Pertemuan
Hari itu langit menumpahkan isi dari awan gelap agar bertemu bumi. Di dalam pekatnya malam, sebuah mobil tampak melintas perlahan, membelah badai yang menghadang.
"Halo! Aku sebentar lagi sampai." Seorang wanita yang sedang fokus menyetir, mencoba menjawab panggilan sang suami yang sedari tadi menghubungi.
"Ki, kenapa nekat pergi? Hujannya sangat lebat." Suara pria terdengar begitu cemas dari seberang panggilan.
"Nggak apa-apa, asal bisa sampai ke sana. Aku malah cemas sama kamu," ujar wanita itu yang masih mengemudikan mobil meski dengan kecepatan rendah.
"Ya Tuhan, Ki. Aku tidak apa-apa, tapi kamu sedang hamil!" Pria bernama Elvano itu panik karena istrinya tengah hamil besar.
"El, bentar!" Kiran—istri Elvano, mengakhiri panggilan itu.
El yang berada di sebuah restoran tampak kebingungan. Pasalnya, ia sudah meminta Kiran untuk menunggu hujan reda, kalau tidak, dirinya akan memilih naik taksi. Namun, Kiran yang tahu betul bagaimana kondisi sang suami yang memiliki trauma menyetir dan hujan, memilih datang sendiri, meski badai belum reda.
Kiran yang sedang hamil tujuh bulan, tampak memperlambat laju mobilnya, lantas menepikannya ke bahu jalan. Sudut matanya melihat seorang wanita yang tengah berdiri di bawah guyuran hujan, melambai, mencoba menghentikan mobil yang lewat.
Wanita berkebangsaan Polandia itu langsung menghampiri mobil Kiran, mengetuk kaca jendela dengan air muka panik.
"Help me!"
"Yes, Mom. What can I do for you?" Kiran membuka jendela karena merasa kasihan.
"My son was sick, I must bring him to the hospital, now." Wanita itu sudah basah kuyup karena guyuran hujan.
"Ok, let me take you and your son."
"Thank you!"
Wanita berkebangsaan Polandia itu langsung berlari kembali ke mobil yang mogok, di mana putranya masih berada di sana.
Kiran mengambil payung dan keluar untuk membantu. Ia memayungi wanita yang kini terlihat sedang menggendong anak berumur sekitar 4 tahun itu, untuk masuk ke mobil. Kemudian, ia kembali masuk dan duduk ke belakang kemudi.
Kiran melihat wajah putra wanita itu yang tampak begitu merah, kemudian menyentuhkan punggung tangannya ke kening balita itu.
"Dia demam, seharusnya tidak boleh memakai baju tebal, Nyonya." Kiran bicara menggunakan bahasa Inggris. Dia langsung bertindak saat melihat anak laki-laki itu memakai pakaian tebal dan juga berlapis jaket.
"Benarkah? Saya tidak tahu apa yang telah saya lakukan." Wanita itu benar-benar tampak panik dan hanya menatap Kiran yang sedang melepas pakaian putranya.
Kiran melepas pakaian balita itu, menyisakan kaos tipis dengan celana pendek.
"Saya akan segera mengantar Anda." Kiran segera memacu mobil, mengantar wanita tadi ke rumah sakit sebelum pergi menjemput sang suami.
**
Wanita berkewarganegaraan Polandia itu menengok ke kanan dan kiri, mencari keberadaan wanita yang sudah menolong putranya. Dia baru saja menemani sang putra yang mendapat perawatan begitu sampai di UGD.
"Di mana dia?"
Wanita itu ingin berterima kasih, tapi sayangnya penolong putranya malah sudah menghilang.
"Semoga Tuhan mempertemukan kita di waktu yang tepat, agar aku bisa berterima kasih."
**
Dua puluh empat tahun kemudian.
Sebuah mobil berjenis sedan berwarna merah melaju dan menembus jalanan kota yang sedikit lenggang sore itu, kecepatannya di atas rata-rata aturan jalanan.
"Erika! Tidak bisakah kamu mengemudi sedikit pelan!" teriak seorang pemuda yang sudah tampak panik karena mobil yang ditumpanginya melaju begitu kencang.
"Tenang saja, Van. Ih, kamu tuh cowok, takut bener baru seperti ini," ledek Erika melirik sekilas ke arah pemuda yang duduk di kursi penumpang sampingnya. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas seakan mengejek.
"Bukan begitu, kamu nggak takut tante Kiran marah-marah lagi?" tanya pemuda bernama Ivan menatap Erika. Pemuda itu sampai memegangi seat belt karena takut.
Erika Zanna Gunadhya adalah putri pasangan Elvano Gunadhya dan Zanna Kirania. Gadis itu sudah dewasa dan kini tengah belajar mengurus anak cabang perusahaan ayahnya. Sedangkan pemuda yang bersama Erika adalah Ivan Candra, putra pasangan Aditya dan Sarah, umur Ivan satu tahun lebih muda dari Erika.
"Kenapa harus takut?" Erika yang memang terkenal bandel dan keras kepala, tentu saja tak takut akan peringatan Ivan.
"Kamu ini benar-benar nggak pernah merasa kapok, ya! Terakhir kali kamu nggak ingat sudah nabrak gerobak pedagang kaki lima!" Ivan mencoba menyadarkan kesalahan Erika yang sudah dilakukan berulang kali.
Entah kenapa Erika memiliki kebiasaan buruk, gadis itu sering sekali menabrakkan mobil miliknya, kadang pohon, pembatas jalan, dan yang terakhir kalinya gadis itu menabrak gerobak pedagang kaki lima, dan anehnya Erika tidak pernah kapok akan hal itu.
"Ah, kamu tenang saja. Ada opa yang akan menolongku dari amukan mami," kata Erika santai, masih memacu mobil dengan kecepatan tinggi, kacamata hitam menutup bola matanya yang indah.
"Opamu lagi di Amerika, siapa yang akan bantu kamu lepas dari omelan mamimu kalau sampai nabrak lagi?" tanya Ivan dengan tatapan yang tak teralihkan dari Erika.
Erika baru ingat kalau sang kakek—Albar Gunadhya, tengah pergi ke tempat temannya di Amerika. Benar kata Ivan, jika dirinya sampai menabrak lagi, maka tidak akan ada yang melindunginya. Baru saja akan menurunkan kecepatan, Erika dibuat terkejut dengan teriakan Ivan.
"Erika! Awas!" Ivan menunjuk sebuah motor yang melaju dari sisi kanan Erika.
Erika begitu terkejut ketika mereka sampai di persimpangan jalan dan ada seorang pengendara motor melintas dari arah sisi kanan, membuat Erika langsung membanting stir ke kiri agar tidak menabrak.
Namun, sayangnya jarak mereka sudah terlalu dekat, motor yang dari arah lain sudah membunyikan klakson dan berusaha menarik tuas rem, tapi tetap belum bisa berhenti, membuat pengendara motor itu menyerempet mobil Erika sebelum akhirnya terjatuh.
"Duh, Ka. Aku bilang apa?" Ivan tampak panik. "Pengendara motornya jatuh, parah nggak tuh!" Ivan langsung melepas seat belt.
"Ish, aku sudah membanting stir. Itu salah dia yang tak hati-hati!" Erika malah menyalahkan pengendara motor itu.
Erika keluar dari mobil dan diikuti oleh Ivan. Gadis itu langsung melihat goresan di mobilnya, Erika mengguyar rambutnya ke belakang.
"Sial! Sudah hati-hati masih saja kena serempet. Mami bisa marah dan ngomel tak jelas ini!" gerutu Erika dalam hati.
Erika langsung menoleh, menatap pada pengendara yang sedang berusaha bangun karena tertimpa motor.
"Eh, kalau jalan pakai mata!" bentak Erika begitu pengendara motor itu sudah bisa bangun. Kedua tangan berkacak pinggang dengan mata melotot.
Ivan tampak was-was karena sikap Erika yang begitu galak.
"Ka, sabar." Ivan mencoba meredam amarah Erika.
"Sstt ... diam saja!" bentak Erika tapi dengan nada pelan.
Pengendara motor itu melepas helm, rambut bagian depan yang sedikit panjang menjuntai hingga ke dahi, lantas diguyar kebelakang. Matanya berwarna biru muda terang dan bercahaya dengan bulu mata lentik.
"Naik motor jalannya pakai roda, bukan mata!" balas pemuda itu.
"Ap-apa?" Erika sangat terkejut dengan balasan pemuda itu, bahkan mulutnya sampai menganga tak percaya.
"Eh, kamu tahu nggak! Gara-gara kamu nggak hati-hati, mobilku lecet! Malah ngeles!" Erika tampak geram dengan pemuda yang sebenarnya sangat tampan untuk dipandang, tapi rasa kesal sudah dulu menguasai dirinya.
"Heh, kamu yang jalan nggak hati-hati! Udah tahu jalan persimpangan tapi masih melaju dengan kecepatan tinggi!" Pemuda itu tidak mau kalah dengan Erika, jelas dia yang paling rugi karena motornya rusak akibat terjatuh.
"Mana bisa! Aku udah dijalur yang benar! Pokoknya kamu harus tanggung jawab!" kekeh Erika dengan telunjuk mengarah di wajah pemuda itu.
Pemuda itu langsung menggenggam telunjuk Erika, menarik hingga membuat gadis itu hampir terjerambab ke tubuh pemuda tadi.
"Hei!" teriak Erika yang terkejut. Berusaha melepas telunjuk tapi ditahan pemuda itu.
"Dengar, Nona! Anda salah, tapi Anda malah melimpahkan kesalahan padaku. Apa Anda tidak punya rasa malu? Memiliki mobil ratusan juta tapi meminta ganti rugi pada orang yang hanya punya motor seharga tak sampai dua puluh juta! Apa jangan-jangan mobil ini cuma pinjam? Atau sewa?" Pemuda itu sengaja mengejek Erika hingga membuat gadis itu naik pitam dengan wajah memerah menahan amarah.
"Jaga mulutmu!" Erika menarik paksa telunjuk, menatap tajam pada pemuda yang berdiri tepat di hadapannya.
Pemuda itu menatap dua bola mata Erika yang terlihat berapi-api secara bergantian.
"Ka, sudah ya! Kita pergi saja!" ajak Ivan. Ivan tahu kalau sebenarnya Erika tak pernah mempermasalahkan jika mobilnya lecet, tapi entah kenapa kali ini gadis itu meminta ganti rugi pada pemuda itu.
"Takut ketahuan mobil rentalan!" cibir pemuda itu lagi yang seakan memang sengaja menyulut emosi Erika.
"Kamu!" Erika kembali menunjuk wajah pemuda itu karena geram, tapi kemudian mengepalkan telapak tangan seakan siap memukul, hingga akhirnya berbalik ke mobil.
Erika yang geram karena terus merasa dihina, langsung mengambil dompet dan mengeluarkan puluhan lembar uang berwarna merah.
"Beli motor baru, sana! Jangan menghina orang lagi!" Erika menghentakkan kaki ke aspal setelah memberikan paksa uang kepada pemuda tadi.
"Ivan!" teriak Erika memanggil untuk mengajak pergi.
Ivan malah kebingungan sendiri, menatap pemuda yang hampir ditabrak Erika, lantas masuk ke mobil karena Erika terus menekan klakson.
Erika memacu mobil dan meninggalkan pemuda tadi, begitu geram karena merasa kalau pemuda itu begitu sombong dan angkuh.
"Sombong sekali dia! Awas saja kalau bertemu lagi denganku!" geram Erika dengan tangan mencengkram stir erat.
Pemuda tadi menatap uang yang diberikan paksa oleh Erika, hingga satu sudut bibir tertarik ke atas dengan telapak tangan meremas uang itu.
"Dasar gadis sombong! Berdoa saja agar tidak bertemu denganku lagi!"
Tanpa sengaja, keduanya mengucapkan pengharapan yang sama.
Pemuda itu berjalan ke arah motor yang masih tergeletak di jalanan, menatap dengan berkacak pinggang.
"Ck, Heri pasti akan memakiku!" keluh pemuda itu.
Semarang, 26 Agustus 2022
Salam hangat Aililea
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro