MAS - 04
Maaf ya kalau aku belum sempat balas komenan, tapi makasih banget buat Teman-teman yang nyemangatin aku. It means a lot to me. Sayang kalian banyak-banyak 🥰
Terima kasih dan selamat membaca 💕
***
MAU membawa cewek random medok nggak jelas ini ke Jakarta, jadi adik kelas gue, dan tinggal bareng gue? Mama pasti bercanda. Mama nge-prank, nih.
Or not. Mama malah bersemangat mengorek latar belakang keluarga Sri. Papa juga ikut-ikutan. Fakta bahwa Sri ranking satu di kelas, pengin kuliah tapi terbentur biaya, ditambah ternyata dia anak yatim, sukses bikin Papa-Mama terenyuh. Papa-Mama nggak mengutarakannya secara gamblang, tapi gue bisa melihat itu dari cara mereka menatap Sri.
Gue cuma bisa kicep.
Hello, Pa, Ma, isn't it too sudden? Kita ke sini karena Papa mau beli kebunnya Paklik, kan? Kenapa tiba-tiba berimprovisasi mau nambah anggota keluarga segala? Bahkan Sri sampai melongo. Semua pertanyaan Papa-Mama dia jawab dengan gagu. Dia sama syoknya dengan gue.
Nggak ingin bikin kegaduhan, gue menginisiasi sesi percakapan lain dengan Papa-Mama setelah Sri pulang. Bertiga saja di kamar mereka.
"Pa, Ma, aku nggak setuju dia ikut kita," kata gue lugas, menyandarkan punggung di pintu yang tertutup lalu bersedekap.
Ortu gue bertukar pandangan sesaat sebelum berpencar melakukan aktivitas masing-masing.
"Kenapa?" tanya Papa, sambil mengambil kaus dari dalam lemari.
"Mama suka sama Sri, anaknya ekspresif dan enerjik." Nyokap gue senyum-senyum di depan meja rias sambil membersihkan muka dengan kapas.
"Aku, nggak, setuju." Gue menekan ucapan perkata.
Mama menoleh gue. "Tapi cantik, kan?"
"Cantik."
"Oke, setuju!"
"Mamaaa!"
Gue menggeram. Astaga! Bener-bener nggak sadar dengan jebakan betmen barusan. Mama mengepalkan tangan di udara sebagai gestur kemenangan, sedangkan Papa ngetawain gue setelah berganti kaus. Bego lo, Mail.
"Nggak setujunya kenapa? Sini, Boy. Come here." Papa memanggil gue dengan lambaian tangan.
Gue menyeret langkah malas lalu duduk di ranjang bersama Papa. "Dia cewek, Pa. Abang sama aku cowok," ucap gue, menatap Papa lekat di balik kacamatanya.
Kening Papa berkerut. "Takut khilaf kamu?"
"Pa!" desis gue.
"Papa rasa harusnya nggak ada masalah. Kamar kalian di lantai dua, Sri di lantai satu, di kamar tamu dekat Bik Minah. Kalau kamu macem-macem Bik Minah saksinya." Papa menyebutkan ART di rumah.
Gue memutar bola mata. "Nggak bakal macem-macem."
"Papa tahu. Papa tahu betul dua bujangan Papa bisa dipercaya." Senyum Papa melembut, dan gue berpaling karena nggak nyaman. "This is not an encouragement. Papa bilang begini ya karena Papa tahu, senakal-nakalnya kalian, kalian paham apa itu konsekuensi dan tanggung jawab. Itu yang Papa lihat selama ini."
"Bukan soal nakal atau apa, Pa. Aku nggak nyaman tinggal seatap sama total stranger kayak dia."
"Tak kenal maka ta'aruf. Hihihi," celetuk Mama, yang langsung gue lempari pelototan marah.
"She's not a total stranger, kan kamu sudah mampir ke rumahnya. Numpang makan siang segala, nambah-nambah segala," cibir Papa.
Gue mendengkus. "Alright! Dia total stranger buat Abang. Papa sama Mama nggak bisa mengabaikan pendapat Abang tentang ini."
Soal Abang, gue yakin dia bakal berpihak ke gue. Gue nggak sanggup membayangkan itu cewek bakal dianak-emaskan sama Papa-Mama, sementara gue dan Abang bakal diminta berperan sebagai kakak yang melayani dengan setulus hati. Dikira kita frontliner bank apa gimana?
Gue bisa membayangkan kerepotan macam apa yang bakal terjadi seandainya si medok itu jadi adik gue, and I won't let it happen.
Tapi kemudian nyokap gue berkata, "Hansel bilang iya."
Wait, what?
"Kok bisa?!" Gue menoleh Mama yang sudah di sebelah Papa sedang menunjukkan ponselnya.
"Nih." Kemudian ponsel itu diserahkan ke gue.
Gue membaca chat Mama sama Abang yang dilakukan baru beberapa menit lalu, dan ... gue melongo.
Ah, elah, Abang. Kenapa dia excited, sih?! Segala minta dikirimi fotonya Sri! Cakep sih cakep tapi standard lah. Yakin gue 100% semua model di agensi Abang jauh lebih cakep dari Sri. Jangankan agensi, tinggal keluar rumah tuh banyak cewek bening ngantri buat Abang. Ngapain si medok itu?!
Emosi sendiri gue. Serah lah.
***
Setelah balik dari Sekartaji, seminggu terakhir ini hidup gue surem. Surem banget.
Papa-Mama mondar-mandir mengurus administrasi kepindahan Sri. Heran gue, sumpah. Padahal ini belum fix, kan? Sri juga masih berunding sama keluarganya. Kenapa ortu gue seantusias ini sama Sri? Asli, nggak habis pikir gue.
Ya gue tahu dari dulu Papa-Mama mau anak perempuan, tapi kenapa harus Sri? I mean, dia jauh banget, dari pedalaman Kabupaten Malang. Kenapa nggak yang deket sini aja, sih? Kenapa nggak cari tahu dulu karakter dia lebih dalam, sih? Most importantly, kenapa mesti sekarang banget?
Dan kenapa cuma gue yang merasa keputusan ini terlalu terburu-buru?
"Kenapa harus Sri?" gumam Papa, waktu gue bertanya sepulangnya dari rumah sakit. "Kenapa bukan Sri?"
Papa malah membalikkan pertanyaan gue.
"Ya karena dia—" gue menggigit lidah, "dia ...."
Karena gue nggak suka memasukkan orang baru dalam hidup gue dengan paksaan seperti ini. Gue nggak mau privasi gue di rumah sendiri terganggu gara-gara dia. Gue nggak mau dipaksa menerima dia sebagai adik!
"Kenapa harus Sri? Jawaban Papa, karena Sri akan stagnan kalau selamanya terjebak di lingkungan stagnan dengan orang-orang yang stagnan. She can achieve more and grow so much better here."
Nah, kicep gue kalau Papa sudah mengungkit masalah kemanusiaan. Argumen gue yang sebatas soal privacy bakal terdengar dangkal.
Tapi gue belum menyerah. "Tapi nggak harus di sini, kan, Pa? Maksud aku, kalau Papa mau angkat dia jadi anak asuh ya udah biayain aja sekolah dia. Nggak harus pindah ke sini. Kasihan juga dia dijauhin dari keluarganya." Dih, gue malah terdengar kayak nyari excuse.
"Seperti yang Papa bilang, iklim di sana nggak mendukung Sri untuk berkembang. Dia jauh dari keluarga, lalu kenapa? Pada akhirnya kalau dia berniat kuliah memang harus merantau. Justru ini latihan supaya dia terbiasa mulai sekarang."
Pusing lah gue.
"Aku nggak mau dia ngerepotin aku, Pa."
"Sri itu nggak manja, can't you see? Palingan Papa minta kamu nebengin dia berangkat sekolah karena dia belum boleh bikin SIM. That's it."
"Itu ngerepotin!" Gue bersikeras.
Papa mengangkat bahu. "Well, masih ada Mang Ujang yang bisa. Atau Hansel."
Gue memejam dan menggertak. Buntu gue. Otak gue panas dan mampet.
Papa mengusap lengan gue. "Sri nggak akan membebani siapapun, terutama kamu. Papa janji." Lalu, Papa tersenyum lebih teduh. "Kalau kamu merasa kerepotan karena Sri, bilang sama Papa. Papa bakal adil terhadap anak-anak Papa, nggak ada yang lebih atau kurang istimewa, termasuk Sri. Semua setara. Ja, mijn jongen?"
Ketika Papa sudah menyebut gue dengan mijn jongen (my boy), itu hampir berarti Papa sedang teramat-sangat memohon pengertian gue. Sekaligus menutup perdebatan dengan hasil gue sebagai pihak yang harus pasrah terima nasib.
***
Yeah, gue pasrah dan berserah diri.
Bahkan saat Mama nyuruh gue ikut ke Sekartaji lagi buat jemput Sri, gue diam. Masalahnya adalah diamnya gue justru disalahartikan sebagai 'ya'. Jadilah gue menjejalkan sembarang pakaian ke dalam ransel sepulang sekolah di hari terakhir try out.
Maka, di sinilah gue berakhir. Di samping Papa yang lagi nyetir, sementara gue berusaha melupakan kekesalan dengan membaca And Then There Were None yang emang sering gue baca ulang. Cuma bertahan satu jam sebelum gue pusing dan memutuskan tidur. Gue harus menghemat energi karena gantian nyetir sama Papa.
Dua belas jam kemudian, gue sudah ada di rumah ini lagi. Rumah kecil berdinding hijau pudar yang plesternya sudah rusak di beberapa bagian. Berlantai tegel abu-abu yang diaci supaya mengilap. Beberapa triplek di langit-langit memiliki warna dan ukuran berbeda, yang gue rasa ditambal seadanya ketika atap bocor. Ada noda kecokelatan bekas air di sekitarnya.
Melihat ini, gue yang malu sendiri karena dilahirkan di keluarga berkecukupan tapi jarang bersyukur.
"Mas Liam, monggo masuk dulu. Sudah digorengin wader krispi, monggo, Mas." Mana ibunya Sri baek bener. Inget aja kemarin gue ngehabisin wader satu piring di sini. Jadi sungkan gue.
Gue masuk dan, yah, makan malam. Di mana percakapan kecil dan ringan sesekali terjadi tapi gue memilih bungkam sama sekali. Gue tenggelam menikmati bebek goreng dan wader krispi. Hati kecil gue masih berharap Sri bakal menolak keputusan ini, meskipun kemungkinannya sangat kecil.
Firasat gue nggak salah. Sri bersedia menerima bantuan ortu gue.
Nggak ingin terlibat apapun, gue mundur ke sudut ruangan sambil mendekap setoples wader krispi. Gue berusaha menebalkan telinga dengan memfokuskan mata nge-game di HP. Sesekali, karena penasaran, gue melirik pembicaraan intens yang terjadi di tengah ruangan.
Ibunya Sri lagi menangis haru di pelukan Mama, terisak-isak menitipkan Sri ke Mama.
Mata gue pedes, njir. Meleyot hati gue lihat adegan sentimental begini. Dahlah balik nge-game.
***
Setelah dua hari ortu gue mondar-mandir Dinas Pendidikan dan sekolahnya Sri, kelar juga itu administrasi. Hari ini gue balik ke Jakarta bersama si cewek medok. Mana Mama nyuruh gue duduk di tengah nemenin dia. Seriously, for what?
Gue melirik Sri yang masih sibuk mengusap air mata setelah berpamitan. Cengeng. Nggak suka gue. Dia menoleh saat menyadari lirikan gue, lalu gue segera berpaling ke jendela.
At last, berpura-pura tidur adalah jalan ninja gue untuk menghindari interaksi dengan adik yang tidak gue harapkan. Males.
Cara ini berhasil seenggaknya sampai kami berhenti di rest area buat ishoma. Selesai makan, Mama ke minimarket dan Papa ngecek mobil. Tadinya gue mau nyusulin Papa tapi teguran si medok itu menahan gue.
"Mas Liam, samean ada masalah apa tho sama aku? Ngomong!"
Gue menahan napas, dengan terpaksa kembali duduk. Dia bersedekap dan menatap gue seolah berkata, 'Situ oke?'
"Masalah?" Gue memindai dia ke bawah, lalu ke atas lagi. "Gue sama lo?"
"Iya. Samean ndak welcome sama aku. Ndak usah mengelak, aku bisa merasakan. Aku ndak buta, aku ngerti mana yang tulus dan mana yang sinis."
Wow, peka juga dia. Gue ketawa sarkastis.
"Kalau sinis memang bagian karakter gue, lo mau apa?" Gue merunduk, menatap tepat di matanya. "Gue peringatkan lo. Mulai hari ini, lo akan memasuki dunia yang sama sekali berbeda dari yang pernah lo kenal. Lo akan bertemu macam-macam orang dengan beragam karakter yang nggak selalu sesuai harapan lo. Gue rasa gue salah satunya. Jadi gue minta, lo menahan pikiran dan mulut lo untuk nggak mencampuri hidup gue. Sampai sini paham?"
Dia mengernyit, kemudian menggeleng.
"Ndak, ah. Samean ini kok mbulet? Aku cuma mau menghormati Pakde-Bude. Mas denger, tho, tadi Bude bilang Mas jangan kemana-mana, harus di sini nunggu aku makan. Itu tandanya kita disuruh akur."
Gue menegakkan diri lagi, masih mengamati Sri. Badan mini, nyali tinggi. Boleh juga nih makhluk kemlinthi.
Gue mengembus pendek dan mengangguk. "Lo bener. Kita harus akur." Segera saja senyum dia mengembang lebar, dan gue membalasnya. "Karena lo pendatang baru di rumah gue, lo yang harus beradaptasi. Kalau butuh apa-apa, lo boleh tanya gue."
"Bener, nih, Mas? Tapi jangan judes." Alisnya bergerak naik-turun.
"Go on."
"Kakaknya Mas Liam itu, namanya Mas Range Rover, ya?"
Nama kakak gue ... siapa?
Buset.
Range Rover? Abang gue? Kalau abang gue Range Rover terus gue apaan? Land Rover? Apa Xpander?
"Mas? Bukan, ya?" Dia melambai di depan hidung gue. Gue mengerjap cepat.
"No! Sama sekali bukan. Abang gue Hans. Hansel! Atas dasar apa lo berpikir abang gue adalah Range Rover?!"
Kesotoyan adek ketemu gede gue bener-bener di luar nalar. Dia yang sotoy gue yang malu!
Ibu jarinya menunjuk ke luar. "Itu, di mobilnya Pakde depan-belakang ada tulisan Range Rover. Bukan nama samean, bukan nama Pakde, ya tak kira nama kakak samean. Anak-anak di sekolahku sering, tho, sepeda ontelnya ditempeli stiker nama."
Oh, gosh!
Gue membekap mulut dan segera membelakangi dia. Nggak kuat lagi gue lihat tampang bloon dia. Sumpah geli sampai ke tulang-tulang. Gue kudu ngakak tapi harus mati-matian ngempet begini demi menjaga image. Tahan, Mail, tahan jangan sampai harga diri lo ambyar!
"Maaf, ya, Mas. Aku ndak akan kepo lagi. Ya sudah, ndak usah dijawab," kata dia lagi, terdengar sungkan.
"Oke. Oke!"
Gue segera berbalik. Berhubung gue lihat sendiri dia juga punya stiker nama di sepedanya, gue percaya Sri emang sepolos itu. Maka, sebagai abang yang baik, kewajiban gue adalah membimbing dia ke jalan yang benar.
Dengan tampang serius, gue memulai. "Gue jelasin siapa itu Range Rover, tapi lo jangan nanya ke Papa atau Mama. Berhubung ini topik sensitif di keluarga gue."
Sri mengangguk. Dia menahan napas, antara tegang dan penasaran. And for God's sake she looks cute.
"Range Rover adalah ... nama ari-ari gue."
Mata beloknya memelotot.
"Ngapain ari-ari dikasih nama?!"
"Lo pasti pernah dengar ini. Ada yang bilang, ari-ari adalah kembarannya bayi. Ari-ari itu yang nemenin dan ngasih makan bayi selama dalam kandungan. Jadi, ari-ari harus dikasih penghormatan yang tinggi. Di Belanda, kampungnya Papa, ada tradisi menamai ari-ari dan disematkan pada harta benda yang bernilai mahal. Sebagai penghormatan untuk ari-ari," jelas gue.
Dengan lugunya dia mengangguk.
"Makanya, Pakde masang nama ari-ari Mas di mobil?"
"Nah, pinter! Calon penerima beasiswa kudu pinter begini!" Gue tersenyum bangga, menjentikkan jari di depan mukanya. "Jadi, sekarang lo tahu nama ari-ari gue. Lo nggak mau tahu nama lengkap gue juga?"
"Liam Van de Jager!" sahutnya pede.
"Ckckck. Salah!" Gue berdecak lalu menggeleng tiga kali.
Dia merengut. "Nggak ikut nama belakangnya Pakde?"
Senyum gue melebar, selebar rasa puas yang saat ini menguasai hati gue. Gue mendekatkan wajah, supaya bisa maksimal menikmati ekspresi tegang dia yang menggemaskan. Pengin gue pites.
"Nama lengkap gue adalah ... Liam Borghini."
Dia masih bergeming. Lagi mikir, gue rasa.
"Kayak pernah denger," gumamnya.
Gue menegakkan diri sambil ketawa sombong. "Nggak mungkin. Nama gue satu-satunya di dunia, the one and only, Liam Borghini!"
Dia mengangguk lagi, masih selugu tadi. Kemudian ketegangannya mencair digantikan senyum semringah. Lihat, betapa manisnya adik baru gue. Gue akan mencerdaskan dia lebih jauh lagi.
"Mas Liam, tahu nama lengkap gue, ndak?" Dia bertanya balik. Wait. Ngapain dia pakai 'gue' segala? Bikin mules.
"Tahu. Sri Kemlinthi," jawab gue.
Dia menggeleng dramatis. "Ckckck. Salah! Nama lengkap gue adalah—"
"Sri Kemlinthi."
"Ndak! Nama lengkap gue adalah Sri—"
"Lo nggak cocok lo-guean, cewek metal! Medok total!" maki gue.
"Mas! Kemlinthi bukan nama orang! Namaku Srika—hmph!"
"Sri Kemlinthiii!" Gue membekap mukanya hingga dia megap-megap. Sumpah gatel bener tangan gue, akhirnya kesampaian juga. Puas gue! "Sri Kemlinthi, Sri Kemlinthi, Sri Kemlinthi. Nama lo adalah Sri Kemlinthi. Fixed!"
Dia ngamuk. Gue menghindar dengan lari menyusul Papa. Papa heran melihat gue ngakak nggak selesai-selesai, tapi tentu saja gue nggak menceritakannya. Ini rahasia gue dan si kemlinthi.
Dan, oh, jangan salah. Gini-gini gue paham apa itu kemlinthi.
***
Kok bisa Liam tahu apa itu kemlinthi? Ya bisalah, Liam kan cerdas. Cari tahu sendiri bisa kali wkwk.
Sejauh ini, gimana POV Liam?
Lanjut?
Minami-Kusatsu, Shiga, 11 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro