Bab 6a
Mereka berpandangan dalam diam. Gael berdiri kaku di dekat meja, menahan sakit di bibirnya. Ia mencecap rasa anyir dari darah, memperhatikan Freya yang meraih kain dari atas kursi dan membungkus tubuhnya. Gael mengusap bibir dengan punggung tangan, tidak peduli meski terasa perih karena hatinya jauh lebih sakit sekarang.
Ia ingin mendekati Freya, merengkuh wanita itu dalam pelukannya. Bicara dengan halus dan membujuk untuk kembali. Tapi, semua niatannya rusak karena Freya justru terlihat takut mendekatinya.
Apa yang salah dengan dirinya? Selama satu tahun mereka menikah, ia memperlakukan Freya dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Tidak pernah marah berlebihan dan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk istrinya. Kenapa Freya sama sekali tidak tersentuh dan bahkan pergi tanpa pamit?
"Freya, aku minta maaf."
Ia berucap parau, ambruk ke kursi dan memegang kepala yang mendadak pusing. Perutnya seperti bergolak dan terasa mual. Ia meringis, dengan keringat membanjiri kepala dan tubuh.
Freya mengernyit, melihat bagaimana Gael yang terlihat kesakitan. Kecemasan timbul dari hatinya dan ia bergegas membuka pintu.
"Security!"
"Freya, tolong. Jangan usir aku," rintih Gael.
Freya tidak memedulikannya. Tak lama, seorang penjaga berseragam datang.
"Pengunjung itu dari meja nomor sepuluh. Ada temannya di sana. Coba kamu panggil suruh datang."
"Iya, Kak."
Tanpa diminta dua kali, penjaga itu setengah berlari ke arah bar. Freya tertegun di tempatnya, tidak kembali ke kamar ganti meski mendengar suara Gael.
"Freya, bisakah kita bicara. Aku janji tidak akan menyentuhmu."
Suara laki-laki itu terdengar lirih dan menyayat hati. Freya menghela napas, berjuang untuk tetap tegar. Selama enam tahun ini, ia pikir bisa pergi dan menghilang dari kehidupan Gael, tapi nyatanya dunia seperti berputar hanya di tempat mereka. Tidak peduli seberapa lama mereka terpisah, akhirnya kembali berjumpa.
Panggilan laki-laki itu kembali terdengar. Sangat lirih, menyentuh hati. Freya mengepalkan tangan, menguatkan tekat untuk tetap diam dan tidak terpengaruh. Ia memejam, rentetan memori masa lalu berputar di otaknya. Tentang betapa lembutnya suara Gael saat sedang merayu. Tentang betapa manisnya senyum laki-laki itu setiap kali mereka bicara. Sikap Gael yang selalu penuh perhatian dan manis padanya.
"Nggak peduli biar pun di dunia ada seribu cewek yang menyukaiku, di hatiku hanya ada kamu, Freya."
Janji manis mereka yang diucapkan saat akan menikah, kembali terngiang. Saat itu, ia merasa menjadi gadis yang paling bahagia di dunia. Tidak peduli meski banyak orang menyayangkan mereka yang menikah di usia yang sangat muda. Yang ia inginkan adalah bersama dengan Gael selamanya. Sebuah impian yang dulu terlihat sangat sederhana, tapi nyatanya justru membuat luka. Pernikahan yang ia impikan tak lebih dari manipulasi seseorang yang akhirnya malah menghancurkan hatinya.
Freya tidak pernah membenci Gael, yang ia benci adalah kenyataan kalau mereka tidak akan pernah bisa bersama selamanya.
"Freya."
Seorang laki-laki kurus datang bersama petugas keamanan yang ia panggil. Freya menunjuk ruangan dengan pintu terbuka di belakangnya.
"Dia di dalam dan sepertinya mabuk. Kamu bawa pulang!"
Pendi mengangguk, menatap wanita cantik di depannya yang berdiri kaku. Ia melewati Freya, menghampiri Gael yang duduk dengan kepala menelungkup di meja.
"Gael, ayo, kita pulang."
Gael mengerang. "Kepalaku sakit."
"Kita cari paracetamol."
"Freyaa, aku ingin pulang bareng Freya."
"Gael, jangan sampai kita diusir dan nggak bisa datang lagi ke sini."
Pendi berusaha mengangangkat tubuh Gael. Ia meraih lengan laki-laki itu dan mengalungkan ke lehernya.
"Pendi, di mana Freya?"
"Pulang."
"Pulang ke mana?"
"Ke rumahnya."
"Di mana rumah Freya?"
"Nanti kita cari."
Gael melenguh saat melewati Freya yang mematung di depan pintu. Laki-laki itu mencoba untuk memeluk Freya tapi Pendi menahannya.
"Gael, pulang. Jangan bertingkah."
"Pendiii, aku ingin Freya."
"Sayangnya, dia nggak mau kamu."
Percakapan mereka terdengar oleh Freya. Ia bisa merasakan kebencian yang menguar dari pandangan Pendi saat menatapnya. Laki-laki itu tidak salah kalau menyimpan kebencian padanya. Ia memang layak untuk tidak disukai. Tidak masalah, asalkan Pendi membantunya menjauhkan Gael.
Setelah sosok dua laki-laki itu menghilang, Freya menarik napa panjang. Entah mulai kapan, air mata menitik di ujung pelupuk. Ia mengusap dengan ujung jari. Masuk ke ruang ganti dan menutup pintu. Membuka kain yang menutup pundak, jarinya gemetar saat menyentuh gaun biru. Sekarang sudah tengah malam, waktunya pulang. Anaknya sudah menunggu tapi entah kenapa tangannya justru gemetar tak terkendali. Tidak tahan lagi, Freya ambruk ke kursi dan menangis tersedu-sedu.
Kenapa ia harus bertemu lagi dengan Gael? Kenapa nasib membuatnya harus kembali ke masa lalu setelah sekian lama ia berusaha melupakan? Bagaimana ia bisa bersama dengfan Gael kala hatinya bercampur dengan kebencian?
Freya mengusap mata, menahan isak. Ia meraih kapas dan toner, dengan air mata yang terus berlinang, menghapus riasan di wajah. Sekarang harus pulang, tidak ada gunanya menyimpan kesedihan yang berkepanjangan.
**
Gael membuka mata, kepalanya terasa sangat sakit. Ia mengerjap, menatap ruangan yang terang benderang oleh cahaya matahari yang masuk melalui jendela kaca. Sudah siang rupanya dan ia masih memakai pakaian yang sama dengan tadi malam, tertidur di atas ranjang.
Ia bangkit, mengernyit karena tubuhnya terasa pegal. Menatap Pendi yang tertidur di sofa. Tidak mengingat apa pun yang terjadi tadi malam.
Gael melangkah tertatih menuju kamar mandi, membuka kran dan membasuh wajah. Setelah buang air kecil dan menggosok gigi, ia memperhatikan wajahnya di kaca wastafel. Kusut, pucat, dan terlihat kacau. Sebenarnya, apa yang sudah ia lakukan tadi malam di bar? Ingatannya terakhirnya hanya sampai saat ia membuntuti Freya. Membayar seorang pelayan untuk membantunya mencari ruang ganti wanita itu. Setelah itu, ia masuk kamar Freya lalu apa yang terjadi? Bingung dan tidak mengerti, ia melangkah keluar.
"Bangun juga kamu, aku pikir mau pingsan seharian."
Pendi duduk di sofa, menatapnya dengan mata mengantuk.
"Tadi malam, apa yang terjadi?"
"Kamu lupa?"
Gael mengangguk, mengenyakkan diri di ujung ranjang. Ia memijat kepalanya yang pening. "Ingatanku semalam kayak memori buram dan kabur. Aku ingat datang ke tempat Freya, allu kami bicara dan aku ...." Ia terdiam, mengingat samar-samar tentang pelukan dan ciuman. "Ya Tuhan, aku memaksanya."
Pendi bangkit dari sofa, pergi ke dapur untuk menuang air dan memberikannya pada Gael. "Minum ini, aku ambilkan paracetamol kalau masih sakit kepala. Kamu ad amie instan nggak? Aku buatin."
Gael menggeleng. "Jangan makan mi instan. Kamu bisa pesan di kedai yang ada di lobi. Nomor ponselnya aku tempel di pintu kulkas."
Pendi bergegas kembali ke dapur, memesan mie goreng dan sop ayam. Menunggu pesanan datang, ia meraih rokok dan duduk kembali ke sofa.
"Kamu membuat Freya marah."
Gael memejam. "Sepertinya begitu."
"Kenapa harus memaksa untuk masuk ke ruang ganti? Kamu tahu nggak kalau itu bisa bikin masalah buat Freya."
Gael mengangguk. "Aku memang bodoh. Terlalu marah dan cemburu. Perasaan hatiku terbakar saat lihat para laki-laki hidung belang memujanya. Mereka berlomba-lomba melemparkan uang pada Freya. Mereka mencoba membeli tubuhnya!"
"Salah! Freya hanya menjual suara, bukan tubuh!"
"Sama saja! Para laki-laki itu meneteskan air liur saat menatapnya. Mata mereka menyimpan keserakahan untuk memiliki Freya. Kamu pikir aku bisa diam saja, lihat wanita yang aku cintai dipuja banyak laki-laki!"
Pendi tidak menjawab, menatap Gael yang kini bersimpuh di lantai. Ia tidak mengeryi dengan hubungan antara Freya dan Gael. Ada banyak misteri yang menyelimuti. Saat bel pintu berbunyi, ia bergegas ke depan. Berpikir itu pasti pemilik kedai yang mengantarkan makanan, tapi nyatanya salah. Saat pintu dibuka, seorang gadis cantik mengedip bingung saat melihatnya.
"Kak Gael ada?"
**
Yang penasaran kenapa alasan Freya kabur, langsung ke Karya Karsa. Jangan protes cerita ini alurnya lambat, karena memang begitu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro