Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

MAS - 20

Terima kasih dan selamat membaca 💕

***

MAMPUS berapa kali gue malam ini? Setelah Sri (nyaris!) tahu perasaan gue, sekarang Abang mergokin gue berduaan sama Sri?

Abang baru membuka mulut tapi gue mengangkat tangan, menempelkan telunjuk di bibir, mencegahnya mengatakan apapun itu. Gue menoleh ke belakang. Sri masih memunggungi gue, masih bergeming menghadap sisi luar balkon. Lantas secepatnya gue menyeret Abang ke kamar dengan berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun.

Gue menutup lalu mengunci pintu sebelum akhirnya menghadapi Abang yang sudah duduk santai di ranjang gue.

"Sejak kapan Abang di situ?"

"Sejak, 'Lo kecewa, kan? Karena lo bakal kecewa kalau tahu itu gue yang beliin lo bubur, bukan Abang.'"

Gue menahan napas. Shit.

"Bang, don't get me wrong, ya. Itu maksudnya—"

"Sini, duduk sini," sela Abang, tersenyum, menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. "Kita selalu duduk kalau ngobrol, kenapa kamu masih berdiri tegang begitu? Duduk sini, Adek. Boys will be boys, but we are brothers, it's not that we're gonna have a fight or anything."

Ya Tuhan. Abang ....

Gue membuang napas. Lega. Gue lega bahkan tersentuh mendengarnya. Bego, apa yang gue cemaskan berlebihan seperti ini? I've got the best brother in the world, everything's gonna be fine.

Maka gue duduk, lalu Abang mendesah berat, "Abang bilang apa, harusnya dari awal kamu kasih sendiri bubur itu ke Sri. Dia jadi salah paham, kan?"

"Sorry about that, Bang." Gue mengusap pelipis. "Tapi dia nggak bakal mau terima bubur itu kalau dari aku."

"Why?"

"Dia nggak suka aku, Bang. Bukan sekadar nggak suka karena awkward sama orang baru, tapi sensi. Citraku udah nggak bagus di mata dia."

"Karena kamu sendiri yang membangun kesan seperti itu."

Heish. Gue memutar mata.

"Bang, sejak awal aku memang nggak mau ada dia di rumah ini. Aku nggak mau ada orang baru. Sayangnya di keluarga kita cuma aku yang nolak Sri! Nggak ada alasan buat aku berusaha bikin dia impressed!"

"Awalnya memang nggak."

"Terus?"

"Terus sekarang kamu suka dia. Apa alasan itu belum cukup kuat untuk kamu bersikap sedikit lebih lembut sama dia?"

What the—gimana bisa gue ketahuan?

Gue baru membuka mulut tetapi Abang mendahului, "Takut sakit itu wajar, tapi denial itu bentuk defensif yang kekanak-kanakan. You're on your way to become a grown-up, jadi ya, just admit it."

Mulut gue berasa pahit.

It's not that I deny it. Walau awalnya sempat bingung, namun gue sudah menerima adanya perasaan ini. Gue nggak mengelak. Gue terima gue suka Sri. Gue bisa dengan santai ngasih tahu Rangga dan Anggun. Gue juga nggak peduli bokap-nyokap mulai mencurigai perasaan gue. Hanya kepada 2 orang gue nggak bisa mengakuinya segampang itu: Sri sendiri, dan Abang. Alasannya nggak perlu gue katakan karena sudah jelas.

Tapi sayangnya, Abang nggak telmi kayak Sri.

Jadi satu-satunya pilihan gue adalah mengangguk pasrah. "Ya, I like her."

Dan Abang tersenyum kembali. "Gitu, dong. Be nice to her, lah. Apa salahnya kalau dia tahu kamu care sama dia?"

"Ogah. Orang dia maunya Abang! Jelas-jelas dia pernah bilang ke aku!"

"Ya, dan tadi Abang denger sendiri dia mengakui kalau selama ini dia salah. Dia pikir dia suka Abang, ternyata cuma bisa lihat Abang sebagai kakak. Dia suka orang lain."

Kicep gue. Sial, bener juga, Abang udah denger semuanya.

Abang ketawa dengan entengnya. "Kamu takut Abang sakit hati, ya? Khawatir sama Abang, ya? Dasar tsundere."

Tetap nggak bisa membalas, gue hanya mencebik.

"Sedih karena terjebak brotherzone ada lah, tapi ini juga bukan pertama kalinya Abang bertepuk sebelah tangan. I can handle it. Dan sejak awal Abang udah sadar bahwa, buat Sri, ada laki-laki lain yang lebih menarik daripada Abang. Jadi ya udah siap aja. Nggak kaget lagi."

Gue mengernyit. Bingung. "Kenapa Abang tahu Sri lebih tertarik ke laki-laki lain?" Gue malah nggak tahu.

"Because it is obvious."

"Obvious gimana?"

"It is obviously not me. Sri tertutup kalau sama Abang. Nggak seperti waktu dia sama laki-laki lain itu. Dia bisa open up dan nyaman dengan jadi dirinya sendiri."

Gue manggut-manggut. "Ada gitu, ya?"

"Apanya?"

"Ada yang bisa bikin Sri senyaman itu melebihi Abang?"

Pertanyaan serius gue malah bikin Abang ngakak. Ngakak lepas sampai megangin perut segala. Gimana dah?

"Kamu sama Sri itu cocok. Sama-sama telmi!"

"Excuse me?" maki gue, sumpah kagak ridho disamain ama si kemlinthi. "Atas dasar apa Abang ngatain aku telmi!"

"Minggu lalu Sri tanya ke kamu tentang cewek yang Abang suka, iya, kan? Terus kamu jawab sebaliknya, justru cewek yang kamu suka itu suka sama Abang. Bener?"

Gue melotot. "Kok Abang ta—oh, yah." Dasar cewek tukang ngadu.

"Sekarang dia setengah mati penasaran nanyain Abang siapa cewek yang kamu suka. Dari sini kamu masih nggak paham? IQ 140 kamu lagi digadaikan?"

Gue terdiam. Firasat gue nggak bagus.

"Bang ...?" gumam gue, bingung bagaimana caranya menyuarakan keraguan di kepala.

Namun Abang juga cuma diam, dengan sengaja menelengkan kepala kanan-kiri tanpa melepaskan matanya dari wajah gue. Ditatap seintens ini bikin perasaan gue makin jelek.

"Bang, nggak mungkin lah!" Gue mengerang malas.

Sorot mata Abang berubah usil. "Apa yang nggak mungkin?"

"Nggak mungkin Sri—" Gue nggak bisa mengatakannya.

"Nggak mungkin Sri kenapa?"

Nggak mungkin Sri menyukai gue ....

"Ngadi-ngadi. Stop it, Bang, I'm out!" Gue segera beranjak pindah menempati kursi putar dan menyalakan laptop di meja. "Aku mau belajar."

Abang belum menyerah ngerecokin gue dengan analisis perasaan Sri mengacu pada perbandingan gestur dia di depan Abang versus di depan gue. Jelas beda lah. Di depan Abang dia kalem, di depan gue dia bisa mengaum. Abang berisik sumpah.

Di tengah suara Abang, mata gue menangkap satu notifikasi di pojok bawah laptop. Sebuah email dari NUS dengan subject 'Letter of Acceptance'.

***

Sejak sarapan sampai kami tiba di parkiran sekolah, Sri ngelihatin gue lebih dari 20 kali. Ya, gue hitung saking seringnya dia menatap gue. Apa yang salah dengan wajah gue pagi ini?

Waktu gue tanya, dia cuma meringis. "Ada tahi lalat di bawah mata kiri Mas."

Ada-ada aja. Gue tertawa sambil melepas strap dagu dan helm dari kepalanya, lalu merapikan sedikit rambutnya yang mencuat. "Dari dulu. Lo baru sadar?"

Bukan hanya itu. Keanehan lainnya, Sri jadi sedikit lebih jinak ke gue, bahkan cenderung pemalu. Setiap gue menangkap basah dia pas ngelihatin gue, otomatis dia buang muka atau tunduk. Dia menghindari kontak mata dengan gue. Kadang dia jadi gampang gagap karena gugup.

Kenapa dah?

Masa' iya beneran suka gue? Ini gara-gara Abang gue jadi mikir yang iya-iya. Gue benci memupuk harapan tanpa kepastian kayak gini. Tapi gelagat Sri belakangan ini seakan mendukung pernyataan Abang.

"Misalnya dia beneran suka sama lo, lo bakal gimana?"

Pertanyaan Rangga terngiang lagi. Haruskah gue mulai memikirkan jawabannya?

"Mas, semangat ngerjainnya. Jangan lupa bismillah. Jangan lupa double check!" Sri tersenyum berseri-seri di persimpangan koridor menuju ruang musik, sementara gue harus masuk ruang ujian.

Gue berpikir sesaat, menyimpan kedua tangan di saku celana, menatap mata jernihnya sedikit lebih lama.

Oke, kita tes ombak. Gue akan mengajukan satu permintaan. Kalau dia terima, berarti dia suka gue. Gimana?

"Setelah latihan, siang ini lo ada acara?"

Dia menggeleng. "Nggak ada. Langsung pulang, tiduran." Ya, sebenarnya kelas 10 dan 11 memang diliburkan karena Ujian Nasional angkatan gue. Sri ke sekolah cuma latihan persiapan festival.

"Lo mau—" gue mengusap tengkuk, sedikit ragu, "keluar sama gue?"

"Ke mana?"

"Makan siang dan, yah ... jalan-jalan."

"Oh, bareng Kak Anggun Kak Rangga?"

"Cuma lo dan gue. Berdua." Gue menekankan kata terakhir.

Dia terdiam, dan asli perut gue mules.

"Bik Minah kan masakin kita, Mas? Ntar mubazir. Di rumah ajalah. Lagian kita juga biasa cuma berdua di rumah."

Wait, what?

"Astaga, lo—" Tangan gue terangkat nyaris menyentuh muka dia, namun berhenti di situ. Tahan, Liam, ingat, dia kesayangan lo.

Yang nggak gue duga, kali ini Sri justru menangkap dan menepuk-nepukkan tangan gue ke muka dia sendiri.

"Nih. Nih! Uyel-uyel mukaku sampai Mas puas. Aku ini sering salah, tho, makanya Mas Liam kesel terus? Mas boleh kesel, boleh uyel-uyel mukaku, tapi setelah ini jelasin apa salahku. Oke?"

Sial, lo manis begini mana bisa gue marah.

Gue terkekeh dan mencubit pipinya lembut, lalu menarik tangan kembali. Gue merunduk, menyejajarkan tatapan kami supaya dia nggak perlu menengadah.

"Baik. Baik, lo menang." Gue tersenyum, mengamati matanya lekat. "Gue mau merayakan sesuatu, sama lo. Cuma gue dan lo. Kita berdua. Makanya gue ajak lo keluar. Gimana?"

Melihat pipinya bersemu, gue tahu dia paham bahwa gue sedang mengajukan kencan.

"Merayakan apa?"

"Sesuatu yang penting buat gue, dan gue ingin berbagi dengan lo."

Bibirnya melengkung aneh karena mengatup terlalu kuat. Gue rasa dia berusaha menahan senyum meski bisa gue lihat jelas dari matanya. Ekspresinya lucu banget, gue nggak bisa nggak tertawa karena gemas.

Apa ini boleh gue artikan sebagai 'ya'?

"Ehm, aku WA Bibik supaya nggak masak terlalu banyak siang ini," katanya kikuk, kemudian langsung mendorong punggung gue. "Udah, sana masuk!"

Gimana, gimana? Serius dia mau kencan sama gue?

"Lo juga," seru gue, melangkah yakin-nggak-yakin dan masih menoleh dia.

"Mas duluan." Dia tersenyum.

"Lo juga!" Gue tertawa. Asli, dia terima tawaran kencan gue? Dia suka gue? Ini bukan salah satu mimpi konyol gue lagi, kan?

Dia menjauh ke arah ruang musik dan tetap menoleh gue. "Ya udah, aku masuk!"

Baik, satu tes terakhir. Kalau setelah ini dia manggil gue, fix ini bukan mimpi dan dia memang suka gue. Let's see.

"Oke, lo duluan!" seru gue.

"Mas Liam!"

Gue menggigit bibir. Tuhan. Dia beneran manggil gue.

"Ya?"

Namun setelah respons gue barusan, dia benar-benar berbalik dan setengah berlari menuju ruang musik. Untuk terakhir kali, seakan memastikan gue yang masih di sini memandang kepergiannya, dia menoleh lagi. Ah, senyum nggak bisa hilang dari bibir gue.

Who knows that being in love could be this exciting?

***

Lo di mana?

Pesan yang gue kirim ke Sri sepuluh menit lalu belum dibaca. Gue menyimpan ponsel kembali di saku celana, membenahi tali sling bag di bahu, dan segera menuju ruang musik. Asumsi gue, dia masih di sana.

Kedatangaan gue diterima Pak Haris—coach mereka—yang membukakan pintu. Setelah dipersilakan, gue masuk disambut nada-nada merdu yang nggak pernah gue sangka ternyata mengalun dari Sri di atas panggung kecil.

Saat kutenggelam dalam sendu

Waktupun enggan untuk berlalu

Kuberjanji tuk menutup pintu hatiku

Entah untuk siapapun itu

Telinga gue berasa dimanjakan komposisi vokal Sri dan permainan instrumen kedua temannya, Claudia dan Lisa. Ke mana hilangnya aksen Jawa medok itu? Her pronunciation is crystal clear. Abang benar, range vokal dia luas, nada rendah dan tinggi dia taklukkan dengan baik. Improvisasinya sangat pas bagi gue yang kurang suka dengan nada meliuk-liuk berlebihan demi show off. Wow, gue nggak tahu dia bisa menyanyi sebagus ini.

Poin yang paling gue suka adalah penjiwaannya. Mata gue seakan terhipnosis hanya tertuju pada Sri. Begitu juga Sri, yang sejak awal hingga akhir lagu, hanya melihat gue. Seakan nyanyian itu dipersembahkan untuk gue.

***

"Sushi yang ada konveyor muter-muternya, Mas."

Satu lagi yang gue suka tentang Sri, dia bukan tipikal cewek 'terserah'. Bicara sama dia nggak bikin gue mati gaya. Waktu gue suruh dia pilih mau makan apa—karena sebenarnya gue juga nggak ada rencana lunch di mana—dia responsif ngasih ide, dan gue suka.

Terima kasih kepada Rangga dan Anggun yang sering ngajakin gue kulineran, gue tahu beberapa outlet sushi yang promising. Dengan berbagai pertimbangan gue melajukan motor menuju Plaza Senayan. Mall lagi mall lagi, nggak kreatif amat gue.

"Lo nggak bosen gue bawa ke mall lagi? Yang gue tahu yang paling accessible di sini," tanya gue, sambil sedikit meluruskan rambut di puncak kepalanya. Kami berjalan memasuki lantai basement.

"Nggak. Kan sama Mas Liam. Aku mau dibawa kemana pun."

Dia tersenyum. Manis banget astagfirullah.

Gue menyentil keningnya yang menggemaskan. "Jangan asal nyeletuk. Besok-besok gue bawa ke KUA, kicep lo."

"Kicepnya anak perempuan adalah tanda persetujuan, kata Rasulullah," jelas dia, terdengar gugup.

"'Diamnya', kali."

"Sama aja. Dalam konteks ini, diamnya anak perempuan adalah karena speechless terlalu bahagia dipinang pihak laki-laki. Dengan kata lain, ya, kicep."

Oh. Sebelah alis gue terangkat. "Jadi kalau gue pinang, lo bakal kicep?"

Mulut gue kenapa dah? Blong parah.

"Ndak. Aku bakal nolak. Karena aku mau sekolah dulu, kuliah dulu, kerja dulu, menikmati hidupku sendiri dulu. Aku belum siap berbagi hidup sama laki-laki manapun."

Gue berpikir sesaat. "Gue pikir lo bakal bilang, 'Aku ndak mau sama cowok kasar!' atau, 'Aku ndak mau, samean tukang ngapusi!'. Tumben lo serius."

Sri nggak menanggapi gue lagi dan memilih melihat-lihat sekitar. Gue ngardus cringe amat, ya? Yakali KUA dan pinang-meminang gue jadiin bahan. Basi.

***

Pilihan gue nggak salah. Kedua mata Sri membulat takjub ketika kami memasuki Genki Sushi disambut seorang waiter berseragam yang tersenyum ramah. Waiter itu membimbing kami ke sebuah meja kosong lalu berpamitan setelah meninggalkan tablet menu.

"Wih!" Sri berdecak kagum. "Pesannya lewat tablet? Canggih tenan, tho!"

Ketawa dia nular banget, sih. Gue ikutan senyum sambil manggut-manggut. "Yap. Nanti pesanan lo diantar lewat konveyor ini.

Matanya berbinar mengamati konveyor yang didesain serupa rel kereta api. Bangga gue bisa bikin dia bahagia begini. Saking semangatnya, dia bingung sendiri memilih dari sekian banyak menu yang tertera di tablet. Berhubung gue yang traktir pakai duit hadiah runner up, gue mau nyeletuk 'pesen aja semua satu-satu nanti tinggal gesek', tapi rasanya bakal kena nasihat tentang berhemat dari dia.

Selagi menunggu pesanan, gue menyeduh dua gelas ocha hangat dengan air panas dari keran yang tersedia di meja. Sri menghidu uap putih yang melayang di atas gelasnya dengan mata terpejam. Senyumnya mengembang lagi, kemudian berhati-hati menyesap ocha.

"Mas," tegurnya, menyadarkan gue. "Mau merayakan apa, sih? Kenapa sama aku? Kenapa bukan sama cewek yang Mas suka itu, atau ... atau Alya. Meskipun Mas nggak suka dia, kan tetep pacar Mas."

Gue mengernyit. Astaga, gue lupa Alya masih hidup.

"Alya itu cewek fiktif. Lo kelewat polos atau memang bego, sih?"

"Sek." Dia menurunkan gelas di meja. "Maksudnya cewek fiktif piye, tho?"

"Yaaa ... fiktif." Gue menggaruk pelipis. Mampus. Gimana jelasinnya? "Alyaris Livinia Parejo Ekspandari. Lo nggak merasa familier dengan nama itu?"

Dia menggeleng. "Namanya keren."

Buset. Keren? Pengin ngakak takut ditabok.

"Ck. Lo tahu apa itu Ayla, Yaris, Livina, Pajero, Xpander?"

"Ayla, Yaris, Livina itu mobil. Pajero, Xpander ndak tahu ... eh?" Sontak dia memelotot. "Mosok, tho, itu semua nama mobil?"

Gue harus jawab apa?

Entahlah. Gue cuma bisa cengengesan nyengir kuda. Tapi Sri langsung menggebrak meja hingga gue berjengit. Mukanya merah dan matanya mendelik.

"Mas ngapusi aku?!"

Enak aja. "Kok gue? Elo yang nggak belajar dari Range Rover dan Liam Borghini!" Dengan kata lain, salah dia sendiri terlalu lugu.

"Aku nggak hapal merek mobil! Mas nipu aku, Mas keterlaluan! Gara-gara Mas aku terus kepikiran siapa Alya! Aku galau berhari-hari pas tahu Mas punya pacar, dan sekarang dengan entengnya Mas bilang Alya itu cewek fiktif?! Mas pasti ngetawain aku, kan?! Mas ngenyek (meledek) aku! Mas seneng lihat aku sakit hati! Ngaku!"

Wait, what?

"Lo sakit hati ... karena gue punya pacar?"

Dia tersentak dan menepuk mulut. Lah, keceplosan apa gimana?

Musik ceria yang berasal dari konveyor menginterupsi kami, menandakan pesanan akan segera datang. Sebuah shinkansen biru kecil mendekat dan berhenti tepat di sisi kami. Gue segera menurunkan piring-piring berisi sushi yang diangkutnya, sementara Sri memeriksa pesanan di tablet.

Dia mau mengambil dua dari empat piring itu, tetapi gue lebih cepat mengungkung semuanya dengan kedua lengan.

"Mas! Itu salmonku!" protesnya.

"Nggak, sebelum lo dengerin penjelasan gue. Kita ke sini karena gue ingin merayakan sesuatu dengan lo, gue ingin kita makan dan menikmati momen ini, jadi dengerin dulu penjelasan gue sampai semuanya clear," tegas gue.

Meski rautnya kesal, Sri mengangguk pelan.

Gue menatapnya baik-baik.

"Maaf. Itu spontanitas karena gue kecewa waktu lo bilang lo nggak butuh bantuan gue lagi. Gue ...." Sial, kenapa gue gagu? "Gue bukannya berpikir bahwa lo cewek menye-menye yang selalu butuh bantuan. Lo nggak lemah. Masalahnya adalah, gue ... gue, ehm—"

Gue mengatup mulut, lalu berpaling karena kosakata gue hilang semua. Come on, Mail, cowok apaan lo minta maaf doang kagak becus!

"Nggak tahan lihat aku nangis dan sakit?" tebak dia pelan.

"Yah." Gue membasahi bibir yang kaku dengan lidah. "Bagus kalau lo paham."

Kereta lain berwarna merah datang membawa pesanan kami. Kali ini gue biarkan Sri menurunkan semuanya. Dia membagi semua piring yang ada sesuai pesanan masing-masing, nggak lupa menyusun piring-piring gue dengan rapi di depan gue.

Muka gue makin pengap ketika dia melipat lengan di meja, lalu tersenyum untuk gue.

"Sekarang aku tahu, ternyata Mas Liam bener-bener care sama aku. Ternyata menyenangkan banget jadi cewek yang dipeduliin sama Mas Liam, dan aku suka. Aku suka sekali, makasih ya, Mas!"

Otot muka gue kaku, namun sebisa mungkin gue membalas senyumnya. Merah merah dah, bodo amat. Gue mematahkan sumpit kayu yang tersedia dan menaruhnya di salah satu piring dia.

"Itadakimasu (Selamat makan)."

***

Dessert pilihan Sri adalah mochi rasa sakura. Saat mencicipi suapan pertama, mukanya mengerut dan matanya merem-melek. Satu tangannya memegangi pipi yang sedang mengunyah. Ekspresi yang terlalu priceless untuk gue lewatkan.

"Enyak! Asli enak banget mochi rasa sakura. Mas kudu nyoba!"

"Ck. Gue nggak doyan manis." Gue menolak mangkuk mochi yang dia sodorkan.

"Ini nggak eneg. Ada seger-seger wangi sakura, gitu. Ini menu seasonal lho, Mas. Ayo, cobain!" Nggak menyerah, dia mengangkat sesendok mochi tepat di depan mulut gue yang mengatup rapat. "Kalau nggak enak Mas boleh ngeruwekin mukaku sepuasnya."

Fair enough. Gue tertawa lalu melahap sendok itu. Kedua alisnya terangkat menunggu respons gue.

"Gimana? Mantep, tho?"

"Not bad." Gue manggut-manggut. Aroma bunga, dan memang nggak semanis itu di lidah gue.

"Nih, habisin!"

Gue pasang tampang memelas. "Suapin lagi."

Dia mendengkus dan ngatain gue bayi tapi mau juga nyuapin gue. How cute. Gebetan gue doang emang.

"Jadi," bukanya, setelah memberi gue suapan terakhir, "apa yang mau Mas rayakan sama aku?"

"Oh, wait."

Gue merogoh isi sling bag di samping gue, mengeluarkan sebuah buku kover hitam yang masih tersegel. Dia membaca judulnya setelah gue berikan, lalu menatap gue lagi.

"Ini buku yang kemarin jadi runner up itu? Yang tentang suami poligami karena punya DID?"

Gue tersenyum, mengangguk. "Maybe it's not your cup of tea, tapi gue harap lo mau terima. Nggak harus lo baca, boleh lo pinjamkan atau kasihkan buat siapapun yang berminat."

"Nggak, lah. Aku mau baca. Bakal aku baca dan promosiin ke seluruh dunia. Matur nuwun, Mas!"

Di luar dugaan, dia excited banget menerima buku gue. Segala dipeluk-peluk dan dicium-cium. Gue juga mau kali.

"Dan, ada satu lagi yang mau gue rayakan sama lo," ringis gue, menahan malu.

Dia mengerjap dan menurunkan buku gue. "Ya? Ada lagi?"

Jantung gue berdebar keras setiap mengingat ini. Berdebar karena bahagia yang nggak bisa gue deskripsikan saking besarnya. Gue menggigit bibir, memejam sesaat, dan menahan napas sebelum siap untuk memberi tahu Sri. I really want to share this joy with her.

"Gue dapat acceptance letter dari NUS, dan ... sebulan lagi gue berangkat."

***

Setelah ini ada Secret Chapter 02, ya, hanya di KaryaKarsa. Sama seperti Secret Chapter sebelumnya, isinya nggak berkaitan dengan alur utama. Baca/nggak baca tetap bisa nyambung sama bab selanjutnya. Cuma extra keuwuan haqiqi Liam dan Sri.

Yang udah baca Secret Chaper 01 pasti paham 🤭

Minami-Kusatsu, Shiga, 7 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro