28
"Jadi, kau serius akan kembali ke Osaka?"
Tanyaku agak terkejut setelah mendengar percakapan Yuta dan samchon dalam telepon.
Sebenarnya, acara Yuta datang ke Seoul merupakan sebuah rancangan pelarian diri. Samchon meminta Yuta meneruskan bisnis keluarganya yang bergerak dalam bidang elektro. Namun, Yuta tak berniat sebab ia masih ingin mengejar kebebasan masa mudanya. Kalau dipikir lagi, umur Yuta itu 25 tahun. Ia sudah menjadi sarjana sejak dua tahun lalu. Cukup matang dan dewasa untuk menjadi seorang pemimpin perusahaan. Sayangnya, Yuta saja yang bodoh. Ia menyia-nyiakan kesempatan tersebut hanya demi menikmati hidup dan wanita cantik di luar sana.
"Iya. Aku serius."
"Tumben otakmu bijak."
"Aish.. kau ini!"
"Lagipula aku sudah sadar sepenuhnya. Haha (ibu dalam bahasa jepang untuk pembicara) merindukanku karena aku tak pulang-pulang. Chichi (ayah dalam bahasa jepang untuk pembicara) juga semakin tua. Aku rasa ini saatnya aku bertaubat."
Aku terkekeh mendengar pengungkapan isi hati Yuta. Jujur, aku ikut senang atas keputusannya. Sekarang giliranku yang harus memutuskan, tentang bagaimana kelanjutan hidupku setelah ini.
"Apa kau akan pulang ke Tongyeong?"
Tongyeong. Kota dimana orangtuaku tinggal. Sebelumnya kami menetap di Yongin. Namun, karena nenek dari eommaku sudah sangat tua dan sering sakit-sakitan, orangtuaku memutuskan tinggal di Tongyeong sambil merawat beliau.
Haruskah aku kembali saja ke Tongyeong? Dan mencari pekerjaan layak disana?
Toh sudah tak ada harapan lagi aku sukses di ibu kota.
"Aku rasa iya. Aku sudah tak ada kemungkinan sukses di Seoul. Aku akan cari pekerjaan di Tongyeong selagi membantu Eomma mengurus Halmeoni."
Yuta mengangguk-anggukkan kepala pertanda setuju.
"Kapan penerbanganmu ke Osaka?"
"Nanti malam."
"Apa? Kok mendadak begitu?"
"Entahlah. Sepertinya Chichi bersemangat sekali menunggu kepulanganku"
Aku tersenyum saja mendengar ucapan Yuta. Walaupun keinginan Samchonku itu terkesan memaksa, dan walaupun beliau sempat marah dan kecewa pada Yuta, pada dasarnya yang namanya orangtua itu tak bisa jauh-jauh dari anaknya. Seperti saat ini. Persis kejadian yang menimpa Yuta.
"Berhubung ini hari terakhirmu di Seoul, bagaimana kalau kita habiskan siang ini bersama. Kau yang traktir!"
Yuta tampak berpikir dan mengelus dagunya.
"Boleh!"
..............................
"Tolong ramennya dua porsi!"
Seru Yuta pada pelayan kedai tempat kami nongkrong bersama. Sesuai kesepakatan. Hari ini, Yuta yang membayar biaya makanku.
Saat menunggu pesanan kami datang, Yuta banyak mengoceh tentang kehidupannya di Osaka. Tentang dimana ia biasa menghabiskan malam, bermain bersama teman-temannya, pokoknya tempat yang sering sekali ia kunjungi. Sepulang dari bersenang-senangnya itu, Samchon selalu memukuli pantat Yuta menggunakan sandal flip flop tebalnya. Alhasil, membekaslah kemerah-merahan di area pantatnya.
Aku heran, ternyata unik juga cara Samchonku memberi pelajaran pada anaknya. Perlu kalian tahu, Yuta itu memang anak yang bandel dan susah diatur. Oleh sebab itu, ketaubatan Yuta adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri.
Aku mulai bosan dengan kicauan Yuta yang berjalan cepat, panjang, dan lebar seperti kereta listrik. Aku menopang kepalaku dengan siku. Aku memperhatikan ke luar jendela. Mencari pemandangan lain selain mulut Yuta yang penuh dengan cupcakes yang ia pesan.
Secara tidak sengaja, aku melihat sepasang manusia sedang berjalan bergandengan tangan. Mereka keluar dari sebuah butik pemrodukai gaun pengantin yang letaknya tepat di depan kedai ini.
Lelaki itu. Lelaki yang tampan. Dengan surai kecokelatan. Mata bulat dan hidung mancung. Serta, yang paling menonjol adalah jawline-nya yang terkesan tegas.
Lee Taeyong.
Dia bersama--
Kim Jennie??
Ada hubungan apalagi di antara mereka berdua?
Jennie berjalan mensejajari langkah bos. Tangannya bergelayut manja di lengan kekar Bos Taeyong. Sesekali, ia menyandarkan kepalanya pada pundak bos.
Andaikan aku yang berada di posisi Jennie..
Melihat mereka begitu mesra, kenapa rasanya sakit sekali??
Seumur hidupku, aku baru pertama kali ini merasakan luka. Walaupun pernah sekali sebelum ini, Doyoung melukai perasaanku. Tetapi aku tidak paham. Luka jenis apakah ini, sehingga menjadi luka pertama yang tak dapat aku identifikasi?
Oh tidak!
Sekarang apa yang mereka lakukan?
Berdiri di depan kap mobil. Tatapan bos lurus ke depan. Seolah-olah tak mempedulikan keberadaan Jennie. Namun, Jennie yang agresif--
dia malah mengecup bibir bos tanpa malu di depan umum.
Sekali lagi, jantungku serasa dibelah dua. Perih.
Aku menggit bibir bawahku, mencoba menahan sesak yang ada di dada.
Yuta masih sibuk dengan makanannya. Tentu ia tidak tahu, bahwa mata cokelatku sudah berkaca-kaca dan air mata siap tumpah kapan saja.
Walau rasanya menikamku, aku setia memperhatikan aktivitas mereka. Hingga, pandangan mata bos dengan kedua bola mataku bertemu.
Aku gugup. Refleks kuambil daftar menu dan menutupi wajahku dengan itu.
Yuta yang menyadari gerak-gerik anehku, akhirnya bertanya.
"Kau kenapa Hyun?"
"Kau membaca menunya?"
"I-iya."
"Tapi itu terbalik."
Aku membuka mataku lebar-lebar. Ya ampun! Aku ketahuan kalau sedang berbohong. Buku menu yang aku pegang terbalik.
"Eh, Yut. A-aku ke toilet dulu."
"Loh, heh. Sohyun! Kok malah pergi. Aneh banget."
.
.
.
.
Aku terduduk di atas closet. Kenapa air mata sialan ini tidak surut juga? Aku lelah terkurung di dalam bilik toilet ini.
Ketika aku merasakan sedikit ketenangan, aku langkahkan kaki keluar bilik.
Aku berdiri di depan wastafel. Kubasuh mukaku berkali-kali. Aku menatap bayangan diriku sendiri di dalam kaca.
"Aku ini kenapa? Kenapa aku menangis menyaksikan mereka berdua?"
Aku meracau. Lagipula, disini sepi. Tak kudapati seorang pun. Jadi aku bebas berteriak semauku.
Namun--
"Apa kau cemburu?"
Suara khas itu. Aku tahu. Dan hanya satu orang yang memilikinya.
Wajahku yang tadinya tertunduk, aku angkat kembali. Kulihat ke dalam cermin. Itu, paras lelaki yang sama dengan lelaki yang sudah membuatku bingung dan menangis.
Dia berjalan mendekatiku. Aku merasakan urat-urat nadi di lengannya yang sudah memeluk erat tubuhku dari belakang.
Ia menopangkan dagunya di atas bahuku. Aku tak menatap matanya langsung karena kami saling beradu tatap di dalam cermin.
Menyebalkan! Ia memergokiku menangisi dirinya! Sungguh memalukan kau Sohyun.
"Apa kau cemburu? Padaku dan Jennie?"
Ritme jantungku tak terkontrol. Aku terlalu gagap untuk menjawab pertanyaan simpel itu. Tapi aku malah tidak tahu harus menjawabnya apa. Apakah benar ini rasa cemburu?
"B-bos. I-ini.. t-toilet wanita. B-bagai-mana k-kau masuk?"
"Jawab saja aku, Sohyun. Jangan mengalihkan pembicaraan."
Hembusan nafas bos pada leherku membuatku merinding. Aku yang tak beralih dari cermin, memperhatikan bos yang tiada henti mengamati wajahku. Aku terlaku takut untuk menoleh ke arahnya. Karena, sedikit tengokan saja bibir kami mungkin sudah bertemu.
"K-kenapa aku harus-- cemburu?"
"Jangan berbohong. Aku mendengar tangisanmu di dalam sana. Aku mendengar keluhanmu pada dirimu sendiri di depan cermin. Aku mendengar dan merasakan semuanya."
Lalu, aku harus menjawabmu apa Bos? Kau pasti mengetahui, perasaan apa yang menjalari pikiranku ini.
"Sohyun."
Aku tak menjawab apapun. Kemudian, Bos Taeyong sudah melontarkan kalimatnya dengan kembali menatap mataku dari cermin.
Bos membalikkan badanku sehingga kami saling berhadapan.
Wajahnya begitu dekat. Sampai-sampai, dahi dan hidung kami bersentuhan.
Bos masih belum melanjutkan kalimatnya. Aku mulai merasakan panas-dingin di sekujur tubuhku.
Aku memejamkan mata, ketika bibir bos berhasil menyentuh bibirku dan menempel untuk beberapa saat disana.
"Sohyun..."
Bos angkat bicara. Dahi dan hidung kami masih bersentuhan.
Aku penasaran. Apa yang hendak ia katakan?
"Aku dan Jennie akan menikah."
..............................
Aku mengunci diriku di dalam kamar. Tak peduli jika sedari tadi Yuta menggedor-gedor pintu kamar itu secara brutal. Toh ini sudah hampir setengah tujuh malam. Saatnya bagi Yuta meninggalkan apartemen dan bergerak menuju bandara.
Aku sedang tidak mau diganggu. Aku berteriak pada Yuta dari balik pintu, agar ia pergi saja dan jangan mengkhawatirkan keadaanku.
Sejak bos mengatakan berita pernikahan itu, aku mendorong tubuhnya. Dan berlari begitu saja. Kutinggalkan ia di dalam toilet. Kutinggalkan pula Yuta yang sedang menyeruput mocca latte hangatnya.
Pikiranku kacau.
Itu hanya berita pernikahan bosku. Ralat, maksudku mantan bosku. Bukankah bagus??
Kenapa aku harus menangis dan merasa tidak suka?
"Sohyun! Tolong buka pintunya. Ayo kita bicara sebelum aku pergi!"
"Tidak, Yut. Aku sedang tidak nafsu bicara. Sebaiknya kau segera berangkat ke bandara. Aku baik-baik saja."
"Kau sedang tidak baik-baik saja, Hyun. Aku ini sepupumu. Walaupun aku sedikit badung, aku mengerti dirimu dan sifat-sifatmu. Kau pasti menyembunyikan sesuatu."
"Kau tidak mau berbagi cerita denganku?"
"Yut. Ini pukul 6.15 pm. Lima belas menit lagi keberangkatanmu. Kau harus bergegas!"
"Astaga! Kau benar. Kalau tidak segera berangkat, aku bisa ketinggalan pesawat."
"Oke Hyun. Kali ini kau berhasil menghindariku. Namun, jangan khawatir. Kau akan mendapatkan kebahagiaanmu. Rasa sakitmu akan segera hilang. Kau akan mendapatkannya karena kalian tercipta untuk bersama."
Apa yang dikatakan Yuta?
Aku tidak mengerti.
"Aku pergi, Hyun. Jaga dirimu baik-baik. Sampaikan salamku pada eomma dan appa-mu tercinta."
Itu tukas Yuta untuk yang terakhir kalinya. Kudengar langkahnya bersamaan dengan guliran roda kopernya telah menjauh. Sekarang sepi. Keadaan benar-benar sudah hening.
Aku meringsut di depan pintu. Aku menjambak sisi rambut kanan dan kiriku berbarengan. Aku ingin sekali berteriak. Namun, semua hanya sia-sia saja.
Ya. Sekarang aku benar-benar yakin! Aku akan hengkang dari Seoul besok pagi dan kubuang jauh-jauh kenangan-kenangan pahitku di kota besar ini!
Aku berjalan mendekati almari. Kuambil koperku dan kumasukkan semua bajuku ke dalam sana. Esok, pagi-pagi sekali, aku akan segera mencari bus dan melesat pulang menuju kota kelahiran eommaku.
............................
Setelah menunggu setengah jam, akhirnya bus jurusan Seoul-Tongyeong datang juga. Tanpa basa-basi, aku beranjak naik dan duduk di salah satu tempat di barisan kanan.
Kenapa sepi sekali?
Tidak ada penumpang lain. Kecuali aku, sopir bus, seorang petugas bus dan sedikitnya dua orang yang aku tidak kenal.
Perasaanku tidak enak. Namun, pikiran negatifku luntur, ketika seorang pria pendamping sopir bus ini datang dan memberiku minuman gratis.
"Minuman gratis Nona, untuk penumpang pertama kami. Kemana kau akan pergi?"
"Terima kasih, Tuan. Anda sangat baik. Sebenarnya, saya sedang menuju ke Tongyeong."
Tuan itu tersenyum ramah padaku. Aku menjadi lebih tenang dan menikmati perjalananku. Ditemani, minuman gratis rasa jeruk yang diberikan oleh petugas bus tersebut.
Baru beberapa menit, kepalaku terasa pusing. Ah.. mungkin aku terlalu banyak masalah. Aku mulai mengantuk dan tertidur. Menunggu 4 jam perjalanan agar sampai ke kota tujuanku.
...............................
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Punggungku terasa kebas, rasanya kaku sekali sampai sulit digerakkan. Udaranya juga menjadi dingin hingga aku harus memeluk tubuhku sendiri untuk mencari kehangatan.
Rasanya mulai aneh.
Aku mendengar suara-suara serangga yang merong-rong di rongga telinga.
Terpaksa, aku membuka kedua mataku.
Aku melonjak kaget.
Bagaimana bisa tubuhku tergeletak di pinggir jalanan yang kanan kirinya berdiri kokoh rimbunan pepohonan hijau?
Ini jalanan beraspal di tengah hutan!
Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa tertidur disini?
Bukankah tadi aku berada di dalam bus??
Kepalaku masih terasa pusing. Barang-barangku lenyap. Termasuk handphone yang satu-satunya jadi penyelamatku. Itu pun juga sirna.
Aku tak membawa apapun lagi.
Sial! Apa mereka perampok?
Aku menendangkan kakiku sembarangan. Aku tersesat. Aku menjerit meminta pertolongan. Tetapi percuma! Disini tidak ada orang.
"Tolong!!!"
"Apa ada orang di sekitar sini??"
"Tolong akuuu...."
Aku mulai terisak. Hari mulai gelap. Sementara kakiku terus mengarungi jalanan sepi dan mencekam ini.
Aku kelaparan karena dari pagi belum sarapan. Aku lelah. Aku tak kuat lagi melangkah.
Hingga, tubuhku terasa goyah. Kaki ku bergetar hebat. Aku tak kuat berdiri sampai akhirnya aku terjatuh.
Namun, anehnya.. tubuhku tak jatuh menimpa aspal.
Seseorang menahannya.
Aku melihat samar-samar wajah orang tersebut.
Dia--
Seorang pria. Aku hampir mengenalinya. Tetapi sayang. Aku terlanjur pingsan saat tangan kuat pria tersebut mengangkatku dan memasukkanku ke dalam mobilnya.
To be Continued.
Yeay. Up juga. Wkwk..❤❤
Maafkan Bos Taeyong ya..
Yg tega ngasih kabar pernikahan setelah mencium Sohyun cuma-cuma..
Hufft.
Next (?)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro