Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3b

Freya mengambil gelas kecil dan mengangkat di depan Gael. Pendi mengambil gelasnya dan bersulang dengan wanita itu.

"Cheers, untuk penyanyi paling cantik dengan suara yang merdu."

"Cheers."

Sebelum Freya sempat meneguk minumannya, gelasnya disambar oleh Gael dan laki-laki itu meminum habis isinya.

"Jus jeruk," gumam Gael, menatap Freya yang terdiam. "Manis."

Freya tersenyum, ingin mengambil gelas yang kini kosong tapi Gael menahannya. Jemari mereka bersentuhan di permukaan gelas yang licin dan dingin, dengan mata saling menatap.

"Freya, seingatku dulu, kamu nggak suka jus jeruk. Lebih suka jus apel, kenapa berubah?"

"Terima kasih atas kunjungan Tuan berdua. Ijinkan saya undur diri, menyapa yang lain." Seolah tidak mendengar perkataan Gael, Freya melenggang pergi, membiarkan pelayan yang mengambil gelas dari tangan laki-laki itu.

"Freya, aku belum selesai ngomong!" teriak Gael, tapi wanita itu mengabaikannya.

"Bro, calm down!" tegur Pendi. "Jangan sampai kita diusir dari sini."

Gael mengusap wajah, menahan geram. Namun ia menyadari tidak boleh terbawa emosi. Yang dikatakan sahabatnya benar, setelah beberapa Minggu tidak bertemu Freya, sebaiknya tidak merusak malam ini. Tanpa menunggu lama, ia membayar tagihan dan mengajak Oendi keluar.

"Jangan bilang mau nunggu dia di pintu."

"Tebakanmu benar," ucap Gael. "Kamu tunggu saja di mobil."

"Nggak, aku ikut kamu. Nggak mau ada masalah."

"Aku nggak mabuk!"

"Nggak parah, tapi kamu juga minum tadi dan sekarang lagi emosi. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi?"

Tidak akan terjadi apa-apa, pikir Gael muram. Malam ini ia akan berhati-hati untuk tidak membuat Freya ketakutan. Ia membiarkan Pendi bermain ponsel di sampingnya. Meriah sebatang rokok dan menyulutnya, ia membiarkan tenggorokannya dipenuhi asap.

Jalannya hidup tidak ada yang tahu. Manusia hanya bisa berencana tapi Tuhan yang menentukan. Siapa juga yang akan tahu kalau mantan primadona sekolah yang begitu cantik dan pintar, akan menjadi penyanyi bar? Siapa pula yang bisa mengira kalau gadis yang dulu sangat tergila-gila padanya, memilih untuk pergi dari dirinya, meninggalkan ribuan luka dan muncul kembali dalam bentuk sosok yang asing. Tidak ada yang tahu, bahkan dirinya sendiri.

Ia juga tidak memberitahu kedua orang tuanya kalau sudah menemukan Freya. Ia masih ingin menyimpan informasi ini untuk dirinya sendiri. Suatu saat, kalau

sudah berhasil bicara dengan mantan istrinya, mencari tahu apa yang terjadi selama berberapa tahun ini, barangkali ia baru berani mengatakan pada orang tuanya. Itu juga baru bagian dari rencana karena melihat sikap Freya yang dingin, sepertinya tidak akan mudah.

"Sebenarnya, kalian dulu cerai karena apa?"

Pertanyaan Pendi dijawab gelengan kepala oleh Gael. "Nggak tahu."

"Kok bisa nggak tahu?"

"Dia mendadak pergi, gitu aja. Ngilang tanpa ngasih kabar."

"Kamu berbuat salah apa?"

"Mana aku tahu?"

"Hei, kalian suami istri."

"Seandainya aku tahu kenapa dia pergi. Seandainya dia bicara terus terang soal itu, pasti kami nggak akan pernah cerai!"

Suatu malam, saat ia pulang dari kuliah, mendapati rumah kontrakan yang ditempati bersama Freya kosong. Tadinya ia menduga kalau istrinya pergi bermain dan mungkin belum kembali. Awalnya ia merasa aneh karena Freya bukan jenis wanita yang suka pergi sampai malam. Ia masih menyimpan kebingungannya dan menunggu Freya. Hingga pukul sepuluh malam, sama sekali tidak ada kabar. Nomor ponsel istrinya tidak dapat dihubungi. Ia menelepon kedua orang tuanya dan sang istri tidak ada di sana.

Malam itu, ia bertahan dan tetap menunggu hingga tengah malam. Menelepon setiap orang yang ia kenal hanya untuk menanyakan keberadaan Freya. Menjelang pukul satu dini hari, dalam kondisi lelah dan kuatir, ia berlari ke kamar, membuka lemar dan mendapati sebagian pakaian Freya sudah lenyap. Ada selembar surat cerai yang sudah di tanda tangani wanita itu. Tanpa kata perpisahan, tanpa penjelasan, Freya menghilang.

Perasaan kehilangan masih ia rasakan hingga kini. Berakar kuat dalam dirinya, membekukan perasaan hangat yang dulu menyelubungi.

"Eh, dia keluar, tuh!"

Gael menegakkan tubuh, mematikan rokok dan membuang putung ke tanah. Freya yang sudah berganti pakaian melihatnya. Wanita itu mengernyit dan melangkah lurus ke parkiran. Gael merendengi langkahnya.

"Aku nggak tahu ada apa sama kamu. Apa yang bikin kamu berubah. Tapi, kamu berutang penjelasan padaku."

Freya tidak menjawab, menutup mulut rapat-rapat.

"Jangan pura-pura kita nggak kenal Freya. Kamu tahu persis kita saling tahu. Bahkan aku masih ingat dengan jelas, di mana letak tahi lalat yang paling tersembunyi di tubuhmu."

Freya menghela napas, tidak memelankan langkah.

"Di paha dalam, nyaris dekat dengan selangkangan. Akui saja Freya. Kamu sering mendesah dan merengek setiap kali aku menciumi area ituu!"

Teriakan Gael bergema di halaman yang cukup ramai pengunjung. Mereka menatap laki-laki itu dengan pandangan bingung, lalu ke arah Freya yang kini berhenti. Gael mengulum senyum, mendekat perlahan.

"Akhirnya, kamu mendengarkanku. Apa kamu perlu diingatkan hal lain lagi Freya? Tentang dirimu yang suka menggigit bahuku saat mencapai puncak? Atau car akita saling mencium dan bercumbu hingga kadang sering lupa waktu? Yang mana yang paling kamu ingat? Karena aku mengingat semua, tubuhmu, aromamu, dan dadamu yang tegak menatang saat bergairah."

Freya menghela napas panjang, mengepalkan tangan. Ia berbalik, menatap Gael tajam. Kali ini emosinya benar-benar memuncak. Kalau tidak ingat sedang berada di depan tempat kerjanya, akan sangat menyenangkan bisa memukul mulut sang mantan suami.

"Sudah cukup bicaramu?" tanyanya dingin.

Gael tersenyum penuh kemenangan. Tidak sia-sia usahanya bicara kotor. Freya akhirnya mendengarkan.

"Belum, aku akan bicara makin banyak kalau kamu mengabaikanku, Freya."

"Kamu hanya pengunjung, dan tamu yang kurang ajar. Untuk apa aku mendengarkanmu," desis Freya. Kilatan emosi terlihat jelas di binar matanya. Raut wajahnya mengeras dan menatap penuh kebencian pada Gael. "Kamu nggak punya hak apa pun untuk memaksaku mendengarkanmu."

Gael menggeleng. "Jangan bicara hak sama aku Freya. Kamu jelas tahu kita pernah—"

"Punya hubungan yang sudah berlalu. Apakah kamu akan membiarkan aku sendiri kalau aku setuju mengatakan padamu, kita pernah tinggal di satu rumah yang sama?"

"Bukan itu niatku."

"Lalu apa? Ingin memerasku?"

"Freya!"

"Jangan bicara macam-macam di sini, kamu tidak ada hak apa pun atas diriku!"

Freya bergega melanjukan langkah tapi Gael meraih pergelangan tangannya. Wanita itu meronta, Gael memaksa dan mereka adu tenaga di tengah kendaraan yang di parkir. Freya tergoda untuk berteriak dan memanggil security tapi menahan diri karena tidak ingin malu.

"Lepaskan aku," desisnya marah.

"Nggak, aku suka memegang pergelangan tanganmu." Gael mendekat, menghimpit Freya di di bagian belakang kendaraan orang. "Kamu tahu apa lagi yang aku ingat? Suatu malam yang panas, selesai kita menonton film biru, aku mengikat tanganmu di ranjang dan menutup matamu. Malam itu, kita bercinta seperti dua orang yang sedang kesurupuan. Aku mencumbu dan mencium seluruh tubuhmu. Apa kamu ingat itu, Freya?"

Freya menghela napas panjang, ingin menampar wajah Gael yang sedang mengejeknya. Ia mengibaskan tangan, mendekat dan menginjak kaki laki-laki itu dengan kuat, membuat Gael berteriak kesakitan. Cengkeramannya tangannya terlepas.

"Freyaa!"

"Itu baru sedikit dariku, laki-laki kurang ajar. Ingat! Jangan mengangguku lagi!"

Freya berbalik, setengah berlari menuju pinggir jalan raya dan menyetop taxi.

"Aku akan tetap menganggumu, Freya! Kamu dengar itu!"

Teriakan Gael terdengar nyaring. Freya mengabaikannya, masuk ke dalam taxi yang berhenti di depannya. Mengenyakkan diri di jok belakang, ia menghela napas panjang. Sungguh melelahkan, berusaha melarikan diri dari Gael. Mungkin sudah saatnya ia mencari pekerjaan di tempat lain dan menghilang sekali lagi.

**

Penasaran? Kalian bisa langsung ke Karya Karsa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro