Bab 15b
"Apa kamu sudah melihat ruko yang sedang direnovasi Gael?"
"Belum. Kenapa?"
"Hanya penasaran, karena sepertinya Gael sangat bersemangat soal itu."
"Oh, mungkin karena bekerja sama dengan salah satu temannya. Katanya, bahan-bahan yang didapat kualitas bagus dan bisa dijual dengan harga sedikit lebih tinggi."
Diki mengangguk, mengisap rokoknya. Menatap sepupunya yang sedang makan irisan melon. Qamar sangat menjaga kesehatan di usianya yang sekarang, tidak heran dengan gaya hidupnya yang sehat, laki-laki itu tampak selalu bugar.
"Semalam Gael datang ke pesta orang tua Luci?"
Qamar mengangguk. "Datang. Aku dan istriku sengaja keluar dengan alasan melakukan hal penting. Untuk memberika kesempatan datang ke pesta. Kalau bukan karena alasan itu, aku yakin dia akan menolak."
"Gael aneh. Padahal sudah bercerai lama sekali, sampai sekarang belum punya pacar juga. Luci itu cantik, baik, dari keluarga kaya. Kurang apa lagi coba?"
"Entahlah, Diki. Kamu tahu persis bagaimana sikap anakku kalau menyangkut mantan istrinya. Dia tidak akan tergoda dengan perempuan lain, selama belum ada kejelasan di mana keberadaan Freya."
Diki mengisap habis rokoknya, mematikan dan membuang punting ke asbak. Meraih minuman dingin yang disediakan Evi untuknya, ia meneguk perlahan. Samar-samar terdengar suara tawa anaknya yang sedang mengobrol dengan Evi. Tanpa sadar ia tersenyum. Livia memang selalu bahagia, setiap kali berada di rumah ini.
"Jangan sampai Gael menghabiskan masa mudanya dalam kesedihan."
"Itu harapanku juga."
"Kalau nggak mau sama Luci, bisa dicoba dengan gadis lain yang lebih cocok atau yang sudah dikenal lama."
Qamar mengangguk muram karena jujur dari dalam hati, ia sangat takut anaknya tidak lagi ingin jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan perempuan lain. Semenjak Freya menghilang, Gael seperti kekurangan gairah hidup. Sehari-hari hanya dihabiskan untuk bekerja. Bersama istrinya, ia selalu berusaha memperkenalkan Gael dengan perempuan yang baik. Namun, sampai sekarang usaha mereka tidak membuahkan hasil. Gael sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk menjalin hubungan percintaan.
"Kalau Luci ditolak sama Gael, aku nggak tahu lagi gadis mana yang akan cocok," desah Qamar.
Dari pintu tengah muncul Livia dan Evi yang membawa baki berisi cemilan dan meletakkannya di atas meja.
"Tante Evi bikin cemilan enak banget. Jago bikinnya," puji Livia.
Diki terseyum. "Kamu bisa belajar kalau gitu."
"Dih, Papa tahu sendiri. Aku bikin telur mata sapi aja hancur."
Seisi ruang tamu tertawa mendengar ucapan Livia. Kedatangan Gael mengejutkan mereka semua. Evi menawari anaknyta makan tapi ditolak.
"Gael mau ambil beberapa barang, Ma. Nggak bisa lama-lama."
"Paling nggak makan kue dan ngobrol sama Om kamu."
Gael menatap Diki dan Levia yang menatapnya penuh harap. Ia melihat jam di ponsel. Menghitung cepat dan saat memutuskan masih ada waktu untuk mengobrol, ia duduk di sofa panjang samping papanya.
"Kak, kita bisa makan malam?" tanya Livia.
Gael menggeleng. "Maaf, nggak bisa."
Livia mencebik. "Ini sudah sore, memangnya masih ada kerjaan di kantor?"
"Bukan di kantor tapi di tempat lain."
Qamar berdehem, menatap anaknya tajam. "Papa mau tanya satu hal sama kamu dan ini penting."
"Apa, Pak?" Gael bertanya, memainkan ponsel di tangan. Pikirannya tertuju pada Freya dan anaknya. Ingin segera ke kontrakan untuk menemui mereka.
"Siapa penyanyi panggung yang malam itu kamu gandeng pergi?"
Semua mata menatap ke arah Gael yang terperangah. Livia dan papanya saling pandang tidak mengerti. Berbading terbalik dengan Evi dan suaminya yang sorot matanya penuh pertanyaan.
"Penyanyi yang mana?" tanya Gael coba-coba.
"Jangan bersikap bodoh, Gael. Penyanyi yang kamu temui di pesta orang tua Luci. Bisa-bisanya kamu bersikap posesif pada satu perempuan seperti itu? Siapa dia? Bagaimana kalian kenal? Apa kamu tahu betapa malunya kami, saat orang tunya Luci bertanya? Mereka marah, kamu mengabaikan Luci dan malah pergi dengan perempuan panggung!"
Ruang tamu hening, mereka menatap Gael dan Qamar bergantian. Diki yang baru pertama kali melihat Qamar marah sambil berteriak, hanya memandang bingung. Saudaranya itu, selama ini terkenal sebagai laki-laki pendiam, lembut dalam bertutur kata dan jarang sekali lepas emosi. Sepertinya, kali ini Gael sudah melakukan sesuatu yang membuat Qamar mengamuk.
"Gael, coba jujur. Siapa perempuan itu?" Kali ini Evi yang bertanya. Wajah perempuan itu menatap anak laki-lakinya dengan prihatin. "Bagaimana kamu mengenalnya? Tentunya, di pesta itu bukan pertama kalinya kalian bertemu. Mama melihat foto-fotonya, dan kelihatan kalau kamu memperlakukannya dengan akrab."
Gael mendongak kaget. "Mama lihat foto-foto kami?"
Evi mengangguk. "Iya, sayangnya hanya dari belakang. Mama nggak lihat wajah penyanyi itu. Apa kalian pacaran?"
Gael menggeleng, pandangan matanya bertemu dengan Livia.
"Lalu? Siapa dia?" Qamar bertanya lagi dengan nada tidak sabar.
Menghela napas panjang, Gael memutar ponsel di tangannya. "Suatu hari nanti kalian akan tahu siapa dia. Yang pasti adalah, kami sedang dekat."
"Gaeel!"
"Maaf, Pa. Aku ke kamar dulu. Mau ambil barang."
Meninggalkan kedua orang tuanya yang memandang penuh pertanyaan, dengan Diki dan Livia yang kebingungan, Gael menuju kamarnya. Ia membuka lemari. Mengambil tas hitam. Di atas lemari ada koper dan menggunakan kursi ia menurunkan koper itu. Ada banyak barang di antaranya berupa pakaian tidur perempuan. Itu semua adalah pakaian milik Freya dan ia menyimpannya.
Memilih beberapa helain yang dianggap masih layak pakai, Gael memasukkannya ke dalam tas hitam. Ia membuka laci meja dan mengambil beberapa barang miliknya. Terdengar ketukan dari luar dan ia sudah bisa menduga siapa yang datang.
"Ada apa, Livia?"
Livia menatap tas hitam Gael yang ada di atas ranjang. "Kakak mau ke mana?"
"Ke apartemen. Kenapa?"
"Kok bawa banyak barang?"
Gael tersenyum. "Itu barang-barangku sendiri."
"Oh, begitu." Livia duduk di samping tas, menatap punggung Gael yang sedang sibuk mengobrak-abrik laci. "Kak, apa benar itu? Kakak punya pacar?"
Gael menoleh dan tersenyum. "Kenapa? Kamu kepo?"
"Ehm, iya, kalau boleh tahu siapa? Apa penyanyi itu?"
Gael memasukkan barang-barangnya ke tas hitam. "Suatu hari nanti kamu akan tahu. Sorry, aku tingal dulu!"
Livia menatap kepergian Gael dengan pikiran bertanya-tanya. Ia tidak salah lihat, di dalam tas hitam ada pakaian perempuan. Setahunya, perempuan yang pernah tidur di kamar ini hanya Freya. Berarti itu pakaian milik mantan istri Gael. Kenapa Gael mengambilnya? Akan dibawa ke mana? Livia tidak mengerti apa pun.
**
Terima kasih sudah mengikuti kisah Gael dan Freya. Untuk cerita lengkap bisa ke Karya Karsa atau google playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro