Bab 7b
Freya menuntun anaknya menyeberangi jalan menuju ke kesekolah. Hari ini para guru TK akan membawa anak-anak ke museum yang tidak jauh lokasinya. Tidak ada orang tua yang diperkenankan ikut, karena mereka hanya pergi sebentar saja.
"Jangan nakal nanti, ya. Dengan upacan Bu Guru."
"Iya, Mama."
"Kalau mau pipis, atau minum, tanya Bu Guru."
"Iya, Mama."
Di depan sekolah sudah berkumpul para orang tua murid. Freya mengangguk ke beberapa orang yang ia kenal dan berdiri di pinggir jalan, menunggu bus dibuka. Suasana makin ramai saat makin banyak murid dengan orang tua mereka berdatangan. Tidak lama disusul tiga guru yang mengabsen.
Satu per satu murid dipanggil masuk ke bus. Saat tiba giliran anaknya, Freya memeluk Alexi dan mengecup pipinya. "Jangan nakal, ya."
Alexi mengangguk, bergegas masuk ke bus dibantu seorang laki-laki yang merupakan kondektur.
Ada satu orang murid yang ternyata terlambat. Dipanggil beberapa kali tidak menyahut. Para guru menunggu dengan cemas dan mereka sepakat untuk menunggu selama sepuluh menit. Freya berdiri di dekat bus dan melambaikan tangan pada anaknya yang duduk dekat jendela. Di sekitarnya, riuh percakapan orang tua terdengar.
Kebanyakan yang mengantar ke sekolah bukan hanya ibu tapi juga ada beberapa ayah. Freya bersyukur anaknya tidak pernah memprotes kenapa sang papa tidak pernah datang. Pernah, saat baru pertama masuk sekolah Alexi menanyakan di mana papa dan Freya menjawa kalau papanya bekerja di tempat yang jauh dan lama baru kembali.
Ia berpikir, anaknya akan menyerah untuk bertanya tapi nyatanya tidak. Alexi terus mencecarnya di mana tempat keberadaan sang papa. Apakah bisa mereka menelepon atau mendatanginya dengan pesawat. Pada akhirnya Freya terjebak dengan kebohongannya sendiri.
"Mau sampai kapan kamu berbohong pada anakmu?" Riki berucap suatu hari, saat laki-laki itu datang ke rumah. "Bukankah lebih bagus kalau dia punya sosok papa untuk diandalkan?"
Saat itu Freya hanya menjawab sambil lalu. "Kalau sudah besar, anakku akan mengerti."
"Mengerti bagaimana? Kalau papanya dan mamanya tidak pernah bersama?"
"Semacam itu."
"Kalau dia bertanya bagaimana wujud sang papa?"
Freya tidak menjawab. Ia tidak ingin membohongi anaknya tapi mengatakan kebenaran bukanlah jalan keluar sekarang.
"Freya, coba pikirkan untuk menjadikan keluarga yang utuh bagi Alexi. Selama ini, dia dekat denganku. Kamu tahu bukan? Aku sangat menyayanginya?"
Freya tahu ke mana arah pembicaraan Riki dan ia memilih untuk menghindar. Untuk sekarang ini, ia sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun. Luka yang ia dapat dari pernikahan yang pertama, masih membekas hingga sekarang meski sudah enam tahun berlalu.
Bagaimana tidak membekas kalau suaminya sekaligus cinta pertamanya. Gael adalah laki-laki pertama yang menyentuh tubuh dan hatinya. Ia tidak akan pernah lupa, meski tidak lagi bersama.
"Bu Guruuu! Kami datang!"
Seorang wanita turun dari taxi dan melambai ke arah bus. Freya mengenali wanita itu adalah orang tua murid yang sempat berkirim pesan padanya. Wanita itu setengah berlari menggandeng anaknya menuju bus dan setelah anaknya masuk, dia mundur.
Setelah memastikan para murid lengkap, bus bergerak meninggalkan sekolahan. Freya bersama para orang tua yang lain melambaikan tangan untuk melepas kepergian anak mereka. Setelah bus menghilang di kelokan, Freya menurunkan tangan dan matanya bertatap dengan wanita yang datang terlambat.
"Apa kabar, Jeng?" sapanya ramah. "Kok bisa telat."
Wanita itu tidak menjawab, melainkan mendekat lalu berkacak pinggang. "Jangan sok baik kamu sama aku. Dasar janda gatal!"
Makian wanita itu membuat Freya terbelalak. Ia mengernyit tidak mengerti.
"Aku pikir selama ini kamu wanita baik! Aku baik dan ramah sama kamu, siapa sangka kamu malah merayu suamiku!"
Orang-orang yang berdiri di dekat pagar, kini menatap ke arah mereka.
"Tunggu, Jeng. Ini bicara soal apa? Siapa yang merayu siapa?" tanya Freya bingung.
"Halah! Sok nggak ngerti. Apa aku perlu beberkan chat mesra kamu sama suamiku?"
Freya memegang keningnya. "Chat siapa? Aku nggak kenal suamimu?"
"Nggak kenal? Bukannya kamu chat tanya soal bekal awalnya? Lalu merambah ke percakapan lain?"
Pemahaman terlintas di benak Freya. Tentang isi percakapan yang dikiranya dikirim oleh waniota yang ia kenal. Isi percakapan yang aneh dan penuh rayuan, ternyata bukan si istri yang mengirim melainkan suami wanita itu. Pantas saja, tidak senonoh.
Merasa tidak bersalah, Freya menjawab tuduhan wanita itu. "Jeng, sepertinya ini salah paham. Dari awal aku nggak tahu kalau yang membalas chat itu suamimu!"
Si wanita itu melengos, dan tersenyum sini. Membalikkan tubuh dan kini berbicara lantang di depan orang-orang.
"Mana ada maling ngaku, ya'kan Ibu-Ibu semua? Mana ada pelakor mau mengakui kalau sedang mengincar suami orang?"
Freya mengepalkan tangan. "Jangan bicara sembarangan!"
Wanita itu tidak memedulikannya. "Apa kalian tahu kalau aku baik sama si pelakor ini? Hampir semua orang tua nggak ada yang mau dekat sama dia, karena dia janda yang cantik dan sexy. Semua takut kalau suaminya akan kecantol. Aku nggak takut, karena percaya dengan dia dan ternyata kepercayaanku dirampas! Dia seenaknya saja berkirim chat mesra dengan suamiku!"
Pandangan semua orang kini tertuju pada Freya. Mereka semua mencemooh secara diam-diam maupun terang-terangan. Satu berita yang belum tentu terbukti kebenarannya, tapi dipercaya sama semua orang karena statusnya. Memangnya salah kalau ia menjanda? Selama ini ia tidak pernah ingin mengusik kehidupan orang lain. Menahan geram, Freya masuk dan berdiri di hadapan wanita itu.
"Jeng, kamu menuduh sembarangan. Kalau memang kamu ingin kebenaran, ini! Bukan ponselku dan baca sendiri chat yang aku kirim tadi malam. Aku nggak pernah tahu kalau yang balas pesan suamimu. Aku juga nggak balas apa pun, bahkan tidak membukannya?"
Si wanita menerjang, memukul bahu Freya dengan keras. "Halah! Jangan sok suci dan memutar balikkan keadaan. Siapa juga tahu, kalau kamu janda gatal!"
Freya mengusap bahunya, lalu berkata lantang. "Jadi kamu mau aku buka isi percakapan suamimu? Kamu mau aku bacakan bagaimana dia merayuku? Bisa dilihat juga kalau aku sama sekali nggak merespon. Kalau kamu punya masalah dengan suamimu, kenapa nggak kontrol suamimu, kenapa harus menyalahkan wanita lain? Yang kotor itu otak dan niat suamimu, bukan kami, para janda. Sialan!"
Memaki keras, Freya mengangkat kepala dan menyeberang jalan. Meninggalkan wanita itu yang masih berdiri dalam keadaan marah. Ia pun tidak kalah marah, dan kalau tidak menghindar sekarang takut akan terjadi baku hantam. Masalahnya, ia tidak kenal laki-laki yang mereka ributkan dan sungguh melukai harga dirinya kalau bertengkar demi sesuatu yang tidak ia mengerti.
"Dia pikir karena aku janda bisa seenaknya ditindas? Belum aja aku pukul mukanya," gumam Freya dengan langkah cepat pulang ke kontrakan.
**
Di Karya Karsa sudah ending hari ini.
Pecinta Playbook, ditunggu saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro