Bab 13a
"Kamu pasti kaget, karena laki-laki tampan yang biasa datang ke bar kita, ternyata pacar dari Nona Kaya. Hahaha. Lihat bukan? Meskipun dia datang untuk menemuimu, tetap saja kamu hanya simpanan. Lihat, saat bersama kekasihnya, dia sama sekali tidak melirikmu!"
Freya tidak bereaksi, memantut diri di depan kaca dan memastikan penampilannya tidak ada yang salah. Saat ini, di panggung sedang bernyanyi biduan ibu kota yang terkenal. Kesempatan bagi Freya dan Elox untuk berganti pakaian dan istirahat.
"Kenapa diam? Malu?"
Freya menghela napas panjang, merasa kupingnya makin lama makin pekak mendengar celoteh Elox soal Gael. Harus diakui ia sendiri merasa kaget saat mendapati Gael datang ke pesta, dan disambut akrab oleh tuan rumah. Cara laki-laki itu memeluk si nona kaya, ia tahu kalau hubungan mereka sangat dekat. Ia menyadari kalau merasa sakit hati dan sedikit cemburu tapi berusaha keras untuk mengenyahkan perasaan itu. Ia sedang bekerja, tidak ingin kehilangan fokus.
Memutar tubuh, Freya mengamati Elox dari atas ke bawah. "Dari pada kamu mengoceh tentang hal yang bukan urusanmu, kenapa kamu nggak perbaiki riasanmu. Maskaramu luntur!"
"Kamu bohong!" desis Elox.
"Lihat aja sendiri. Buat apa aku bohong."
Elox melangkah ke arah cermin, Freya meninggalkan ruang ganti dengan langkah cepat dan mendengar teriakan Elox.
"Tukang bohong!"
Freya mendesah, mengakui kebenaran dari perkataan Elox. Ia memang tukang bohong. Berbohong pada Gael, tidak berterus terang pada Riki, dan menyembunyikan masa lalunya dengan rapat pada orang-orang. Membuat alasan yang mengada-ada setiap kali ada pertanyaan tentang suami.
Ia memang tukang bohong, dan semua dilakukan untuk melindungi anaknya. Ia akan terrus berbohong, tidak peduli hal lain, asalkan Alexi selamat.
Tiba di panggung, biduanita terkenal masih menyanyi. Ia duduk di kursi yang terletak di dekat dinding, bertepuk tangan dan menggoyangkan kepala, mengikuti irama musik. Matanya mencari-cari ke seantero ruangan dan menemukan Gael sedang bicara dengan anak tuan rumah pesta. Ia memalingkan wajah, kembali menatap panggung.
"Gael, semua orang dansa. Kenapa kita nggak dansa juga," ucap Luci.
Gael menggeleng. "Aku nggak bisa dansa. Cobas ama Pendi!" Ia menunjuk sahabatnya yang sedang bergoyang mengikuti irama lagu.
Luci merengut. "Gael, aku mengajakmu. Bukan Pendi."
"Masalahnya Luci, aku nggak bisa nari."
"Padahal, aku pingin sesekali dansa sama kamu." Luci merajuk.
Gael merasa kesabarannya hampir habis menghadapi tuntutan Luci. Ia jengkel karena perempuan itu terus menerus merongrongnya. Ia berusaha bersikap baik semata-mata demi menghormati orang tua Luci. Satu hal yang membuatnya tetap bertahan di pesta adalah Freya.
Ia kaget sampai nyaris kena serangan jantung saat melihat Freya di pesta ini. Kekagetannya berubah menjadi rasa gembira. Pendi yang mengenali Freya, bersikap solah-olah tidak ada yang terjadi. Gael menghargai sikap Pendi yang ingin melindunginya.
"Suara penyanyi itu bagus, pantas jadi artis nomor satu," ucap Pendi, memecah keheningan.
Luci mengangguk, mengalihkan tatapan dari Gael ke Pendi. "Memang dan mamaku adalah fans dia."
"Wow, penyanyi yang beruntung."
"Hei, mamaku yang senang ngundang dia."
Pendi menggeleng. "Dia beruntung punya fans macam Mama kamu yang fanatik."
Biduanita terkenal itu mengakhiri lagunya. Luci melihat mamanya menghampiri biduan itu, saling menyapa dan berfoto bersama. Tak lama, teman-teman mamanya pun melakukna hal yang sama dan membuat biduan itu dikerubuti banyak orang. Panggung diganti penyanyi semua.
Luci tersenyum dan rasa bangga terpancar dari wajahnya saat melihat mamanya tertawa bersama biduanita. Ia sedikit menyesali diri karena justru Pendi yang bersikap manis dan memujinya, bukan Gael. Laki-laki yang diharapkan bisa membuatnya bahagia, malah sibuk memperhatikan seorang penyanyi yang tidak terkenal di panggung. Entah apa menariknya penyanyi itu.
"Enak lagunya, atau cantik orangnya, Gael? Kamu lihat ke panggung nggak kedip!" tegur Luci "Kamu terpesona sama orangnya atau lagunya?"
Pendi menyodok tulang rusuk Gael dan membuat laki-laki itu tergagap. "Eh, apa?"
"Luci tanya sama kamu, lagunya yang enak atau penyanyinya yang cantik." Pendi menatap tajam, memberi peringatan pada sahabatnya.
Gael tersenyum. "Oh, lagunya. Aku teringat masa lalu saat dengar lagunya."
"Nah, kan? Nggak ada hubungannya sama sang penyanyi." Pendi berusaha menjelaskan.
Luci tidak lagi bertanya, mengawasi Gael yang sekali lagi tenggelam dalam nyanyian yang dibawakan oleh perempuan bergaun biru. Saat perempuan itu selesai dengan lagunya, dan diganti oleh penyanyi lain, Gael pamit ke toilet.
"Pendi, kamu yakin kalau Gael baik-baik saja?" tanya Luci.
Pendi mengangguk. "Yup, tenang saja. Mau dansa sama aku? Lagunya enak."
"Tapi—"
"Please, Nona."
Luci menghela napas tak berdaya. Mengikuti langkah Pendi menuju arena dansa di depan panggung. Ia tidak menolak saat Pendi meraih pinggangnya dan mereka bergerak mengikuti irama lagu. Dari ujung matanya, ia melihat penyanyi bergaun biru sedang minum. Entah kenapa rasa kesal menguasainya.
"Santai, Luci. Jangan tegang," bisik Pendi di telinganya.
Luci mengalihkan pandangan dari penyanyi itu kepada Pendi. Ia tersenyum, dan mulai menari.
"Kamu pintar dansa," pujinya.
Pendi tersenyum. "Untuk perempuan cantik, apa pun aku bisa."
Gael yang baru keluar dari toilet, melangkah ke arah panggung. Freya sedang bernyanyi dangdut dengan orang-orang sedang menyawernya. Ia menatap ke arah meja tempat semula duduk dan menyadari kalau Luci sudah menghilang, begitu pula Pendi. Tidak lagi ada gangguan, ia terus merapat ke arah panggung. Mengeluarkan dompet dan ikut berjoget bersama orang-orang lainnya dengan tangan mengacungkan uang.
Freya mengabaikannya, Gael tidak peduli. Memberikan uang pada perempuan itu lalu mudur dan bersandar pada dinding, mengamati keramian di depannya. Satu lagu selesai dinyanyikan dan kini Freya bernyanyi duet dengan temannya sebagai lagu penutup.
Pesta berakhir, itu yang dilihat Gael saat satu per satu tamu berpamitan pulang. Freya mengakhiri pertunjukan dan membungkuk ke arah penonton, mengucapkan terima kasih. Perempuan itu masuk ke ruang ganti yang tidak jauh dari panggung. Ia tersenyum, melihat sosok Bari di kerumunan.
"Gael! Ayo, pulang!" Pendi muncul entah dari mana.
Gael menggeleng. "Kamu duluan."
Pendi mengikuti arah pandang sahabatnya. "Jangan bilang kamu nunggu Freya."
"Memang. Dia sedang ganti baju. Aku yakin akan keluar sebentar lagi. Kamu pulang dulu. Naik taxi nggak masalah?"
"Gael, tolong. Ada orang tua Luci."
"Nggak ada urusan sama mereka."
"Kamu jelas tahu, Luci anak mereka itu suka sama kamu. Lalu, di pesta kamu malah mpulang bersama penyanyi. Bayangkan apa yang mereka pikirkan!"
Gael menghela napas panjang, menyadari kebenaran ucapan sahabatnya. Ia menegakkan tubuh dan mengajak Pendi berpamitan pada orang tua Luci. Selesai melakukan itu, ia melangkah cepat keluar dari ballroom dan berhenti di lobi."
"Kamu pulang dulu!" ucapnya pada Pendi.
"Gael!"
"Di sini nggak akan ada yang tahu."
"Tetap saja."
"Pendi, pulang duluan. Oke?"
Pendi tidak berdaya, melangkah lunglai ke arah taxi. Gael menunggu dengan pandangan terarah ke lift. Tidak sampai setengah jam, perempuan yang ditunggu muncul.
Freya kaget melihatnya tapi berusaha untuk tetap tetang. Saat Gael menyambar lengannya, ia menjerit kecil.
"Apa-apaan kamu?"
"Aku antar kamu pulang."
"Aku bisa sendiri!"
"Aku tahu jalan. Malam-malam begini kamu paling naik taxi."
Freya yang tidak ingin menarik perhatian, membiarkan lengannya digenggam. Mereka keluar dari lobi menuju kendaraan Gael, tidak menyadari dua pasang mata menatap marah. Elox dan Luci, memandang Gael yang menyeret Freya dengan perasaan yang berbeda tapi mengandung rasa marah yang sama.
**
Part lengkap di Karya Karsa dan Playbook
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro