Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14b

"Malah bengong. Mau makan?" tegur Gael.

"Tunggu, aku ke kamar mandi."

Dengan bantal di tangan, Freya bergegas ke belakang. Ia menggosok gigi dan mencuci muka. Mendapati ada pakaian kotor milik Gael yang tergantung di dinding kamar mandi. Ia meraihnya dan memasukkan ke dalam ember pakaian kotor. Dengan tiga piring di tangan dan tiga sendok, ia kembali ke ruang tamu. Tercengang saat Gael membuka banyak sekali bungkusan.

"Ini ada kue-kue basah, nasi uduk, gorengan, dan ada juga buah."

"Kenapa kamu beli banyak sekali?"

Gael mengangkat bahu. "Pingin. Lagi pula, Alexi juga mau makan. Iya'kan?"

Alexi mengangguk dengan mulut penuh. Anak itu sedang makan pie buah dan puding coklat.

"Kalau begitu harus kita habiskan."

"Freya, jangan dipaksa. Bisa buat nanti siang."

Mereka makan bersama. Gael berkali kali menggoda Alexi. Menyuapi anaknya makan, mengelap mulut yang belepotan, dan mengobrol tentang apa saja termasuk kartun. Alexi bercerita dengan semangat tentang teman-temannya di sekolah.

Selesai sarapan, Freya membantu anaknya berganti seragam. Menyiapkan bekal untuk sekolah. Sementara Gael merokok di teras.

Para tetangga kontrakan menatap Gael dengan tercengang. Beberapa orang mengenalinya sebagai orang tampan yang mengontrak ruko. Mereka tidak dapat menyembunyikan rasa heran melihat Gael ada di teras rumah Freya.

Bisik-bisik terdengar jelas. Beberapa perempuan berkerumun di depan pintu nomor satu. Tatapan mereka secara terang-terangan tertuju pada Gael.

"Pagi buta udah di teras. Nginep pasti."

"Kayaknya nginep. Tadi aku lihat dia jalan ke pasar sama Alexi."

"Wew, dasar janda gatel. Tahu aja laki cakep, diembat."

"Kok lakinya mau aja?"

"Ya, maulah. Ibarat kucing dikasih ikan? Siapa yang nolak?"

"Pasti gratisan."

"Bisa jadi bayar. Penyanyi bar, semua disangkutkan ke uang."

Mata mereka makin terbelalak saat melihat Freya keluar menggandeng Alexi. Gael yang semula duduk, ikut bangkit. Terjadi perdebatan kecil sebelum akhirnya mereka melangkah beriringan menuju ruko. Tidak mengindahkan banyak mata yang mengiringi langkah mereka.

"Kenapa kamu mengantar kami? Bukannya harus ke kantor?"

"Santai, kantor bisa ditangani dari jauh. Yang penting, mengantar Alexi sekolah. Iya, Sayang?"

Alexi mengangguk dari jok belakang. Anak itu duduk dengan tenang, menatap mamanya yang ada di kursi depan.

"Kamu nggak lihat pandangan para tetangga?"

Gael menoleh. "Kenapa kamu peduli? Biasanya kamu selalu cuek dengan hal begitu."

Freya menghela napas panjang. "Memang, bahkan saat mereka mengumpat sekalipun, aku hanya perlu pura-pura nggak dengar. Tapi, kamu beda."

"Apa bedanya, Freya?"

"Mereka akan mengecapmu sebagai laki-laki rendahan karena bergaul dengan janda."

Gael menghela napas panjang, melirik Freya. Hatinya terasa panas karena perkataan mantan istrinya.

"Janda itu adalah mantan istriku. Apa salahnya?"

"Mereka nggak tahu."

"Kalau perlu aku akan membuat spanduk, mengumumkan di masjid dengan toa, atau juga berteriak sambil berkeliling kampung, dan mengatakan pada mereka kalau kamu istriku."

"Mantan!" Freya mengoreksi cepat.

"Kamu saja yang merasa mantan, aku sama sekali tidak begitu."

"Gael ...."

"Kamu yang meninggalkan aku, menceraikan aku, membuat pernikahan kita hancur. Kamu merasa dirimu janda, tapi aku tidak pernah merasa duda. Selama ini, aku selalu menekankan pada diri sendiri, kalau aku sudah menikah."

Freya menghela napas panjang, menoleh ke arah jok belakang. Anaknya sedang menatap luar jendela.

"Kita bahas ini nanti, ada Alexi." Ia berbisik.

Gael tidak membantah. Memandang lurus ke jalanan yang padat.

"Alexi, Sayang. Kamu mikir apa, Nak?"

Alexi mengalihkan pandanga, bergerak ke tengah jok. "Mama, nanti malam, Alexi bobo di mana? Rumah Nenek kebakaran."

Freya terdiam, lalu tersenyum. "Mama malam ini nggak kerja. Temani Alexi di rumah."

"Asyiik! Mama nggak kerjaa!"

"Kenapa kamu senang mama nggak kerja?"

"Bisa temani aku main sama bobo."

"Oh, baiklah."

Freya kembali menghadap ke depan. Sekarang ia ikut memikirkan tentang anaknya. Setelah si nenek rumahnya kebakaran, ia tidak punya tempat lagi untuk menitipkan Alexi. Lalu, bagaimana pekerjaannya nanti?

Ia memijat kening, merasa bingung sekarang. Kalau ia tidak bekerja, dari mana mendapatkan uang. Kalau kerja, siapa yang menjaga anaknya?

"Alexi bisa ikut aku, selama kamu kerja."

Perkataan Gael membuat Freya menoleh heran. "Bagaimana bisa?"

"Bisa saja. Aku akan mencari tempat tinggal sementara di dekat rumahmu."

"Bukankah itu akan sangat merepotkan?"

Gael menggeleng. "Sama sekali tidak."

"Tapi, bisa menganggu waktumu."

"Aku lebih senang menghabiskan waktuku bersama Alexi."

"Entahlah, Gael."

"Freya, jangan menolak. Siapa lagi yang akan menjaga Alexi kalau bukan aku?"

Freya dilanda kebimbangan. Di saat genting seperti sekarang, tawaran Gael sungguh menggiurkan. Ia yakin, kalau Gael akan menjaga anak mereka dengan baik. Tidak akan lalai, dan ia bisa bekerja dengan tenang. Bukankah itu sama saja seperti memberikan hak pengasuhan pada Gael? Bagaimana kalau kelak, laki-laki itu ingin berebut hak asuh dengannya? Di sisa perjalanan, pikiran dan hati Freya bergejolak.

Gael menurunkan Freya dan Alexi di depan gerbang.

"Da-da, Alexi. Nanti pulang papa jemput."

Alexi melambai, wajah mungilnya bersinar bahagia. "Da-da, Papa!"

Freya menggandeng anaknya, memasuki halaman sekolah. Gael memarkir kendaraan di tempat yang aman, menunggu hingga Freya muncul. Ada banyak kendaraan yang datang dan menurunkan para penumpang kecil. Beberapa anak ikut dalam mobil jemputan yang sama. Paud bercampur dengan sekolah taman kanak-kanak, yang membedakan adalah seragam yang mereka pakai.

Gael mengakui kalau seleras Freya dalam memilih sekolah untuk Alexi memang bagus. Biarpun rumah mengontrak dan hidup pas-pasan dari hasil menyanyi, tapi mau mengeluarkan uang banyak untuk pendidikan. Gael tersenyum, menyadari memang seperti itulah sifat Freya.

Gael mengingat saat bersekolah dulu, Freya adalah gadis pintar dan cerdas. Mengutamakan pendidikan dan ilmu pengetahuan dari pada bergaul dengan orang-orang yang tidak jelas. Tidak heran kalau sikapnya yang perfectionis dalam pendidikan, terbawa hingga punya anak.

Gael sedang menghabiskan satu batang rokok, saat Freya membuka pintu dan duduk di sebelahnya.

"Jam berapa pulangnya nanti?" tanya Gael.

"Sekitar jam 10 lewat."

"Cepat sekali?"

"Hanya Paud, untuk main-main dan bergaul."

"Benar juga."

Gael melihat jam di ponsel. "Baru jam setengah delapan. Berarti ada waktu beberapa jam."

"Kita ke mana?" tanya Freya saat Gael membawa kendaraan ke arah yang tidak pernah ia lewati.

"Ada taman di depan."

"Mau ngapain di taman?"

"Bicara."

Gael menghentikan kendaraan di taman yang teduh. Ada tempat untuk memarkir mobil. Membiarkan mesin tetap menyala, Gael memarkir kendaraan. Mencopot sabuk pengaman, dan memiringkan tubuh, menghadap Freya.

Freya melihat mata Gael yang menyorot tajam. Ia tahu, laki-laki itu menginginkan penjelasan.

"Freya, kenapa kamu nggak bilang kalau hamil? Kamu pergi meninggalkanku dalam keadaan hamil? Kenapa, Freya? Ada apa?"

Freya mencopot sabuk pengaman, menghindari tatapan Gael. Ia mendongak saat jemari Gael mencengkeram rahangnya.

"Freya, jawab! Jangan lagi membohongiku!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro