Bab 12a
Freya menatap Gael yang sedang bermain basket dari kejauhan. Pemuda itu berkeringat dan terlihat bersemangat. Padahal mereka sudah kelas VII, harusnya konsentrasi pada ujian, bukannya malah olah raga. Namun, Freya merasa bukan haknya untuk menegur. Barangkali, memang Gael jenis murid yang santai dalam menghadapi ujian. Berbeda dengannya.
Semenjak peristiwa mereka terlambat masuk dan tertangkap, kini seluruh sekolah menganggap keduanya pacaran. Ia sudah berusaha membantah tapi tidak dengan Gael. Saat ia menanyakan hal itu, Gael hanya mengangkat bahu.
"Biarin aja. Anggap lo lagi bantu gue."
"Bantu apa?"
"Dari kejaran cewek-cewek. Sekarang, mereka tahunya lo pacar gue."
Freya sama sekali tidak menyukai gagasan itu dan menganggap Gael memanfaatkannya.
"Gimana kalau gue nggak mau?"
"Lo nggak mau bantu gue gitu?"
Freya mengangguk. "Nggak ada untungnya buat gue."
Gael tersenyum kecil, mendekati gadis cantik yang bersikap menantang di depannya. Entah kenapa, sikap Freya yang galak ini sangat membuatnya tertarik. Ia terus mendekat, Freya mundur hingga membentur pagar. Suasana taman belakang tempat mereka bicara sangat sepi. Tidak ada orang lain di sana. Freya sengaja memanggil Gael untuk bicara berdua, tanpa sepengetahuan mereka, ada banyak pasang mata yang memperhatikan dari tempat-tempat tersembunyi.
Wajah mereka berdekatan, hanya tersisa jarak beberapa sentimeter. Jantung Freya bertalu-talu, seperti dipompa. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas, tahu lalat kecil di bawah bibir Gael dan juga tetesan keringat di dahi pemuda itu.
"Freya, lo cantik. Sangat cantik. Sampai bikin cowok cowok ngiler kalau lihat lo."
Freya mengernyit, membuang muka. Namun, Gael menahan wajahnya dengan memegang dagu.
"Apa-apaan lo?"
"Nggak ada," ucap Gael sambil tersenyum. "Gue mikir, apa bibir lo yang indah ini udah pernah dikecup?"
"Kurang ajar!" desis Freya.
Gael tidak memedulikannya. Mereka berdiri berdekatan dan saling pandang. Masing-masing menolak untuk mengaku kalah. Napas hangat keduanya bersatu di udara dan makin menambah ketegangan. Baik Freya maupun Gael punya keinginan gila, bagaimana kalau mereka berciuman? Bunyi bel membuat keduanya tersadar. Freya berkelit dan lari meninggalkan Gael.
Embusan napas panjang disertai desah penuh kelegaan, terdengar dari tempat-tempat di mana banyak mata sedang mengawasi Gael dan Freya.
"Gilaa! Tadi gue mikir mereka mau ciuman."
"Iya, gue juga mikir gitu."
"Anjrot! Jantung gue mau copot."
"Padahal mereka yang tatap-tatapan."
"Rasanya pingin jedotin pala mereka."
Berbagai gumaman terdengar, dari para murid yang mengintip Gael dan Freya. Tanpa disadari keduanya, rumor kalau mereka pacaran, berkembang lebih pesat.
Dari umur lima tahun, Freya yang sudah kehilangan kedua orang tuanya, diasuh oleh pasangan suami istri, yang dulu adalah sahabat papanya. Mereka tidak punya keluarga, dan menganggap Freya sebagai anak. Tentu saja, Freya berterima kasih karena sudah diasuh. Sebagai tanda bakti, ia selalu mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik. Sekolah dan belajar dengan giat. Sepulang sekolah, ia akan membantu ibu angkatnya berjualan bakso.
Seperti hari ini, selesai merapikan rumah ia bergegas ke warung dan mendapati sang ibu sedang bicara dengan seorang laki-laki tampan setengah baya. Saat melihatnya datang, sang ibu melambai, menyuruhnya mendekat.
"Freyaa, kamu kenalan sama, Om."
Freya menatap laki-laki itu dan mengangguk. "Apa kabar, Om?"
Laki-laki itu tersenyum ramah. "Ya ampun, Freya. Kamu sudah besar, Nak."
"Iya, Om."
"Dulu, almarhum papamu adalah sahabat baikku. Kamu sekolah di mana?"
Freya menyebutkan nama sekolah dan kekasnya. Tanpa disangka, laki-laki setengah baya itu tertawa keras.
"Ternyata, jodoh memang nggak ada yang tahu. Anakku bersekolah yang sama denganmu. Apa kamu kenal Gael?"
Itu adalah pertama kalinya, Freya bertemu dengan papanya Gael. Laki-laki baik dan ramah. Sangat berbeda dengan Gael yang sombong. Beberap hari kemudian, laki-laki itu datang kembali ke warung, kali ini membawa istrinya yang cantik dan tak kalah ramah.
"Anak cantik, akhirnya bisa menemukanmu."
Freya membiarkan dirinya dipeluk, dicium, oleh wanita itu. Ia mengirup aroma wewangian yang menguar dari tubuh wanita itu dan menyadari, kalau itu adalah aroma seorang mama. Sikap mereka yang baik, dan ramah, membuat Freya menyukai orang tua Gael.
**
Evi menatap anaknya yang duduk di sofa sambil memejam. Beberapa minggu tidak bertemu, ia merasa kalau makin hari Gael makin berubah. Ada sesuatu yang tidak ia mengerti sedang terjadi. Apakah itu tentang perusahaan atau hal lain, Evi tidak tahu.
Duduk di samping Gael, ia mengusap kening sang anak. "Capek?"
Gael membuka mata. "Sedikit, Ma."
"Apa karena pembukaan bengkel baru?"
Gael mengangguk. "Iya, Ma. Juga hal lain. Banyak pemesanan sedangkan pasokan bahan baku kurang. Aku sedang memikirkan cara untuk mendapatkannya."
"Bagaimana dengan tawaran bantuan dari keluarga Luci?"
"Nggak, Ma. Aku nggak mau tergantung sama orang lain dan akhirnya harus membalas budi."
Evi menghela napas panjang, menepuk-nepuk lengan sang anak. Beberapa tahun ini, Gael sangat berubah. Menjadi lebih tertutup dan pendiam. Ia tahu apa penyebabnya dan tidak bisa berbuat banyak untuk membantu anaknya. Masalah dalam kehidupan, harus Gael sendiri yang berusaha mengatasi.
"Besok kamu yang harus datang ke acara orang tua Luci. Mama sudah siapkan kado, tinggal kamu berikan saja."
Gael mengangguk. "Iya, Ma."
Menuruti keingan untuk bermanja, Gael merebahkan diri di pangkuan sang mama. Menikmati kehangat dari tubuh wanita yang sudah melahirkannya. Mamanya punya kehangatan yang sama dengan Freya, hanya saja berbeda jenisnya. Ia menikmati saat tangan lembut mamanya, mengusap rambut dan dahinya.
"Kamu tahu bukan, Luci menyukaimu?"
Gael membuka mata dan menghela napas panjang. "Ma, aku nggak berminat menjalin hubungan dengan siapa pun sekarang."
"Kenapa? Apa waktu selama ini nggak bisa membuatmu lupa?"
Gael menatap langit-langit ruang keluarga. Mempertimbangkan sesaat, sebelum bicara lirih.
"Seandainya, Freya berhasil aku temukan. Apa Mama mau menerimanya kembali?"
Gerakan tangan Evi yang sedang mengusap dahi Gael, terhenti. Ia menunduk, dan pandangannya bertemu dengan sang anak.
"Apa kamu menemukannya?"
"Seandainya, Ma."
"Sudah enam tahun, Gael."
"Kita manah pernah tahu apa yang akan terjadi kelak. Kalau Tuhan berkehendak, Ma?"
"Kamu sendiri bagaimana? Pasti ingin kembali dengannya."
Gael mengangguk. "Iya, Ma. Ingin sekali seperti dulu. Seandainya bisa."
Suara anaknya yang mengiba membuat hati Evi terketuk. Ia pernah berpikir, seiring berjalannya waktu maka Gael akan bisa melupakan mantan istrinya dan mencari kebahagiaan bersama perempuan lain. Itulah kenapa ia berusaha menjodohkan Gael dengan banyak perempuan. Terutama dari keluarga teman-temannya seperti Luci. Ternyata, dugaannya salah karena Gael belum membuka hati. Di dalam pikiran anaknya hanya ada satu nama, meski sudah bertahun-tahun berlalu.
"Seandainya kalian bertemu lagi, Freya berubah. Sudah bersama laki-laki lain. Kamu bagaimana?"
Ingatan Gael tertuju pada Freya yang dijemput laki-laki tak dikenalnya. Ia mendekus keras. "Selama mereka belum menikah, aku akan merebutnya kembali. Dengan berbagai cara."
"Kalau sudah menikah?"
Gael memejam, merasakan hatinya sakit. Yang ditanyakan mamanya memang belum terjadi, tapi ia sudah merasa tidak rela.
"Nggak tahu, Ma. Paling-paling aku hanya ingin tahu satu hal dari Freya, alasan kenapa dia pergi. Karena sampai sekarang, aku masih tidak mengerti."
"Kalau kamu tahu, dan ternyata jawabannya membuatmu sakit hati. Bagaimana?"
Kali ini Gael terdiam. Kalau ternyata seperti perkiaraan mamanya, ia akan terima. Paling nggak, dia tahu kebenarannya.
"Kalian bicara apa?"
Qamar muncul, duduk di seberang anak dan istrinya. Sebelah alisnya naik melihat kemanjaan sang anak. Tidak biasanya Gael bersikap seperti itu. Pasti terjadi sesuatu.
"Soal pesta di rumah Luci," jawab Evi.
"Oh, iya. Gael akan mewakili kita. Ngomong-ngomong, kamu ketemu Om Diki?"
Gael bangkit dari pangkuan sang mama dan duduk tegak. "Iya, Pak."
"Bicara soal apa saja?"
"Nggak banyak. Soal perusahaan dan bengkel baru."
"Begitu. Aku pikir Diki sedang sibuk proyek patungan dengan temannya. Ternyata masih memikirkan soal kamu."
"Proyek patungan?"
Qamar mengangguk. "Benar. Bidang otomotif juga."
"Oh, baru tahu. Ternyata Om Diki punya banyak uang."
Qamar terkekeh. "Tentu saja. Dia pekerja keras dan sudah pasti punya banyak tabungan yang kita nggak tahu."
Gael mengangguk setuju. Ia kenal Diki dan memang diakui kalau laki-laki itu pekerja keras. "Pa, bisakah Gael tanya satu hal?"
"Ada apa?"
"Soal perusahaan kita. Kata Om Diki, dulu kalian patungan bertiga. Apa benar sudah meninggal orangnya?"
Ketenangan terasa mencekam di ruang keluarga. Qamar bertukar pandang dengan istrinya dalam tatapan kebingungan. Gael menatap orang tuanya bergantian, menunggu dengan cemas jawaban papanya. Ia pernah bertanya dulu sekali soal ini tapi tidak ada jawaban pasti.
Setelah hening sesaat, Qamar mengangguk. "Iya, sudah meninggal."
"Kapan?"
"Beberapa tahun setelah perusahaan berdiri."
"Kenapa?"
"Papa juga kurang tahu. Ada indikasi bunuh diri."
Gael menghela napas, merasa sedih untuk orang yang tidak ia kenal. Harusnya, orang itu adalah pemegang saham terbesar di perusahaan mereka. Mestinya sekarang sudah menjadi orang kaya raya yang bahkan melebihi orang tuanya dan juga Diki. Sayang sekali, orang itu tidak menyayangi hidupnya.
**
Tersedia di Karya Karsa dan goggle Playbook.
Pembelian pdf bias via wa: 085811788865
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro