Bab 5a
Gael penasaran dengan gadis yang bernama Freya. Hampir semua temannya memuji gadis itu. Tidak ada satu pun dari teman-temannya yang tidak terpikat oleh Freya. Mereka memuji betapa cantik parasnya, pintar otaknya, dan sikapnya yang ramah. Dari pertama berjumpa, Gael kurang menyukai gadis itu karena dianggap terlalu cuek, siapa sangka malah teman-temannya tergila-gila.
Sebenarnya, ia bukan tidak menyukai Freya. Namun, rasa egoisnya hancur lebur karena penolakan gadis itu. Ia pernah coba-coba menyapa dan Freya mengabaikannya. Sebelumnya, tidak ada satu gadis pun di sekolah yang pernah menolaknya. Mereka akan tersenyum, menyambut gembira, setiap ajakan yang ia lontarkan. Entah itu sekedar makan siang di kantin atau menonton.
"Kemarin kelas gue rame." Nanda memulai cerita. Sore itu mereka baru selesai berlatih basket. "Gara-gara si Tomi datang dan nembak Freya. Kalian tahu apa yang terjadi?"
"Freya terima?"
"Mereka jadian?"
"Pantas, sih. Tomi'kan foto model. Nggak mungkin Freya nolak."
Nanda mengacungkan jarinya di depan wajah. "No, kalian semua salah. Freya, cewek kebanggan dari kelas kami, menolak Tomi dengan sangat lembut."
"Hah, serius?"
"Gilee, kok bisa?"
Gael yang semula sedang mendribel bola, duduk di samping Nanda. Tertarik mendengar percakapan mereka setelah tahu kalau Tomi ditolak oleh Freya. Bukan apa-apa, seluruh sekolah tahu kalau Tomi, adik kelas mereka adalah salah satu cowok yang dianggap paling tampan di sekolah. Ada Gael tentu saja yang menjadi pesaingnya. Banyak cewek yang berlomba-lomba ingin menjadi kekasih Gael atau Tomi. Mendengar kalau Freya menolak salah satu cowok tertampan, adalah sesuatu yang menarik untuk dibicarakan.
"Gimana tampangnya Tomi pas ditolak?" tanya Gael ingin tahu.
Nanda nyengir. "Tetap senyum, dong. Bersikap seolah Freya sedang tarik ulur. Dasar cowok narsis!"
Gael setuju dengan julukan itu, Tomi memang narsis.
"Gue denger, Raul, si mantan ketua OSIS juga naksir Freya?"
Salah satu teman menyeletuk. Gael tidak mendongak dari kesibukannya membuka tali sepatu, tapi telingannya terbuka lebar untuk mendengar informasi tentang Freya dan banyak cowok yang mengejarnya.
"Trus? Freya mau?" tanya yang lain.
"Nggak tahu. Coba tanya Nanda."
Nanda menepuk dada dengan bangga. Baru kali ini ia menjadi pusat perhatian karena Freya.
"Ditolak saudara-saudara, Freya dengan anggun bilang kalau mau konsentrasi belajar. Nggak mau pacaran."
Teriakan bergema di ruang basket, saat mereka menertawakan para cowok yang satu per satu ditolak Freya. Sekarang, bisa dianggap kalau Freya adalah salah satu cewek paling popular di sekolah. Kecantikan dan prestasinya banyak menjadi rebutan para cowok. Sayangnya, sampai saat ini tidak satu pun yang berhasil menaklukkan gadis itu.
Nanda melirik Gael yang terdiam dan menyikut rusuknya. "Gimana? Lo nggak mau coba?"
Gael mengernyit. "Coba apa?"
"Dapetin Freya."
"Hah, kenapa gue?"
"Karena lo yang paling jago buat naklukin cewek. Gini aja, kalau lo berhasil ajak Freya jalan. Kita setuju buat beliin lo sepatu Air Jordan."
Mata Gael bersinar saat mendengar tantangan teman-temannya. "Yakin? Emang kalian punya duit?"
"Jiah, gampang itu. Patungan juga jadi. Yang penting lo tunjukkin dulu skill lo buat gaet Freya."
Gael berpikir sesaat lalu tersenyum. "Deal, siapa takut?"
Taruhan itu hanya antara anggota tim basket yang tahu. Gael yang merasa tertantang, mulai memikirkan cara untuk mendekati Freya. Pertama-tama, ia meminta bantuan Nanda. Di mulai dengan mengirim kotak berisi coklat mahal yang baru didapatkan dari papanya. Sayangnya, Freya menolak. Tidak putus asa, ia mengirim bunga dan lagi-lagi dikembalikan. Gael tidak putus asa, akan mencari cara lain untuk memenangkan hati Freya.
Siang itu, ia sengaja mendatangi kelas Nanda saat istirahat siang. Saat melihat kedatanganya, para cewek berkerumun. Ada yang menawarkan makanan, mengajak mengobrol, dan banyak lagi. Gael menolak dengan ramah, dan mengusir halus para gadis itu. Dari tempat duduknya, ia memperhatikan Freya yang menunduk di atas buku. Bangkit dengan perlahan, ia menyusuri lorong antar bangku. Ia berniat menyapa Freya, tapi tanda disangka ada sekelompok murid laki-laki berlarian dari belakang dan menabraknya. Gael terjerembab, menimpa Freya dengan tubuhnya memeluk gadis itu dan bibir mereka bersentuhan.
Awalnya semua kaget, hingga kelas menjadi senyap. Tak lama, suitan dan teriakan meledak hingga memekakkan telinga. Gael buru-buru bangun dan mengucapkan permintaan maaf bertubi-tubi. Freya hanya memandang dingin dan berkata tegas.
"Minggir!"
**
Kantin ramai oleh karyawan yang berebut makan siang. Terletak di arean belakang gedung, ada beberapa warung yang menyediakan makanan dari nasi padang, soto, hingga jus buah. Perusahaan milik keluarga Gael memiliki gedung sendiri yang terdiri atas tiga lantai. Bawah untuk gudang, dan area pemasaran. Lantai dua untuk ruang direktur dan staf, ada lantai paling atas digunakan untuk packing serta hal lainnya.
Mengawali perusahaan sekitar tiga puluh tahun lalu, orang tua Gael memulai dengan seorang teman. Tidak ada yang tahu siapa teman itu, karena banyak beredar kabar sudah meninggal. Karena sang papa kini sibuk dengan perusahaan lain, maka Gael yang memimpin bisnis suku cadang dan sparepart otomotif. Mereka bekerja sama dengan produsen dari luar negeri, dan mendistribusikannya ke seluruh daerah yang ada di Indonesia. Dalam kurun waktu puluhan tahun, perusahaan berkembang pesat dan punya tiga bengkel untuk pemasok sparepart.
"Aku sudah menemukan lokasi yang cocok untuk bengkel kita."
Pendi yang semula berdiri di dekat jendela mengawasi para karyawan yang sedang makan siang, membalikan tubuh, menghadap Gael yang sibuk dengan laptopnya.
"Lokasinya ramai?" tanya Gael tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.
"Sangat ramai dan strategis. Tepat di depan perumahan padat penduduk. Dulunya, yang menyewa itu konfeksi tapi pindah karena punya gudang sendiri. Berarti tanah itu bagus rejekinya."
Gael mengangguk. "Oke, kita ke sana sekarang. Meeting kita batalkan saja, biar nanti malam bisa langsung ke bar. Kamu nggak usah pulang, ganti baju di apartemenku."
Pendi mengernyit. "Kita ke bar ngapain?"
"Lihat Freya."
"Emangnya aku belum bilang? Freya itu nggak setiap hari ada di bar."
"Maksudnya?"
"Dia kerja di dua tempat. Bari yang bilang sama aku. Selain di bar juga nyanyi di kafe."
"Kafe mana?"
"Mana aku tahu?"
"Kamu cari tahu dari Bari."
Pendi menatap temannya lalu menggeleng lemah. "Nggak bisa, Bari bilang itu adalah urusan pribadi Freya. Kecuali kalau Freya sendiri yang bilang."
"Kenapa kamu nggak bilang kalau aku adalah mantan suami Freya?"
"Hanya mantan, bukan siapa siapa."
Gael menutup laptop dengan kesal. Informasi yang baru saja ia dengar soal Freya membuat semangatnya merosot. Sudah beberapa Minggu ia tidak melihat Freya dan rasa rindunya membuncah.
Fandi menatap sahabatnya dengan kritis. "Gael, ada Luci. Kenapa kamu nggak—"
Gael menggeleng. "Luci hanya teman. Itu saja."
Tidak ingin memperpanjang masalah, Pendi pamit ke ruangannya. Ia membiarkan Gael tenggelam dalam pikirannya sendiri tentang Freya.
Pukul empat sore mereka tiba di lokasi yang akan digunakan untuk bengkel baru. Setelah mengamati dan memeriksa bangunan termasuk juga tempat parkirnya yang luas, Gael merasa cocok. Ia negosiasi dengan pemilik untuk pembayaran sewa selama tiga tahun.
"Itu jalan menuju ke mana?" tanya Gael saat melihat jalan kecil di samping ruko.
"Perumahan penduduk. Selain ruko ini, Pak Haji juga punya kontrakan di belakang," ucap Pendi.
"Banyak?"
"Iya, kira-kira sepuluh pintu. Ayo, kita lihat."
Mereka menyeberangi area parkir yang luas, menuju jalan kecil di samping ruko. Menyusuri hingga tiba di ujung dan memandang langsung pada deretan rumah kontrakan yang dipisahkan oleh jalanan kecil.
"Rame sekali," gumam Gael.
"Memang, gokil Pak Haji. Haii, halooo!" Pendi melambaikan tangan pada para penghuni yang kebanyakan wanita dan sedang memanggil mereka. "Aku berasa jadi artis."
Gael mengulum senyum, mengibaskan kemeja birunya dari debu dan membalikkan tubuh kembali menuju ruko. Ia punya firasat kalau usahanya akan bagus di tempat ini.
**
Selama Ramadhan, cerita ini akan update malam dan bergantian hari dengan Duda Nest Door
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro