MAS - 10
Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
BELAKANGAN ini gue merasa nggak aman meski di rumah sendiri. Ralat, terutama di rumah sendiri. I think I'm in danger. Gue was-was setiap berada di keluar kamar. Gue celingukan setiap turun ke lantai satu. Dan lampu radar siaga satu gue menyala setiap mendeteksi kehadiran Sri.
Itu dia, baru keluar kamar buat makan malam bersama. Oh, shit, kenapa dia milih duduk di sebelah gue? Tapi bukannya dia emang biasa di sebelah gue? Ngapain gue overreacting?
"Sudah siap kembali sekolah besok, Nduk?" tanya Mama, yang duduk di seberangnya, setelah mempersilakan dia mengambil piring.
"Nggih, Bude. Baju, sepatu, buku, semua sudah siap," jawab dia riang. Gue berusaha nggak menoleh, tapi gue tahu dia tersenyum.
Di depan gue, Abang minum lalu ikut bertanya, "Fisiknya sudah siap?"
"Sudah, Bang!" Gue yakin senyum dia makin lebar. "Berkat bubur kacang ijo kemarin. Abang beli di mana? "
"Kamu beli bubur kacang ijo?" Mama menoleh Abang yang cuma terkekeh. Gue menggulung mi dengan garpu lalu memakannya.
"Banyak kuah jahenya. Enak bener. Hangat, Bude," tambah dia lagi, sambil mengisi mangkuk dengan sup. "Pas Sri sakit Ibuk suka bikin itu. Kalau beli di luar ndak ada yang banyak kuah jahenya. Tapi di dekat sini ada yang jual, tho, Bang?"
Gue menurunkan sendok dan terpaksa menoleh dia.
"Kagak ada. Bubur kacang ijo di mana-mana sama. Kuah jahenya Abang sendiri yang request. Gitu doang lo nggak paham? Makanya mikir!"
Dia memelototi gue. "Kalau bisa tanya kenapa harus mikir!"
"Mikir itu perlu supaya nggak kemlinthi."
"Siapa yang kemlinthi?!"
"Mikir, dong. Menurut lo siapa yang kemlinthi?"
"Aku ndak—"
"Stop, stop, stop!" seruan Abang bersama denting sendok yang dipukulkan ke gelas mengalihkan gue. Tatapan tajam Abang menusuk gue dan Sri bergantian. "Kalau mau ribut-ribut, minggir. Jangan di meja makan. Mama sama Abang mau makan."
Gue tersenyum puas dan meneruskan makan. Adu mulut sama dia seperti barusan membuat gue lebih santai dan merasa less dangerous. Nggak terancam-terancam banget lah.
Hanya saja, ketenangan ini nggak bertahan lama ketika Mama—seperti biasa—nyuruh Sri menghabiskan sisa lauk.
"Nduk, ini sup sama mi-nya masih sisa. Ayo dihabiskan."
Dia menjawab canggung, "Ndak usah, Bude. Disimpan saja nanti buat Pakde."
"Pakde kalau jam segini belum pulang pasti makan di luar, Nduk. Sudah, ayo habiskan." Mama tertawa sejenak sebelum minum.
Dia mengintip mangkuk utama sup, lalu mendongak pada Abang. "Abang habisin supnya, ya? Aku mi-nya. Abang seneng makanan berkuah, tho?"
Abang terdiam sesaat. "Kok tahu?"
"Ya ngerti pokoknya." Dia tertawa pelan, sambil memenuhi mangkuk Abang dengan semua sup yang tersisa. "Dah, ini buat Abang aja, oke?"
Ck. Abang tersipu, mengusap tengkuk, sama sekali nggak menolak. Jangan bilang Abang baper karena Sri tahu seleranya? Dasar lemah.
Saat Abang mulai menikmati supnya, Sri mengambil piring mi goreng dan menempatkannya di antara kami. Dia merapat ke gue, berkata, "Mas, ayo habisin sama-sama!"
Lampu waspada siaga satu gue menyala.
"Makan sendiri!" tolak gue.
"Ayo bagi dua, Mas. Aku ndak sanggup menghabiskan sendiri. Lagian, Mas Liam kan paling seneng mi."
Gue terbelalak meskipun itu benar. "Sotoy lo!"
"Ndak ah, bener kok. Mas Liam selalu lahap dan tambah-tambah kalau makan mi. Ayo tah, habisin ini bareng-bareng, ya?"
Dia mengisi piring gue dengan sebagian besar mi. Dia tersenyum. Dan, dia manis. Banget.
Ah.
I really am in danger.
***
Spot teraman di rumah ini adalah kamar gue sendiri, di mana gue bisa mengunci pintu dan mengisolasi diri. Aman dari segala bahaya yang mengancam di luar sana. Kecuali kalau seseorang mengetuk pintu seperti sekarang ini.
Siapa lagi, sih?!
Dengan malas gue beranjak untuk membuka pintu. Kaget gue. Dia—maksud gue Sri—berdiri di situ menatap gue serius.
"Mas Liam sibuk?"
Basa-basi dia bikin gue makin waspada. "Kenapa?"
"Aku mau ngomong sesuatu."
"Go on."
"Ngg ...." Dia menggigit bibir. "Aku ndak mau kedengaran orang lain. Diskusi berdua saja boleh, Mas?"
Dia nggak mungkin nembak gue, kan?
Jadi, gue bukakan pintu kamar lebar-lebar. Dia masuk. Gue mengikutinya, membiarkan pintu kamar tetap terbuka.
Gue mempersilakan dia duduk di ranjang, sedangkan gue kembali menyilangkan kaki di kursi putar. Ogah gue duduk seranjang sama dia.
"Gini, Mas." Dia membuka dengan gugup, tapi berusaha menguasai diri. "Aku ndak sanggup terus-terusan jadi bahan ketawa. Nuwun tolong, ajari aku supaya bisa adaptasi dengan pergaulan di kota, Mas."
Gue meringis. "Nggak salah lo minta tolong gue?"
Dia mengernyit. "Kenapa, tho?"
"Gue pemarah dan tukang ngapusi, lo ingat? Lo yakin lo percaya sama gue?"
Pertanyaan gue nggak salah, kan? Wajar, dong, gue skeptis? Dia nggak suka gue, bahkan cenderung antipati. Bagi dia gue penipu dan kasar. Nggak seperti Abang yang sabar dan perhatian.
"Ya sudah, ndak jadi!"
"No." Gue mencekal lengan dia yang akan beranjak. Enak aja! "Keluar-masuk kamar ini harus seizin gue. Gue nggak izinin lo keluar. Duduk."
Dia menurut, bersungut-sungut, bibirnya mengerucut. Dia manis, dan buset kenapa gue jadi dungu begini? Cewek manis nggak cuma dia, Mail. Wake up!
Oke, fokus.
Gue mendekat, mencondongkan tubuh ke arah dia. Gue menyelisik matanya, hidungnya, bibirnya, semua. Semua normal di mata gue. Bahkan, pipinya yang merah menyala karena gue tatap sedekat ini adalah reaksi sewajarnya cewek.
Maka kesimpulan gue adalah, "Sebenarnya, nggak ada yang salah dari lo, kecuali satu."
"Apa itu, Mas?"
"Lo nggak punya persona yang kuat."
Satu alisnya terangkat.
"Pesona?" gumamnya. "Aku harus ayu, tho? Harus macak pakai gincu dan dempulan ke sekolah? Seragamku harus ketat biar seksi?"
Njir, gemes. Gue menepuk keningnya. "Bukan pesona. Persona," ulang gue. Menilai dari tampangnya, gue yakin dia clueless.
***
"Persona adalah karakter yang lo tunjukkan di depan umum. Termasuk juga, karakter lo di depan orang-orang terdekat. Bisa jadi karakter ini berbeda dengan true self lo sendiri, tapi lo butuh itu demi penerimaan sosial. Demi memenuhi ekspektasi orang-orang terhadap lo. Kalau lo gagal memenuhi ekspektasi ini, akibatnya ya gini. Lo dibuli," jelas gue, kemudian membasahi bibir dengan lidah. "Paham?"
Dia mengangguk bego.
Geregetan! Gue menepuk keningnya. "Lo ngapain iya-iya kalau nggak paham!"
Dia meringis lagi, membentuk O dengan jempol dan telunjuk. "Paham sak iprit."
Gue mengatup kedua tangan dan menumpukan dagu.
"Gini. Misalnya, publik figur seperti pejabat atau artis. Mereka harus menampilkan sisi baik mereka, dan menutupi sisi buruk mereka, demi menjaga image di depan masyarakat. Wajah mereka di depan masyarakat, ini yang disebut persona."
"Itu sih ... pencitraan."
"Nah!" Gue menjentikkan jari di depannya. "Pencitraan."
"Tapi, bermuka dua kan ndak baik, tho, Mas?"
"Siapa bilang bermuka dua? Seseorang bisa memiliki lebih dari satu persona, entah itu yang disadari ataupun tidak."
"Berarti, malah bermuka banyak, tho?"
"Ya. Persona bisa terbentuk berdasarkan situasi. Bahkan ada seseorang yang selalu berganti persona tergantung dengan kelompok mana dia sedang berinteraksi. Orang-orang dengan banyak persona ini yang perlu diwaspadai, karena—ya .... Lo bayangin aja, seseorang yang punya banyak karakter, terlalu sering berganti karakter, sampai dia lupa caranya jadi diri sendiri. Mentalnya pasti capek banget, dan ini indikasi gangguan jiwa."
Dia melongo cukup lama—apa sih istilah Jawanya, ngowoh?—mengingatkan gue pada Patrick Star dari kartun Spongebob. Tinggal nambahin tetesan ilernya aja.
Kemudian, dia menggigit bibir. "Ja ... jadi seharusnya seseorang punya berapa persona? Terus, persona yang baik itu gimana, tho?"
"Pertanyaan pintar." Gue menepuk keningnya. Bagus kalau dia mikir, bukan cuma ngowoh. "Idealnya, seseorang minimal punya 2 persona."
Gue mengangkat 3 jari. Dia mengernyit, berusaha menurunkan jari manis gue tapi gue tampik duluan.
"Persona pertama," gue menyentuh telunjuk, "adalah yang lo tampilkan di depan semua orang, secara umum. Persona kedua," gue menyentuh jari tengah, "adalah yang lo tampilkan di depan orang-orang terdekat. Dan yang terakhir," gue menunjuk jari manis, "adalah true self. Identitas lo yang sebenarnya, dan nggak ada satupun yang tahu kecuali diri lo sendiri."
Dia manggut-manggut. "Tapi, Mas, tadi katanya terlalu banyak menggunakan persona ini bikin capek mental. Terus kudu piye?"
"Kalau lo bisa memasukkan bagian true self lo ke masing-masing persona, itu jauh lebih baik. Jadi lo bisa menampilkan versi terbaik diri lo, dengan masih mempertahankan identitas lo yang sebenarnya."
Dia terlihat mikir, sedikit lebih lama.
"Terus, gimana caranya membangun persona yang masih mempertahankan identitasku ini, Mas?"
Nah. Ini dia yang mau gue protes!
Gue kembali menghempas punggung ke kursi, lalu melayangkan tatapan sentimen sebelum meluapkan semua uneg-uneg.
"Sekarang gue tanya. Ngapain lo ngomong pakai 'lo-gue'? Kurang frontal gimana gue ngatain kalau lo itu nggak cocok?! Aneh jatuhnya!"
Bibirnya mengatup rapat.
"Ya ... biar sama, tho, Mas."
"Nggak ada yang bilang lo harus selalu sama dengan yang lain. Di sini lo kehilangan identitas asli lo."
"Tapi, Mas," pandangannya menunduk, "katanya, kalau di Jakarta, 'aku-kamu' itu cuma buat orang pacaran ...."
What? "Lo denger dari mana?!"
"Syakira itu, kalau baru pulang dari liburan ke Jakarta, selalu ngomongnya pakai 'lo-gue'. Katanya kebiasaan."
Menilai dari rautnya, gue percaya dia memang sepolos itu. Tapi gimana cara jelasinnya, ya?
Gue memijati pelipis, "Ya ... nggak salah juga, sih," lalu menyugar rambut. "Nggak salah. Tapi tetep nggak masuk buat lo. 'Aku-kamu' itu Bahasa Indonesia yang benar. Biarpun awalnya terasa aneh di telinga anak Jakarta, tapi itu jauh lebih baik daripada lo memaksakan diri. Dan seiring waktu mereka bakal maklum karena lo dari Jawa, bukan Jakarta."
Dia kelihatan mikir. Semoga paham.
"Tapi, Mas, Jakarta kan juga di Jawa?"
Astaga! "Lo tuh—"
Kedua tangan gue terangkat begitu saja hampir membekap muka dia. Refleks, sorry, meskipun benar Jakarta itu di Jawa tapi asli gue gemes. Tapi melihat matanya terpejam keras, gue menarik kembali kepalan tangan karena nggak tega.
Akhirnya, gue hanya berdeham rendah. "Intinya, aku mau kamu tetap pakai 'aku-kamu'."
Debar jantung gue mengencang. Mail 'aku-kamu'an sama Sri, aneh nggak sih?
"Siap!" Dia memperagakan salut, lalu mengernyit. "Kenapa Mas Liam juga pakai 'aku-kamu'?"
"Supaya kamu paham bahwa 'aku-kamu' nggak eksklusif hanya untuk yang pacaran. Kita juga bisa. Aku nggak mungkin suka sama kamu dan kamu nggak mungkin suka sama aku. Right?"
Semoga alasan gue terdengar natural.
"Bener! Aku ndak mungkin suka Mas Liam." Dengan percaya diri, dia mengangkat dua jempol tinggi-tinggi. Tapi, kekecewaan apa yang gue rasakan ini?
"Oke. Itu pertama." Gue mengatupkan tangan lagi. "Kedua, masih tentang diksi. Sebisa mungkin, gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hindari bahasa daerah—don't get me wrong—ini untuk mengurangi logat medokmu. Dan jangan—sama sekali jangan—mencampur-adukkan Bahasa Indonesia dan Inggris ala anak Jaksel. Kamu nggak perlu bahasa gaul. Cukup sederhana, baik, dan benar."
"Aku ndak Bahasa Inggrisan kecuali pas pelajarannya. Terus, apa aku masih sering ngomong Bahasa Jawa, tho? Kayaknya ndak."
"Terus partikel 'tho' dan 'ndak' barusan itu apa?" gertak gue.
Dia menepuk mulut.
"Oke. Tak usahakan."
"'Kuusahakan'!" desis gue.
"Kuusahakan," ulangnya.
Tahan, sabar. Gue menahan diri dengan mendekatkan wajah, tersenyum lebar, mengamati raut tegang dia yang sesungguhnya gemas banget pengin gue remas sana-sini.
"Sekarang, kita tertibkan lidahmu. Latihan artikulasi."
***
Latihan artikulasi? Meh. Secara teknis Abang lebih jago dari gue. Tapi bukan berarti gue nggak bisa. Public speaking adalah salah satu materi yang pernah gue dapat dari beberapa kali ikut LDK. Pretty basic sebenarnya, tapi bukankah Sri memang perlu belajar basic-nya dulu?
Sebelum memulai latihan, gue minta dia minum air putih dulu untuk melemaskan tenggorokan.
"Pertama," kata gue lagi, "yang paling dasar adalah spelling. Mengeja. Mulai dari huruf vokal dulu. Perhatikan gerak mulut gue, dengarkan baik-baik, dan lo coba ikuti: a, i, u, e, o."
Meski tetap medok, dia bisa mengikuti gue dengan jelas. Kami mengulangi beberapa kali, dengan tempo berbeda-beda, menyesuaikan hingga aksen Jawanya terdengar wajar di telinga Jaksel gue.
"Sekarang konsonan." Gue beralih ke bagian berikutnya. "Pelan-pelan, ikuti gue: be, ce, de, ef, ge, ha, je."
Dia menarik napas. "Mbe, ce, dhe—"
"Stop, stop. Stop!" potong gue segera. "Be, bukan mbe! De, bukan dhe! Lo tuh—"
Tangan gue hampir terangkat. Dia garuk-garuk kepala sambil nyengir kuda. Pengin gue pites, sumpah, tapi sekali lagi gue kudu sabar atau dia bakal lari dan belok ke Abang.
Gue pikir latihan kami baru 20 menitan, kemudian gue sadar ini sudah jam sepuluh lewat. Nggak terasa Sri sudah ngoceh hampir 2 jam dan—wow—suaranya masih stabil. Bersih dari trembling apalagi shaking. Dia medok, tetapi harus gue akui stamina vokalnya di atas rata-rata. She's something.
Sebagai penutup, gue minta dia melafalkan keras-keras satu cerpen fabel dari internet.
" ... 'Beraninya kau menipu kami! Awas kamu, Kancil. Tunggu pembalasan kami!' teriak para Buaya, sedangkan Kancil terbahak-bahak berlari masuk ke hutan. Tamat."
Dia beralih dari laptop, tersenyum ragu menatap gue.
"Masih medok, ya, Mas?"
"Masih." Gue menepuk keningnya. "Dan—yang ingin gue tekankan—medok sama sekali bukan masalah. Itu bagian diri lo, identitas lo, dan yang perlu lo lakukan hanya mengolahnya. It's still you, but better."
Senyumnya menguat. "Gitu, ya, Mas?" Gue mengangguk. "Besok-besok Mas Liam sibuk, ndak?"
"Sibuk nggak yaaa ...." Gue mengusap-usap dagu.
"Aku mau latihan-latihan lagi. Aku butuh teman buat sharing kayak gini. Kalau Mas sibuk, aku minta rekomendasi buku atau panduan apalah yang cocok buat aku pelajari sendiri—"
"Gue nggak sibuk."
Dia mengerjap. Gue menggigit dan membasahi bibir karena gugup. Kenapa gue gugup? No idea.
"Beneran Mas ndak sibuk? Ndak belajar buat UN sama UTBK?"
"Ya kagak 24 jam juga. Lo boleh ketuk pintu kayak tadi, kalau gue available bakal gue bukain."
Dia mengernyit. "Kok ...?"
"Apaan?"
"Ndak. Ndak papa." Senyumnya mengembang lagi bersama gelengan. "Malam ini Mas Liam baik sama aku. Ndak tahu besok."
Baik?
Gue baik sama cewek kemlinthi kayak lo? Ogah. Kalau lo cari cowok yang baik, lo datang ke cowok yang salah. Hati gue nggak seputih itu. Lagipula lo juga tahu gue sering ngadalin lo.
Gue bukannya baik. Gue cuma suka sama lo.
***
GII CIMI SIKI SIMI LI. HILIH!
Update berikutnya mungkin bakal telat, ya. Aku habis vaksin kedua. Bulan lalu pascavaksin pertama aku sakit, yang kedua malah lebih parah. Jadi butuh banyak istirahat.
Kelen juga sudah vaksin kan?
Sehat selalu buat kita semua 🥰
Minami-Kusatsu, Shiga, 26 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro