itu. Kalau saja aku punya kemampuan melakukannya.
Ciuman yang singkat. Tetapi, sangat menggangguku. Aku mengalihkan pandangan dari wajah berkualitas milik Jennie.
Dan secara tak sengaja, aku bertemu pandang dengannya. Dengan mantan karyawanku yang aku pecat gara-gara emosiku yang memuncak.
Kasihan. Dia pasti menjadi korban atas kemarahan dan kegelisahan hatiku waktu itu.
Aku mengamatinya dengan seksama. Sepertinya, ia sedari tadi juga memperhatikanku. Anehnya, setelah tahu bahwa aku menemukan kedua bola matanya, ia langsung menggunakan buku menu untuk mengcover wajahnya yang telah terlampau jauh aku lihat.
"Sayang, kau mau kemana?"
"A-aku mau ke toilet sebentar. Tunggu di mobil."
Kataku pada Jennie.
Aku membohonginya. Karena, yang sebenarnya adalah aku hendak menghampiri Sohyun dan meminta maaf padanya.
Meminta maaf telah memarahinya, memecatnya, dan--
Maaf untuk rasa sakit yang dideritanya. Aku tak tahu, yang jelas aku merasakan rasa sakitnya dari pancaran matanya yang sayu. Ia tampak sangat terluka. Aku merasakannya dengan hatiku. Seakan-akan, ada jembatan penghubung di antara kedua hati kami.
"Heh! Kau mau kemana??"
Aku baru akan menyusul Sohyun karena aku lihat dia berlari dari tempat duduknya. Namun, seseorang menghadangku dan menghentikan langkah cepatku.
"Kau mau menyusul sepupuku? Apa kau tidak puas melukainya?"
Aku bahkan tak punya maksud untuk melukai siapapun.
"Dengarkan aku. Aku mengerti bagaimana keadaan kalian berdua."
"Semua tampak dari tingkah laku kalian. Terkadang kalian bertengkar dan saling mengejek. Terkadang malah saling memedulikan satu sama lain, panik, dan saling mengkhawatirkan."
"Kurasa, kalian belum menyadari jawaban atas kejanggalan hati kalian masing-masing."
"Aku percaya padamu. Jika kau mencintainya, maka jangan biarkan ia hancur terbawa angin."
"Jika kau mencintainya, maka bawa ia kembali. Jangan sampai ia pergi tanpa berbalik untuk menatapmu sedikit pun."
"Cinta adalah segalanya. Harta kekayaan, pangkat atau jabatan, mereka bukan cinta yang sebaiknya kau kejar."
"Sohyun jauh lebih berharga dari itu semua. Jika ia benar-benar jauh darimu.. aku takut, kau akan menyesal seumur hidup."
"Sekarang, keputusan sepenuhnya ada di tanganmu. Jangan biarkan itu percuma."
"Bukankah kau mulai menyadari bahwa kau mencintainya?"
Drrt... drrt.... drrt...
Pikiranku yang blank tersadar setelah mendengar bunyi nada pesan dari ponselku. Buru-buru aku membukanya, karena nama yang terpampang pada layar adalah nama Yuta. Yuta dengan perkataan bijaknya yang sejak tadi aku bayangkan.
Aku tercekat seusai membaca beberapa baris kalimat yang Yuta kirimkan.
Dan aku mengerti satu hal, Aku harus bergegas pergi sebelum semuanya terlambat!
.............................
"Kau sudah sadar?"
Mataku berkedip, menyesuaikan dengan cahaya lampu yang masuk retina. Kepalaku pening sekali. Apa aku terpejam terlalu lama?
Aku kini berada di sebuah tempat yang jauh lebih hangat dan jauh lebih pantas untuk disebut sebagai tempat berbaring. Dibandingkan dengan jalanan beraspal yang dingin dan keras, dimana tempat pembaringan punggungku tadi sore.
"Kau belum sarapan ya?"
"Kenapa kau tidak pernah bisa merubah kebiasaanmu, eoh?"
"Aku kan berkali-kali mengingatkan, jangan melewatkan sarapan pagimu."
Manikku sepenuhnya terbuka. Terpaparlah rupa tampan yang pernah aku puja-puja. Apakah sekarang ini ia berbicara padaku?
Kupikir ia berhenti menghabiskan pita suaranya untuk menyapaku.
Sejauh apapun ia marah, ia tetap tak bisa melupakanku. Ia bahkan masih mengkhawatirkanku. Ia juga masih hafal kebiasaan burukku.
Namun, entah mengapa. Melihatnya mencemaskanku rasanya biasa saja. Kalau dulu, setitik kecemasannya padaku saja sudah membuatku melayang, kali ini tidak. Sama sekali tidak.
"Doyoung,"
Lirihku pelan.
"Bagaimana aku bisa berada disini?"
Netraku menelisik seluruh ruangan yang asing. Seingatku, aku tak pernah menginjakkan kaki di ruangan bermodel modern dengan dinding-dinding kaca yang memancarkan pemandangan gemerlap kota Seoul dari luar.
"Kau pingsan. Jadi aku membawamu ke apartemenku."
Pingsan?
Aku ingat. Bukankah tadi aku berada di bus? Lalu setelah bangun dari tidurku, aku berada di jalanan tengah hutan yang mengerikan.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Bus itu-"
"Bus itu sengaja meninggalkanmu di tengah hutan."
"Hah? Maksudnya?"
"Maafkan aku, Sohyun. Ini semua terjadi karenaku. Andai saja dulu aku tak ceroboh meninggalkan mejaku dengan berkas-berkas laporan persetujuan berserakan di atasnya, mungkin kejadian kau dipecat tidak akan pernah terjadi."
"Tunggu. Aku masih tak paham."
"Seseorang datang menyelinap dan menukar laporan yang tuntas aku periksa. Aku sebelumnya tidak tahu tentang penukaran tersebut. Aku hanya melihat salah seorang pengelola departement store keluar dari ruangan divisi kita. Ketika aku bertanya, mereka bilang Taeyong memanggilku. Padahal, saat aku datang ke ruangannya dia tidak ada."
"Aku semakin yakin setelah aku mendengar kau dipecat gara-gara ceroboh mengerjakan laporanmu."
"Aku sadar, ada sesuatu yang ganjil. Aku telah memeriksa laporannya berkali-kali. Dan semua oke-oke saja."
"Sehari setelah kau meninggalkan kantor, Tuan Lee mengumumkan kabar pernikahan Taeyong dan Jennie. Aku jadi curiga. Desas-desus mengatakan, bahwa pernikahan mereka hanyalah prasyarat agar Tuan Kim-ayah Jennie, mau memberi suntikan dana bagi perusahaan Taeyong yang hampir bangkrut."
Syukurlah. Bos Taeyong ternyata terpaksa menerima pernikahan itu. Tapi-- kenapa ia tak melakukan usaha penolakan?
"Lalu, menurutmu, kejadian yang menimpaku ini apa?"
"Semua ini kerjaan Jennie. Dia masih dendam padamu sebab tamparan yang ia dapat di restoran waktu Taeyong membelamu. Jennie sendiri yang menyampaikan alasannya padaku. Aku datang menemuinya, setelah kabar pernikahan diinformasikan."
"Dan dia secara terang-terangan mengungkap rencananya untuk mengerjaimu. Bus tersebut, sudah disewa Jennie. Kru yang berada di dalamnya diberi bayaran uang agar mereka meninggalkanmu di tengah hutan. Apa kau ingat, apa yang mereka berikan padamu sebelum kau tertidur?"
Air minum rasa jeruk.
"Mereka memberi minuman gratis. Dan kau tidak mengetahui, di dalam minuman itu sudah diberi obat tidur. Dengan begitu, mereka dengan mudah menendangmu dari bus."
Aku tidak menyangka kalau Jennie tidak kapok dengan tamparan bos malam itu. Sebegitu bencinya kah dia padaku?
Kenapa tega sekali. Aku sekarang tak mempunyai apapun. Barang-barangku raib semua. Tak satu pun yang tersisa. Aku bingung harus bagaimana. Padahal, aku telah memberitahu eomma kalau akan pulang ke Tongyeong hari ini.
...........................
Taeyong's POV
Dok.. dok.. dok.. dok.. dok..
Aku berada di depan sebuah rumah. Sederhana. Tetapi terlihat luas dan nyaman.
Udara sungguh dingin di daerah ini. Apa mungkin karena letaknya yang di dekat pegunungan? Yah, walau aku tahu, sebentar lagi juga akan musim salju.
Terdengar derap langkah dari dalam rumah yang tadi aku ketuki pintunya.
Perlahan, pintu kayu tersebut terbuka, dan menampakkan wajah seorang wanita tua yang begitu ramah.
"Kau mencari siapa, anak muda?"
"Selamat malam, Nyonya. Apa benar, ini rumah orangtua dari Kim Sohyun?"
Wanita tua itu terdiam. Lalu, men-scanning penampilanku dari atas ke bawah.
"Kau tampan. Apa kau menantu yang dibawa oleh cucuku?"
Menantu?
To be Continued.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro