Bab 7a
Gael berdiri menghadapi lima pemuda di hadapannya. Hari ini ia diantar pergi ke sekolah dan turun di ujung jalan yang agak jauh dari wilayah sekolah karena malu kalau ketahuan teman-temannya. Gengsi karena anak laki-laki sebesar dirinya masih di antar ke sekolah, cuaca mendung dan gerimis yang memaksanya. Sialnya, ia menghadapi pemalak. Para pemuda kampung yang memang terbiasa meminta uang dari para pelajar yang berpapasan dengan mereka. Gael sudah lama mendengar desas-desus tentang sikap mereka yang meresahkan tapi baru kali ini berhadapan langsung. Ia meng mhitung cepat, ada sekitar enam orang.
"Ssst, duit. Belum sarapan kita." Salah seorang pemuda yang memakai kaos merah mendesis.
"Ayo, keluarin semua uang saku lo kalau mau selamat!" ujar yang lain.
"Nggak usah banyak-banyak, tapi sepatu lo juga boleh ditinggal!"
Gael menghela napas, menahan kesal. "Kalian belum sarapan? Samaaa, gue juga."
"Heh! Lo mau nglawan kita?"
Hardikan mereka membuat Gael menggeleng. "Kagak berani, gue. Cuma gimana. Lo semuan salah waktu. Sekarang ini gue udah telat trus sekarang lagi gerimis. Bisa nggak kalian minggir?"
Si kaos merah merengsek maju, mengepalkan tangannya yang bertato. "Mau lewat? Boleeh. Sini, kasih kita dompet, sepatu, sama hape lo. Buruan!"
Gael mengamati sekelilingnya dengan ujung mata. Merasa sial karena keadaan sepi sekali dan gerimis pula. Jarang orang yang melewati gang ini. Ia harus memutar otak agar bisa melewati gerombolan para pemalak ini.
"Gini, gue bukannya nggak mau ngasih. Gimana kalau lo semua nganterin gue sampai gerbang. Udah di sana, gue baru kasih uangnya!"
"Ah, banyak bacot, lo!"
"Anak tikus, takut lihat air. Mana duit!"
Mereka mendesak, Gael mengepalkan tangan. Ia menghitung dalam hati untuk melawan. Tidak akan pernah membiarkan dirinya diancam dan diinjak-injak oleh orang yang tidak dikenal, apalagi cuma berandalan kampung. Ia bersiap untuk berkelahi saat dari belakang terdengar suara teriakan.
"Polisii! Awas, polisiiii!"
Terdengar tiupan peluit, teriakan seorang gadis. Para berandalan itu ketakutan dan berusaha melarikan diri. Gael yang terdiam bingung, tersentak saat sebuah tangan menariknya.
"Lariii!"
Ia berlari, mengikuti tangan yang menariknya. Di belakangnya terdengar seruan teriakan tapi menghilang karena hujan mendadak turun dengan deras.
"Kita berteduh!"
Mereka berhenti di sebuah tanah kosoh di mana ada pohon rindang yang menaungi dari hujan. Tidak benar-benar melindungi tapi cukup untuk mengurasi kebasahan. Gael menatap gadis yang sedang mengelap rambut dengan sapu tangan dan menyadari kalau itu adalah Freya.
"Freya, thanks. Udah nolongin gue."
Freya mengangkat bahu. "Kebetulan aja lewat."
"Lo berani banget. Mereka itu pemalak."
"Trus? Lo mau gue diemin aja dan ribut sama mereka?"
"Ya, nggak, sih. Pokoknya thank you."
Mereka terlonjak saat petir menyambar ditambah dengan guruh yang bergemuruh. Secara tidak sadar keduanya mendekat dengan bahu saling bersentuhan.
"Kayaknya, kita salah cari tempat buat berteduh. Di bawah pohon gini, gampang kena petir," gumam Freya.
Geal mengangguk, mengusap wajahnya yang basah terpercik air hujan. Ia celingak-celinguk mencari tempat yang lebih layak untuk berteduh tapi tidak menemukannya. Akhirnya ia teringat sesuatu. Merogoh tas dan mengeluarkan seragam sekolah lalu membentangkannya.
"Rintiknya udah mulai reda. Ayo, kita lari ke sekolah."
Freya menggigit bibir. "Resiko basah."
"Nggak masalah. Dari pada kena petir?"
"Iya, juga."
Freya berada di bawah lengan Gael yang memegang seragam. Mereka berlari kecil ke sekolah di bawah rintik hujan tanpa saling bicara. Sial kedua kali, mereka mendapati gerbang dikunci. Gael mengusulkan untuk lompat pagar, tapi Freya menolak.
"Lo mau di luar sampai kapan? Hujan lagi."
"Tapi, masa lompat pagar?" ucap Freya ketar-ketir.
"Napa? Takut jatuh? Jangan kuatir, ada gue. Ayo, gue bantu naik."
"Tapii—"
"Kelamaan gue tinggal!"
Dengan terpaksa, Freya ikut naik pagar dibantu oleh Gael. Mereka susah payah mencoba melewati pembatas halaman di bawah curahan gerimis. Freya berteriak saat melompat dari atas dan terpeleset karena mendarat di tanah yang basah.
"Aduh!"
"Lo kenapa? Keseleo?" tanya Gael kuatir.
"Kayaknya."
"Sini, gue bantu!"
Freya tidak menolak saat Gael menyambar tangannya dan mereka bersiap ke kelas saat terdengar teguran dari penjaga sekolah berseragam.
"Asyik, ya. Dingin-dingin gini pacaran. Jadi telat sekolah!"
Mereka berdua tidak berkutik, dalam keadaan badan basah dibawa menghadap guru BP dan mendapat hukuman membersihkan perpustakaan selama seminggu penuh. Percuma Gael menolak karena hukuman sudah dijatuhkan. Entah mulai dari mana, timbul gosip kalau Gael dan Freya berpacaran. Mereka sering berangkat bersama, berpacaran di halaman sekolah, dan kepergok satpam. Gosip bergulir dari mulut ke mulut. Tidak ada yang percaya waktu keduanya menjelaskan. Kini, Gael dan Freya menjadi ikon pasangan baru di sekolah tanpa mereka berpacaran.
**
Mereka berempat duduk mengelilingi meja dengan beragam hidangan di atasnya. Livia sesekali memanggil pelayan untuk menghidankan lebih banyak makanan. Awalnya mereka setuju untuk makan di restoran tapi diubah karena Diki, papanya Livia ternyata lebih suka makan di rumah.
"Kalian sudah melihat lokasi bengkel baru?" tanya Diki.
Gael mengangguk. "Sudah, Om."
"Bagaimana?"
"Biar Pendi yang menjelaskan." Gael menunjuk temannya.
Pendi berdehem, memperbaiki sikap duduknya. Diki adalah salah satu pemilik dari PT. Karyanusa. Bukan hanya pabrik suku cadang yang dipunyai, tapi cabang di seluruh daerah sampai bengkel-bengkelnya pun Diki juga menanam modal. Singkatnya, pemilik Karyanua dua orang, Diki dan Qamar, papa Gael.
Di perusahaan Gael adalah seorang CEO, sedangkan Pendi manajer pelaksana. Meskipun Pendi tahu siapa bossnya tapi belum pernah bicara secara dekat seperti sekarang.
"Bengkel baru berada di wilayah yang strategis. Sedang direnovasi saat ini dan awal bulan depan bisa ditempati."
Diki mengangguk, mengambil rokok dan mengisapnya. "Kalian sewa untuk berapa lama?"
"Dua tahun, Pak." Masih Pendi yang menjawab.
"Kalau memang bagus nanti, usahakan untuk membeli tanah itu."
Pendi bertukar pandang dengan Gael lalu mengangguk. "Kami akan mencoba untuk mengembangkan dulu bengkel baru. Soal membeli tanah itu, bisa dipertimbangkan lagi nanti."
"Sudah, kalian bahas bisnis terus. Ayo, makan."
Livia menyodorkan udang bakar ke arah Gael yang sedari tadi menyesap kopi. "Kak, makan. Jangan ngopi terus."
Gael mengangguk. "Aku cuci tangan dulu." Ia bangkit dari kursi menuju westafel. Saat sedang membasuh tangan, ia tidak menyadari Livia yang berdiri di belakangnya.
"Mau cuci tangan juga?"
Livia menggeleng. "Nggak, mau antar Kak Gael aja."
Gael mengernyit. "Kamu aneh."
"Biarin. Aku suka dekat-dekat Kakak."
"Kayak anak bayi."
"Biarin, wew!"
Saat Gael kembali ke meja makan diikuti Livia, Pendi dan Diki sedang terlibat pembicaraan seru tentang perusahaan dan bengkel. Diki dengan bangga menceritakan asal mula dirinya dan orang tua Gael yang masih sepupunya, mendirikan perusahaan.
"Kami menggunakan semua modal yang ada, bahkan Qamar pun menjual tanah untuk modal."
Gael mengernyit. "Papa jual tanah? Yang aku dengar tanah itu milik temannya."
Diki mengangguk. "Memang, tanah itu milik teman Qamar. Kami sepakat untuk meminjam uang dan sama-sama mendirikan perusahaan dari awal."
"Teman Papa siapa namanya, Om? Ke mana orangnya?"
"Papamu nggak cerita?" Diki balik bertanya.
Gael menggeleng. "Nggak."
"Ah, meninggal saat perusahaan baru berjalan tiga tahun."
Gael tertegun. Cukup shock mendengar cerita Diki. Ia memang tahu kebenaran cerita soal awal mula berdirinya perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hanya saja, soal kematian salah seorang dari pemilik asli, ia baru mendengarnya. Selama ini, sang papa akan mengalihkan pembicaraan setiap kali ia bertanya.
"Oh, lalu perusahaan menjadi milik kalian berdua?" ucap Gael setelah jeda keheningan.
Diki tidak menjawab, mengisap habis rokok di tangan dan mematikannya. "Mau tidak mau, karena teman Qamar tidak punya keluarga untuk dijadikan ahli waris."
Suasan kembali hening. Pembicaraan yang semula berjalan seru, mendadak kaku dan dingin saat membahas kematian. Livia mengedarkan pandangan dan mengetuk piring dengan sendok.
"Makan dulu, jangan bicara aneh-aneh. Kak Gael, wajahmu pucat. Ayo, makan. Biar segar. Kak Pendi juga."
Sementara Pendi dan Diki makan dengan lahap, Gael menyantap makanan di piringnya dengan susah payah. Ia baru merasakan kalau bibirnya perih. Mengusap dengan ujung jari, ingatan tentang kejadian tadi malam berkelebat dalam benaknya. Tentang ia mencium Freya dengan paksa dan wanita itu yang menggigitnya kuat. Memaki dalam hati, Gael merasa sangat marah pada diri sendiri karena kehilangan kontrol. Ia takut, Freya akan semakin menjauh darinya karena ketololan sikapnya.
"Bibirmu kenapa, Kak?" tanya Livia.
"Sariawan," jawab Gael singkat.
Ia kembali meneruskan makan dalam diam. Mendengarkan obrolan di sekitarnya dengan pikiran tertuju pada Freya. Saat ini, tidak ada orang lain yang tahu kalau ia sudah menemukan mantan istrinya. Ia belum siap menyiarkan kabar itu kalau belum ada kejelasan hubungan. Ia akan mendekati Freya dengan pelan, membuka pintu wanita itu, baru membawanya pulang menghadap keluarga. Semoga, ia akan kesempatan untuk itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro