Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11a

Pulang sekolah hari ini, Alexi dijemput oleh Riki. Sebelum dibawa pulang, laki-laki itu mengajak Alexi makan ayam goreng. Saat kembali ke rumah, Freya tersenyum melihat anaknya datang sambil berteriak gembira.

"Mamaa, Alexi maem ayam. Enaaak! Pakai kentang, pakai burger, ada es krim."

"Kenyang?"

Alexi mengusap perut dengan mimik puas. "Kenyaaang banget."

"Ini, buat kamu." Riki mengulurkan bungkusan berisi ayam dan lemon tea.

Freya menerimanya dengan senyum. "Repot-repot aja. Makasih sudah ngajak anakku jalan."

"Santai Freya, Alexi juga suka kok."

Alexi mengangguk, wajahnya yang bulat dan tampan, menyiratkan kegembiraan. Anak itu tidak menolak saat sang mama menyuruhnya masuk untuk ganti baju dan cuci tangan. Riki duduk di teras, mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Freya membuatkan kopi untuk laki-laki itu dan duduk di sebelahnya.

"Bagaimana kerjaanmu, lancar?"

Riki menggeleng, menyugar rambut. "Ada sedikit masalah."

"Ada masalah apa?"

"Konsumen banyak yang menungguk pembayaran, barangkali karena ekonomi kurang bagus."

Freya menatap prihatin. Riki bekerja di pabrik makanan keci. Menjual ke berbagai kota. Awalnya, penjualan bagus dan Riki berhasil mengumpulkan banyak uang, termasuk membeli rumah dan mobil dari bonus. Namun, akhir-akhir ini sepertinya kurang bagus keadaannya. Freya tidak tahu. Ia mendengarkan dengan sabar, keluh kesah laki-laki itu.

"Sekarang bossku sedang cari pemodal untuk membantu perusahaan. Kalau nggak, habislah kami." Riki menyugar rambut, terlihat tertekan.

Freya menyorongkan kopi. "Minum kopinya, semoga kalian mendapatkan pemodal. Target pasar kalian sudah luas, punya konsumen. Pasti banyak yang ingin menjadi bagian dari kalian."

"Semoga saja, Freya. Padahal, aku sudah membuat banyak rencana di tahun ini. Termasuk menyewa rumah yang lebih layak untuk kamu tinggali bersama Alexi."

Freya mengernyit. "Kenapa kami?"

Riki tersenyum, menatap Freya lekat-lekat. Dari pertama kali bertemu, ia jatuh cinta dengan wanita ini. Pemilik wajah tenang, yang nyaris tanpa emosi. Saat tersenyum seperti mengalihkan dunia, dan kasih sayang pada sang anak melebihi apa pun.

Freya baru saja pindah dari kota kecil, saat pertama kali bertemu Riki. Ia dulu datang ke bar tempat wanita itu bernyanyi. Menjalin kedekatan sebagai teman, karean Freya selalu menolak perhatian dan cintanya. Namun, ia tidak pernah putus asa. Bagaimana pun, sebuah hubungan harus dibangun atas kesepakatan dalam cinta dan hati. Ia menghargai perasaan Freya dan akan melakukan yang terbaik untuk mendapatkan hatinya.

"Freya, apa kamu benar nggak tahu, atau hanya pura-pura nggak tahu? Perasaanku?"

Freya tidak menjawab, melipat tangan dan menatap halaman yang panas.

"Kenapa diam, Freya?"

"Riki, kita sedang bahas pekerjaan dan usahamu. Kenapa jadi soal aku?"

Riki mendesah keras. "Karena memang terkait. Aku ingin ada kamu dan Alexi di masa depanku. Freya, apa kamu nggak bisa kasih aku kesempatan untuk membuktikan?"

Freya terdiam, menolak untuk memberi jawaban. Ia mengerti dengan kesempatan yang diminta oleh Riki. Laki-laki itu ingin dirinya membuka hati. Masalahnya, hatinya yang pernah terluka, sudah tertutup bagi siapa pun itu. Selama enam tahun ini, ia mematikan sendiri perasaannya dan merasa kalau hidup hanya untuk anaknya seorang.

Selepasa pergi dari kehidupan Gael, ia menjalani hidup dengan susah. Pergi ke kota lain untuk menemui kerabat jauh. Mereka menerima meski dengan berat hati. Ia bekerja apa saja untuk menyambung hidup, menjadi buruh cuci, pembantu di rumah orang lain. Sayangnya, semua tidak bertahan lama karena kecantikannya membuat banyak orang merasa tersaingi. Tidak ada yang mau menjadikannya pegawai karena takut para suami akan meliriknya.

Hingga suatu hari, ada pemusik kampung yang mencari penyanyi. Freya yang putus asa akhirnya mencoba untuk mengambil kesempatan itu. Ia menyanyi dari kampung ke kampung, sampai akhirnya bisa menghasilkan uang yang lumayan.

Kesempatan yang lebih besar datang, tatkala pempinan pemusik di kampung mengatakan kalau ada sebuah kafe di kota membutuhkan penyanyi. Tanpa pikir panjang, demi untuk masa depan anaknya, ia menerima tawaran itu. Kini, ia menyanyi di dua tempat dan cukup untuk menghidupi Alexi. Cinta tidak masuk dalam priorotasnya. Tidak pula Riki, apalagi Gael.

Memikirkan Gael, tanpa sadar Freya menghela napas panjang. Laki-laki itu sama seperti Riki, terus mengejarnya dan sedikit banyak menggangu.

"Freya?"

Tersadar dari lamunan, Freya tersenyum. "Riki, fokus dulu sama usahamu. Jangan berpikir soal lain yang makin menambah bebanmu."

Riki menunduk, dengan kepala di antara lutut. Menyugar rambut berkali kali, dan kerutan di keningnya terlihat dalam.

"Apa aku sama sekali nggak ada dalam hatimu, Freya?"

"Ada, kamu teman dan sahabat terbaik."

"Hanya itu?"

"Maaf."

Riki tidak lagi mendesak, meneguk kopinya dalam diam. Ia tahu, yang dikatakan Freya ada benarnya. Sementara fokus pada usahanya, bukan hal lain.

"Mama, Alexi mau main."

Alexi sudah berganti pakaian, menatap sang mama dengan bola matanya yang besar dan berujar penuh harap.

"Main ke mana?" tanya Freya.

Alexi menunjuk seberang jalan. "Ke taman. Sama temen-temen."

"Baiklah, hati-hati."

"Daah, Om."

Riki melambaikan tangan. "Daah, Sayang."

Alexi mengangguk, berlari melewati jalanan bersama dua teman sebayanya yang menunggu di halaman. Freya menatap anaknya penuh sayang, senang karena Alexi punya teman. Lagipula, mereka main ke tempat yang tidak terlalu jauh dan itu tidak membuatnya kuatir.

**

"Bagaimana? Sudah nyaris selesai bukan?" Pendi berdiri bersisihan bersama Gael.

"Ya, kita bisa pindah secepatnya."

"Kenapa buru-buru?"

"Lebih cepat lebih baik."

Pendi menatap temannya yang sedang serius mengamati para pekerj. Mereka sedang merapikan ruko, memberikan sentuhan terakhir pada dinding. Antuisme sahabatnya untuk segera menempati ruko baru mereka, membuatnya gembira.

"Kenapa kamu begitu tertarik sama tempat ini?" tanya Pendi.

Gael mengangkat bahu. "Bukankah hal baik kalau dilakukan lebih cepat, juga akan baik hasilnya?"

"Memang, sih. Padahal, biasanya tempat baru kamu akan menyerahkan pengerjaannya ke aku atau orang lain. Di ruko ini, nyaris 70 persen kamu terlibat."

"Aku punya feeling, kalau tempat ini akan maju."

"Hanya itu?" tanya Pendi sambil menaikkan sebelah alis.

Gael mengangguk. "Hanya itu."

Tidak mungkin mengatakan pada Pendi kalau ia punya niat lain. Tidak sekarang untuk bicara jujur pada sahabatnya soal Freya yang tinggal di area belakang ruko. Ia ingin menempati ruko ini dan punya alasan untuk sering-sering bertemu Freya. Kontrakan wanita itu memang belum diketahui yang mana persisnya, tapi itu bukan hal besar. Ia pasti menemukannya.

"Aku masuk dulu." Pendi berpamitan, meninggalkan Gael berdiri sendiri di halaman.

"Alexii!"

Terdengar suara-suara riuh anak kecil. Gael terusik. Ia menoleh dan mendapati tiga anak kecil berlarian di halaman ruko. Salah seorang anak berlari kencang dan nyaris terjatuh kalau bukan karena ia reflek mengangkat.

"Ups, jagoan. Hati-hati."

Anak kecil itu mengangkat wajah dan tersenyum. "Terima kasih, Om."

Mata Gael mengedip dan tersenyum lebih lebar. "Hai, kamu anak kecil yang waktu itu ketemu di mall. Siapa namamu?"

"Alexi, Om."

"Iya, Alexi. Rumah kamu di sini?"

Alexi menunjuk belakang ruko. "Di sana."

"Wah, kebetulan. Om kerja di sini." Gael menunjuk ruko. "Kita bakalan sering-sering ketemu."

Teman-teman Alexi mendekat. Gael merogoh kantong celana dan mengeluarkan tiga permen untuk dibagikan pada anak-anak itu.

"Mau permen apa es krim? Om beliin mau?" Gael menunduk, bertanya pada Alexi.

Anak kecil itu menggeleng. "Mama bilang, nggak boleh sembarangan terima makanan dari orang asing."

"Ah, begitu. Benar juga."

Gael sedang asyik menggoda anak-anak itu saat Pendi mendekat. "Siapa mereka?"

"Anak-anak dari kontrakan belakang."

Pendi melambaikan tangan. "Hallo, teman-teman kecil."

"Hallo, Om!"

Saat melihat Alexi, Pendi memiringkan kepala. Mengusap rambut anak itu dan berdecak heran. "Gila, mirip banget." Ia bergantian menatap Gael dan Alexi. "Bagai pinang dibelah dua."

"Apa?" tanya Gael.

"Kamu, sama anak ini." Pendi menunjuk Alex. "Kayak bapak sama anak. Yakin, kamu nggak punya anak di luar nikah?"

Gael menyipit. "Ngaco!"

"Emang bener, kok!"

Gael terdiam, mengamati Alexi yang kini berlari ke arah bagian samping ruko. Sepertinya kembali ke rumah. Bukan hanya Pendi yang mengatakan kalau ia mirip dengan Alexi. Saat di mall, Livia pun mengatakan hal yang sama. Ia jadi ingin tahu, siapa orang tua Alexi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro