Bab 6b
Pendi tertegun, menatap gadis dengan minidress bunga-bunga yang berdiri canggung di depannya. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat gadis yang begitu imut dan menarik. Berkulit putih susu, dengan tubuh aduhai, Pendi menelan ludah.
"Hallo, apa Kak Gael ada?" Gadis itu berteriak.
Pendi tersadar. "Ada, mari masuk. Kamu siapa?"
Gadis itu tersenyum. "Aku sepupunya, Livia."
"Oh, nama yang bagus. Tunggu, aku panggil Gael."
"Aku di sini." Gael bersandar pada kusen pintu kamar, menatap Livia. "Kamu ngapain di sini, Livia?"
Livia tersenyum. "Kak, aku telepon tapi ponselmu nggak aktif."
"Sepertinya habis baterai."
"Papa mau ketemu, katanya kalian sudah janji mau bahas soal pengembangan perusahaan."
Gael memejam, mengabaikan denyut di kepalanya. Ia sama sekali tidak ingat kalau ada janji dengan orang tua Livia.
"Aku mandi dulu, kamu tunggu sebentar!"
Gael berbalik menuju kamar. Ia mendengar Pendi menawarkan Livia minum. Membuka kran air hangat, ia mengguyur seluruh tubuh dan kepalanya. Mencoba menghilangkan kegilaan dari otaknya. Sudah beberapa waktu ini, pikiranya selalu tertuju pada Freya. Mengingat bagaimana wanita itu begitu membencinya.
Saat kepalanya diguyur air, secara perlahan ingatannya tentang peristiwa tadi malam, muncul perlahan. Tentang ciuman paksa, dan jemarinya yang meremas dada Freya. Ia memaki dirinya karena tidak tahu malu. Mengingat tentang bibir dan dada wanita itu yang sudah lama tidak ia rasakan, kejantanannya menegang.
Gael melenguh, sudah lama ia tidak merasakan kehangatan wanita. Setelah Freya pergi, ia sama sekali tidak pernah menyentuh wanita. Hasratnya kini bangkit hanya karena sebuah ciuman. Tangan kanannya menyentuh alat intimnya. Dengan pikiran yang melayang pada tubuh Freya yang montok dan menggairahkan, ia mengocok dengan cepat. Erangan keluar dari mulutnya dan saat mencapai puncak, cairan lengket mengotori tangannya. Ia bersandar dengan lemas di bawah pancuran. Memaki tubuh dan otaknya yang tidak tahu malu.
"Lama banget mandinya?" tegur Pendi saat melihatnya keluar kamar.
Gael tersenyum kecil. "Papamu ada di mana, Livia?"
"Di rumah, sih. Katanya kalau bisa ketemu di rumah saja."
"Ayo, kita pergi."
"Tunggu, makanannya bagaimana?" Pendi mengangkat bungkusan yang belum dibuka.
Gael mengerjap. "Kasih saja security. Kita makan di rumah Livia."
Mereka bertiga melangkah beriringan menuju lift. Sepanjang jalan Pendi berusaha mengajak Livia mengobrol tapi gadis itu sepertinya kurang berminat. Pandangan mata Livia tidak pernah lepas dari Gael yang menurutnya terlihat berbeda.
"Kak Gael sakit?"
Gael menggeleng. "Nggak."
Pendi berdehem. "Gael sakit tapi bukan tubuh melainkan hati. Dia patah hati."
"Sama siapa?" tanya Livia cepat.
"Siapa lagi kalau bukan—"
"Diam! Jangan ngomong sembarang!"
Bentakan Gael menghentikan perkataan Pendi. Laki-laki itu mengangkat bahu lalu bersandar pada dinding lift dengan Gael di sampingnya.
Livia gelisah, mencuri pandang ke arah Gael. Ia tahu kalau dua laki-laki di sampingnya seperti menutupi sesuatu. Apakah benar Gael sedang sakit hati karena wanita? Siapa wanita yang dimaksud? Setahunya, selama ini Gael sendirian. Berbagai pikiran berkecamuk di benak Livia hingga lift berhenti di lantai dasar.
**
"Mama, besok Alexi mau jalan-jalan."
"Mau ke mana?"
"Kata Bu Gulu ke museum."
"Oh, bagus itu. Alexi mau bawa bekal apa?"
Alexi menggeleng. "Nggak tahu."
"Biar nanti mama tanya sama Bu Guru."
Ia meraih ponsel, mengirim pesan pendek pada guru anaknya. Hingga sore hari tidak ada balasan sampai akhirnya ia memberanikan diri bertanya pada salah satu orang tua anak yang ia kenal. Awalnya jawabannya sangat sopan dan ramah. Sampai ia heran karena orang tua itu terus menerus mengirim pesan remeh, dari mulai menanyakan tentang makan apa, rencana besok, dan semuanya. Merasa aneh dan terganggu, Freya mengabaikan semua pesan yang masuk.
Untunglah sang guru membalas pesannya saat malam dan mengatakan tidak perlu membawa bekal apa pun karena sekolah sudah menyiapkannya.
"Kita ke minimarket beli susu, yuuk!"
"Ayuk, Ma."
Freya menggandengn tangan anaknya menyeberangi jalan menuju minimarket yang berada di pinggir jalan raya. Saat melewati ruko, ia melihat banyak pekerja sedang merenovasi dan mengecat. Timbul pertanyaan dalam dirinya apakah tempat usaha baru itu membutuhkan seorang pekerja lulusan SMU sepertinya? Kalau memang iya, Freya berharap bisa bekerja di waktu normal. Pergi pagi dan pulang sore, jadi malam tidak perlu meninggalkan Alexi. Namun, ia tidak yakin. Meski begitu, ia tetap memberanikan diri untuk bertanya. Saat melihat Said berdiri di depan ruko, ia menggandeng anaknya menghampiri laki-laki tua itu.
"Pak Haji, saya mau tanya."
Pemilik kontrakan tersenyum ke arahnya. "Eh, ada Alexi dan mamanya yang cantik. Mau tanya apa?"
Freya tersenyum. "Itu, Pak. Nanti tempat ini mau jadi apa?"
"Oh, ruko ini? Bengkel sparepart dan suku cadang otomotif. Kenapa?"
"Kali aja butuh admin. Saya mau melamar."
Said tertawa, menatap Freya dari atas ke bawah. "Kalau memang kamu mau jadi admin, pasti diterima. Freya'kan cakep banget, ya?"
Freya mendesah, merasa sudah salah orang untuk bertanya. Ia tersenyum kecil dan berpamitan pada laki-laki itu.
"Jangan takut, Freya. Kalau nanti ada lowongan, Pak Haji kasih tahu kamu. Kalau di sini nggak ada, kamu bisa kerja di rumahku. Cewek cakep mah, bisa kerja di mana saja."
Freya tidak menoleh, berpura-pura tidak mendengar teriakan itu. Bukan pertama kalianya para laki-laki bersikap kurang ajar padanya, hanya karena stasusnya seorang janda.
Setelah membeli susu dan sedikit cemilan untuk anaknya, Freya bergegas pulang dan tanpa menegur Said yang masih berdiri di halaman ruko.
Panggilan datang dari Bari saat mereka tiba di rumah. Kabar yang ia dengar membuat semangatnya melonjak.
"Hari Rabu nanti ada acara manggung di sebuah pertemuan bisnis. Kamu datang bersama Elok dan dua penyanyi lain. Bayarannya cukup mahal," ucap Bari.
"Di dalam atau luar kota?" tanya Freya.
"Di dalam kota, nggak jauh dari bar. Alamat aku kirim nanti. Oh ya, karena mereka para pengusaha jadi pakaian kalian diharapkan yang sopan dan anggun."
"Baik, Pak."
"Freya, jangan sampai nggak datang. Lumayan bayarannya buat bayar kontrakanmu."
"Iya, Pak."
Setelah menutup panggilan, hati Freya berbunga-bunga. Tadinya, ia berpikir ingin berhenti bernyanyi dari City Bar. Bukan karena tidak suka dengan tempat itu, tapi takut bertemu dengan Gael lagi. Beberapa kali pertemuannya dengan laki-laki itu selalu berakhir dengan tidak baik.
Sebenarnya, penghasilannya jauh berkurang kalau hanya mengandalkan menyanyi di kafe Seroja. Tips yang didapat tidak sebanyak di bar dan gajinya juga tidak terlalu tinggi. Freya mengibaratkan dirinya maju kena, mundur pun kena. Tetap bertahan di bar dengan resiko bertemu Gael. Berhenti dari bar berarti tanggungannya bertambah berat dan ia tidak ingin membuat anaknya susah.
Ponselnya kembali bergetar, sebuah pesan dari orang tua yang tadi sore ia hubungi kembali muncul. Tanpa membukanya, ia bisa membaca pesan yang tertera dan membuatnya sangat heran.
"Freya, kamu cantik. Boleh nggak kenal dekat denganmu?"
Bergidik ngeri, Freya mengabaikan pesan itu. Menurutnya, sangat tidak pantas seorang wanita mengirim pesan mesra pada wanita lain. Ia menyesal sudah menghubungi wanita itu hanya karena pernah bertemu beberapa kali di sekolahan. Siapa sangka ternyata punya sikap yang aneh.
**
Di Karya Karsa sudah mendekati ending
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro