MAS - 11
Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
PERNAH satu kali gue mencoba menulis cerita fiksi remaja. You know, tipikal cerita yang relate dengan realita, yang konfliknya nggak jauh-jauh dari percintaan, persahabatan, dan keluarga. Seperti biasa Rangga dan Anggun yang jadi beta reader gue. Gue ingat bener komentar mereka:
"Persahabatan dan keluarga okelah. Tapi percintaan lo parah. Cewek lo pulang bareng cowok lain dan lo kagak cemburu sama sekali? Really? Dan yakali lo punya cewek ulang tahun, lo kasih bola tenis? Sebagai cewek kagak baper sama sekali gue."
"Gue nambahin Anggun. Sorry, Bro, in my humble opinion, tokoh cewek lo ini nggak esensial. Ada nggak ada dia, nggak ngaruh buat si cowok. Ikatan batin mereka nggak nyampe ke gue. Lo riset dulu, nggak, sih?"
"Gue mengamati kalian pacaran lah. Apa susahnya?" kilah gue saat itu.
Rangga menepuk bahu gue. "Bagusnya sih lo mengalami sendiri. Lo jatuh cinta, lo punya cewek sendiri, lo rasain sendiri nano-nanonya. Kalau modal lo cuma mantengin gue dan Anggun, gini hasilnya. Kek nulis karya ilmiah. Flat!"
Sejak itu, gue sadar menulis romansa bukan ranah gue. Padahal love interest adalah salah satu elemen penting yang dapat menunjukkan perkembangan internal dan eksternal karakter tokoh utama. Plus, apapun genre-nya, sebagus apapun ceritanya, jika tanpa sentuhan butterfly in your stomach akan terasa kurang nendang.
Tapi kalau gue harus mengikuti saran Rangga demi kepentingan tulisan ... ehm, no. Just no.
Mendingan gue banyakin baca literatur deh. Meski jatuh cinta dan berpacaran bukan perilaku menyimpang seperti sakaw, gue nggak ingin menjalaninya karena tuntutan. Apalagi tuntutan yang gue buat-buat sendiri. So cliche. Kalau gue jatuh cinta, gue ingin mengalaminya secara natural.
Gue nggak seplatonik itu sampai belum pernah tertarik dengan lawan jenis sampai usia 18 begini. Beberapa cewek pernah menyita perhatian gue, hanya pada akhirnya gue sadar semua masih sebatas crush. Gue nggak tergerak untuk menunjukkan perhatian terhadap mereka. Mungkin seperti yang dikatakan Rangga tentang tokoh cewek di cerita gue: ada nggak ada dia, nggak ngaruh buat si cowok.
Lalu, situasinya sekarang adalah gue sadar gue suka sama Sri.
Am I? Really?
Apakah kesimpulan gue nggak terlalu prematur? Bisa jadi ini cuma another crush mengingat frekuensi pertemuan kami yang tinggi: setiap hari, bayangkan! Peluang dia untuk diam-diam masuk ke alam bawah sadar gue cukup besar, kan?
"Sugeng enjing, Mas."
Itu dia, keluar kamar bertepatan dengan gue yang baru turun ke lantai satu. Dia tersenyum lebar. Gue terusik, gue nggak bisa membalas senyum itu. Alih-alih, gue justru mengeraskan rahang.
"Aku Liam bukan Sugeng."
Dia menganga, "Lho, Mas, sugeng enjing itu selamat pagi!" kemudian mengekori gue menuju meja makan, masih nyerocos di belakang, "Mas bilang aku harus mempertahankan identitasku, kan? Identitasku Bahasa Jawa. Sugeng enjing itu krama inggil, maksudnya aku menghormati Mas Liam sebagai kakak."
"Aku bukan kakakmu."
"Ya sudah, masku."
Gue berhenti dan berbalik. Dia masih tersenyum lebar seakan nggak merasa ada yang aneh dengan kalimat barusan. Gue memicing.
"Kamu sadar apa yang barusan kamu bilang?" Lebih tepatnya, apa dia sadar bahwa kalimat itu membuat pikiran gue liar?
Dia mengangguk. "Bukannya Mas sendiri yang bilang, 'Panggilan 'mas' lo cuma boleh buat gue. Paham?' gitu."
Gue bilang begitu? Kapan?
"Intinya sama-sama kakak, tho, Mas? Bang Hans juga kakakku, tapi panggilannya Abang. Abangku. Abangnya Mas Liam juga. Bener nggak?"
Okay.
Welcome to the brother zone club, Mail.
***
"Lo jadi ikut ke GI nggak? Biar gue tahu kudu pesen meja berapa orang."
"Ojju?" Gue memastikan pertanyaan Rangga dengan menyebutkan nama restoran Korea kesukaan Anggun. "Lo yang waiting list, kan? Meja empat orang."
Rangga passing ke gue. "Empat? Satu lagi siapa?"
"Sri," jawab gue, kemudian dribbling beberapa kali, lalu mengambil dua langkah sebelum melompat untuk lay-up. Hanya saja, gue gagal melewatkan bola ke dalam ring.
Rangga menangkap bola yang memantul ke arahnya. Dia diam beberapa saat menatap gue.
"Rencana lo apa? Double date?"
"Kalau iya?" Gue meringis.
"Serius lo?" Dia mulai dribbling lagi, "Lo naksir si dedek medok?" lalu chest-passing ke gue.
"I guess so." Gue menggiring bola menuju ring seberang dengan langkah ringan, sementara Rangga mengikuti gue.
Kami melakukan dribble and pass bergantian.
"Lugas bener lo."
"Lugas gimana?"
"Ya lo enteng banget bilang ke gue, 'Hey, Bro, gue suka sama Sri!' berasa kek ngabarin bahwa lo baru isi bensin. Kek kagak ada penting-pentingnya. Dingin bener lo jadi cowok."
Gue terkekeh. "Lo pikir gue kudu gimana?"
"Gugup kek, malu kek, salting kek, apalah gestur orang jatuh cinta pada umumnya?"
"Gue nggak salting kecuali di depan Sri."
Senyum Rangga melebar. Terlalu lebar. "Ooooooooooh."
"Lo tahu, kemarin-kemarin gue denial dan itu bikin gue capek. Gue jadi bego sendiri. Makin gue pikir, ngapain sih gue bersikap kekanakan begini? Jatuh cinta itu normal. Nggak perlu lah gue terlalu keras sama hati sendiri. Dia memang lucu, manis, dan menyenangkan buat gue. She's adorable and I admit it."
Ah. Jadi senyum-senyum sendiri gue.
Setelah bounce pass terakhir dari Rangga, bola berhenti di tangan gue. Masih mempertahankan dribbling satu tangan, gue menuju ring dengan kecepatan penuh. Detik berikutnya, gue melompat sekuat tenaga, melemparkan tubuh ke udara hingga kedua tangan gue berhasil menjebloskan bola ke dalam ring.
Bola itu jatuh entah kemana. Sementara gue masih bergelayut di ring dengan napas terengah, bersama keringat yang mengaliri pelipis, lalu turun dan menetes dari ujung dagu gue.
Ya ... gue suka dia.
"Mas Liam! Mas ngapain gelantungan gitu, hah?! Awas jatuh!"
Teriakan medok itu sukses membuat tangan licin gue terlepas dari ring dan Converse gue kembali menapak di semen. Dari sisi kiri lapangan, Sri berlari panik menghampiri gue.
"Mas ini bahaya—"
"Sri, tenang, tenaaang. Lo pernah denger slam dunk? Nah, itu barusan." Rangga tertawa-tawa saat mendekati kami.
"Apa, Kak? Selendang?"
"Slam duuunk! Argh!" Dengan terpaksa gue meremat muka dia. Sumpah gatel nih tangan.
"Aku nggak paham makanya tanya!" maki dia sambil menyingkirkan tangan gue.
"Intinya gerakan aku masukin bola barusan. Sejak kapan kamu di situ?" tanya gue, mengusap keringat dengan punggung tangan.
"Sejak kapan lo 'aku-kamu' sama Sri?"
Gue menoleh Rangga, tersenyum penuh arti, "Long story, Bro."
"Kita nggak pacaran, kok, Kak. 'Aku-kamu' nggak cuman buat yang pacaran," jelas Sri enteng, yang terdengar bagai penolakan telak di telinga gue.
Rangga menatap kami bergantian, "Sebahagia lo berdua dah," lalu senyumnya melebar lagi buat Sri. "Eh, Sri, lo nggak tahu slam dunk itu keren banget? Tingkat kesulitannya tinggi! Even kapten tim basket sekolah kita aja nggak bisa, loh! Itu kalau pas pertandingan, beugh, cewek satu GOR ngejerit!" Rangga merangkul—lebih tepatnya memiting—leher gue hingga gue oleng. "Gimana, dia masuk kriteria pacar idaman lo, nggak?"
Shit.
"Lo apaan, sih?!" Dorongan gue berhasil melepaskan lengan Rangga.
"Bener kali, di mana-mana cowok basket itu keren dan populer. Lo-nya aja diajak gabung tim sekolah kagak mau."
Too much information, nih, Rangga.
Gue rasa semua orang paham 'mens sana in corpore sano'. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Beban kerja otak gue bertambah seiring usia, dan kalau fisik gue gagal mengimbangi, gue bakalan gila.
Maka gue memilih basket sebagai selingan rutin sejak SD. Pengaruh dari Abang, sih. Hanya selingan rutin, oke? Dari dan untuk gue sendiri. Motivasi gue bukan kompetisi. Lagipula ....
"Kenapa gue harus keren dan populer?"
"Jadi keren dan populer itu nggak penting, kok. Yang penting Mas Liam bahagia," timpal Sri, yang mana refleks bikin gue langsung meluk dan uyel-uyel kepala dia.
Tapi gue cuma berani halu.
"Sri, lo tahu siapa yang bisa bikin dia bahagia?"
Astaga. "Rangga, please!" erang gue.
"Ndak tahu, Kak, tapi ...." Sri menggeleng pelan, tersenyum melirik gue. "Mas Liam bukan cowok yang bahagianya bergantung sama orang ataupun hal lain. Mas Liam bisa menciptakan bahagianya sendiri."
Detik itu juga, entah kenapa, gue ngerasa ketampar.
"Ah, aku tadi mau tanya, kita jadi ke Gramed siang ini, kan? Tapi pulang dulu, ya, Mas. Aku ndak bawa uang, ada di kamar."
"Oh, yah, gimana?" Gue mengerjap setengah sadar. "Ya. Oke. Pulang dulu ambil duit sekalian ganti baju."
Untungnya, setelah itu dia pamit dan meninggalkan lapangan.
Ya, untungnya, sebab gue langsung duduk berlunjur kaki di anak tangga koridor belakang ring. Kedua tangan gue menangkup muka yang luar biasa panas.
Gila, lemes banget gue. Bukan karena olahraga, tapi Sri. Sri dan ucapan-ucapan anehnya yang bikin perasaan gue serasa di-ping-pong: netral, lalu gemas, lalu kesal, lalu kagum, marah, senang, sedih, gemas lagi, kagum lagi, marah lagi, and it's still bouncing! Gue nggak bisa memprediksi ke mana lagi dia akan memantulkan perasaan gue.
Crushes gue sebelumnya nggak ada yang bikin pusing begini.
"So it's true, lo cuma salting di depan Sri." Sindiran Rangga di samping gue sangat menohok.
"Shut up!"
***
Aslinya bab ini panjang, tapi kupecah jadi dua karena kepanjangan. Nulis Mail ini menyenangkan, aku jadi khilaf 😅
Minami-Kusatsu, Shiga, 29 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro