Bab 4b
Suara gedoran di pintu membangunkan Gael. Ia mengucek mata, menggeliat dan merasa kedingin. Rupanya, ia tertidur tanpa memakai selimut. Saat bangkit dari tempat tidur, album foto di atas dadanya terjatuh. Ia mengambil dan menyimpannya kembali ke dalam lemari sebelum membuka pintu.
Seorang gadis muda dan cantik dalam balutan gaun batik tersenyum ke arahnya. Wajah gadis itu cantik meskipun agak pucat.
"Kak, kamu datang nggak bilang-bilang."
"Livia, ada apa?" tanya Gael dengan suara parau.
Gadis yang dipanggil Livia mengacungkan ponselnya sambil tersenyum. "Aku menagih janjimu. Katanya mau mengajakku menonton. Ayo, aku ada dua lembar tiket."
Gael mengernyit. "Sekarang?"
Livia mengangguk. "Iya, sekarang. Ada film box office yang bagus. Ayo, Kak."
"Tunggu, aku sedang malas."
"Kaak, aku menagih janjimu. Pokoknya sekarang, nggak mau tahu. Kalau nggak, nanti aku ngadu sama Tante dan Om."
Menyingkirkan rasa enggan, Gael mengikuti kemauan Livia. Gadis yang berumur tiga tahun lebih muda darinya itu memang sangat manja. Mereka adalah sepupu jauh. Mama Gael adalah sepupu dari papa Livia. Meskipun secara keluarga, hubungan darah di antara mereka tidak terlalu dekat, tapi mereka berteman baik.
Livia dari dulu sangat dekat dengan Gael. Gadis itu selalu mengikuti kemanapun Gael pergi. Dari sekolah, sampai bermain dan akan melawan siapapun yang berani mengusik Gael. Bagi sebagian orang, itu terlihat lucu dan menggemaskan tapi baginya, sikap Livia cenderung posesif. Untung saja mereka adalah kerabat, bukan orang lain hingga ia tidak punya pikiran macam-macam dengan Livia.
"Kenapa Kak Gael jarang pulang?" tanya Livia saat mereka mengantri di depan loket untuk menukar tiket.
"Sibuk kerja," jawab Gael. "Kamu mau minum apa? Popcorn mau?"
"Mau lemon tea dan popcorn yang besaaar."
Dengan makanan dan minuman di tangan, mereka duduk di bangku depan studio yang belum dibuka. Livia terlihat sebal saat memergoki tatapan para gadis yang diarahkan pada Gael. Dari dulu setiapa kali bepergian dengan Gael akan mengalami hal yang sama. Banyak kaum hawa yang tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajah sepupunya yang tampan. Kadang-kadang, Livia merasa bangga karena bisa berdampingan dengan orang setampan Gael. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan sombongnya, tapi sering kali merasa kesal saat beberapa gadis yang cukup berani, mengajak sepupunya berkenalan.
"Maaf, aku sudah punya istri."
Itu adalah kata-kata andalan Gael setiap kali menolak ajakan berkenalan dari gadis yang tidak dikenal. Meskipun itu adalah kenyataan yang sesungguhnya, tak urung membuat Livia senang. Tidak peduli apa pun alasannya, ia suka dengan sikap dingin Gael menghadapi para gadis yang genit.
"Hari Minggu, kenapa bukan pergi sama gebetanmu, malah ngajak aku." Gael mengunyah popcorn.
"Nggak punya gebetan," jawab Livia.
"Masa? Kata mamaku, kamu popular di kampus."
"Huft, kata siapa? Populer karena galak, emang iya, tapi kalau hal lain, nggaklah."
"Bukannya dua Minggu lalu ada seorang cowok yang datang membawa bunga ke rumahmu? Dengan lantang bilang cinta?"
Livia hampir menyemburkan minuman yang disesapnya saat mendengar perkataan Gael. Ia melirik sepupunya sambil melongo.
"Kok tahu? Maksudku, itu bukan siapa-siapa."
Gael terkekeh. "Ngapain gugup? Nggak masalah dia itu siapa."
"Nggak, dia bukan siapa siapa dan akn tetap begitu."
"Yakin?"
"Seratus persen. Ayo, Kak. Studio udah buka!"
Livia melangkah lebih dulu, masuk ke dalam studio. Ia menghela napas lega saat Gael tidak lagi mengungkit-ungkit soal pemuda aneh yang mendatangi rumahnya dan menyatakan perasaan dengan cara yang kampungan. Hal-hal seperti itulah yang membuatnya tidak pernah suka dengan pemuda yang seumuran, menurutnya mereka semua tidak dewasa dan kekanak-kanakan.
Studio bioskop dalam keadaan penuh pengunjung. Gael duduk di kursinya dengan tenang. Meraih ponsel untuk mematikan suara. Ia tidak ingin mengganggu penonton lain dengan bunyi dering panggilan. Ia melihat pesan lain datang dari Luci. Merasa enggan, ia membaca dan membalas cepat.
"Terima kasih oleh-olehnya."
Tanpa menunggu balasan, ia memasukkan ponsel ke dalam tas dan mulai berkonsentrasi menatap layar. Saat lampu mulai dimatikan dan ruangan menggelap, pikirannya mendadak tertuju pada Freya. Dulu, mereka juga sekali menonton. Saat berada dalam kegelapan, tidak melewatkan kesempatan untuk saling mencumbu dan berciuman. Pernah dalam satu kesempatan saat mereka masih pengantin baru, Freya melepaskan celana dalam yang dipakai dan membiarkan jemari Gael bermain di vaginanya. Saat itu perasaan berdebar-debar dan menggairahkan menguasai mereka. Film berakhir, keduanya masuk ke mobil danm bercinta di sudut parkiran yang gelap. Masa-masa bahagia dalam hidup yang ia tidak tahu akankah terulang kembali.
Film diputar selama dua jam. Setelah itu, Livia mengajak ke tempat bermain. Gael yang merasa lapar, ingin segera makan tapi gadis itu memaksa.
"Ayo, kita tanding basket."
Livia memberikan beberapa koin pada Gael dan mereka berlomba memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Gael unggul tentu saja. Saat satu bola jatuh ke luar dari kotak permaian, Gael mencoba mengejarnya dan mendapati seorang anak laki-laki mengambi bola itu.
Gael menunduk dan tersenyum pada anak laki-laki yang menurutnya sangat tampan itu. "Adik kecil. Itu bola aku."
Anak kecil itu tersenyum. "Aku juga mau main."
"Kamu mau main basket?"
"Iya, mau."
Gael menatap kotak permainan lalu mengangguk. "Baiklah, sini. Om ajari main."
Anak kecil yang tidak diketahui namanya itu menurut saat Gael mengangkat ke pinggiran kotak. Livia tidak memperhatikan karena sedang sibuk bermain.
"Kita masukkan koinnya dan nanti bolanya keluar semua. Setelah itu, kita lempar bola ke dalam keranjang. Lihat, satu, dua, tigaa!"
Bola-bola menggelinding keluar. Gael memegang kedua tangan anak itu dan membantunya melempar bola ke dalam keranjang.
"Horee, masuuk!"
Suara riang anak itu terdengar sangat nyaring bersamaan dengan bunyi musik dari kotak permainan. Gael pun ikut tertawa, saat anak dalam pelukannya terlonjak gembira. Mereka bekerja sama dengan baik, memasukkan bola-bola.
Livia yang baru selesai bermain, menatap heran pada Gael yang sedang bermain dengan anak laki-laki tak dikenal. Ia berdiri dengan tenang, menunggu hingga waktu bermain mereka selesai.
"Yeah, skor kita tinggi. Kamu hebat. Siapa namamu?" tanya Gael.
"Namaku, Alexi, Om," jawab anak itu.
"Alexi, nama yang bagus."
"Kak, siapa dia?" tanya Livia menunjuk ke arah Alexi.
"Teman baru." Gael menurunkan Alexi dari kotak permainan. "Di mana orang tuamu?" tanyanya.
Alexi menunjuk seorang laki-laki berkemeja putih yang sedang bermain balap mobil.
"Kembali ke sana, nanti mereka cariin kamu."
"Daah, Om." Alexi melambaikan tangan dan berlari meninggalkan Gael.
Livia menatap anak laki-laki yang kini duduk di sebelah laki-laki berkemeja putih lalu mengalihkan pandangan pada Gael.
"Kak, aku ngrasa ada yang aneh."
"Aneh kenapa?"
"Wajah kalian mirip. Maksudku, wajahmu dan anak itu. Kalau dari dekat, kalian seperti ayah dan anak."
"Jangan ngaco!" sergah Gael.
"Beneran, Kak. Kalau nggak percaya, ayo, kita ke sana dan buktikan."
"Kamu mau dipukul bapaknya? Jangan macam-macam. Ayo, makan. Aku lapar."
"Dih, Kakak, mah, nggak percaya."
"Jelas nggak, Alexi ada bapaknya. Masa aku harus ngaku-ngaku."
Mereka berdua menuruni tangga berjalan menuju restoran untuk makan. Sepanjang jalan Livia tetap bersikukup kalau Alexi punya wajah mirip Gael.
Di tempat permainan, Alexi sedang balap mobil dengan Riki saat sang mama datang dengan tergopoh-gopoh.
"Maaf, ya, kalian pasti nunggu lama. Aku lagi sakit perut dan toilet penuh. Terpaksa cari toilet di lantai bawah."
Riki menengadah. "Sudah enakkan perutnya?"
"Sudah, kita bisa pulang sekarang."
"Ayo, pulang. Alexi, cukup mainnya hari ini. Lain kali datang lagi."
Alexi tidak membantah dan mengangguk kecil. Freya melihat anaknya terlihat lelah dan tidak menolak saat Riki menggendong di punggungnya. Mereka bertiga, menuruni lantai menggunakan lift untuk menghindari keramaian.
"Riki, terima kasih untuk hari ini," ucap Freya saat menyusuri lorong menuju parkiran motor.
"Haiz, kayak orang lain aja pakai ucapan terima kasih. Asal Alexi dan kamu senang, aku juga senang."
Freya tidak mengatakan apa pun, duduk di bagian belakang motor dan mengapit Alexi yang tertidur. Anaknya yang kelelahan setelah bermain dengan gembira adalah hal yang menyentuh hatinya. Saat motor melaju kencang di jalanan, menembus angin malam, pikiran Freya tertuju pada seorang laki-laki. Harusnya, laki-laki itu yang menemani mereka bermain hari ini, bukan Riki. Sayang sekali, takdir kejam berkata lain dan menghancurkan cinta dalam keluarga menjadi serpihan kecil yang tidak mungkin lagi disatukan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro