Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03. Koper kuning

Setelah mengantarkan Areta ke rumah sakit, kini Elka dan Annisa memutuskan untuk pergi ke sel tahanan tempat di mana Winda ditahan. Elka hanya penasaran saja, ingin melihat langsung bagaimana Winda sebenarnya.

"Kamu yakin mau menemui dia?" tanya Annisa.

"Emangnya kenapa? Aku hanya pengen tahu saja seperti apa Winda. Gadis yang sanggup membunuh ayahnya sendiri. Yah, meski bisa dibilang ayahnya memang berengsek juga sih," jawab Elka.

"Hush! Jangan ngomong gitu, El."

Setelah melewati beberapa pemeriksaan, akhirnya Elka dipersilahkan untuk menunggu di sebuah ruangan khusus untuk kunjungan. Tak menunggu waktu yang lama, petugas membawa Winda ke hadapan Elka. Tangannya dibrogol, memakai pakaian tahanan. Rambut acak-acakan, wajahnya pucat dan tatapan kosong. Gadis itu diam, bahkan tak mendapat Elka sama sekali.

"Winda," panggil Elka membuat gadis di hadapannya itu menoleh pelan. "Kenalin gue Elka."

Winda tak merespon.

"Bagaimana rasanya bermalam di sel tahanan?" tanya Elka frontal. "Memuaskan setelah membunuh ayahmu sendiri?"

Winda melirik tajam.

"Gue tahu bukan lo pelakunya," kata Elka pelan.

"Apa maksudmu? Jelas-jelas aku yang bunuh!" Reaksi Winda membuat Elka puas.

Elka berdiri dari duduknya. "Gue nggak tahu apa motif dari pengakuan lo ini, tetapi gue akan cari tahu. Kalau memang penjara membuatmu lebih nyaman daripada kehidupan luar, itu pilihanmu, lagipula gue nggak punya hak untuk menggugat pilihan orang."

Setelah itu Elka keluar dengan perasaan yang bertambah yakin bahwa Winda bukan pelaku sebenarnya. Annisa mengikuti Elka ketika keluar dari ruang kunjung.

"Sudah gue duga, bukan dia pelakunya."

"Kenapa begitu?"

"Dia nggak merespon apa pun bahkan saat dikunjungi orang yang nggak dia kenal. Dia malah merespon tajam saat gue terus terang dengan asumsi gue." Elka terdiam sejenak. "Reaksi dia berlebihan, seakan ingin menekankan bahwa dialah pembunuh yang sebenarnya. Cukup menarik!"

"Lalu bagaimana selanjutnya, El?" tanya Annisa lagi.

"Jika dikaitkan dengan masalah yang terjadi hari ini rasanya kita menemukan sebuah kesamaan. Winda dan Areta merupakan mahasiswa di Universitas yang sama."

"Benar juga. Tapi, kamu yakin ini ada kaitannya?"

Elka mengangkat kedua bahunya. "Segala sesuatu bisa saja berhubungan. Gue hanya sedang memikirkan semua kemungkinan."

***

Pada malam harinya, Elka kembali ke rumah sakit Melati, tempat Areta dirawat. Kali ini ia hanya sendirian, Annisa tak bisa ikut sebab masih menyelesaikan berbagai program kuliahnya. Sementara Elka memasuki lift menuju lantai 20 ruang VIP. Gadis itu bersandar di lift, saat di lantai 10 pintu lift terbuka dan ada beberapa orang masuk bersama para perawat yang membuat lift itu sedikit penuh.

Elka dapat mencium aroma obat-obatan dengan jelas dan ia kurang suka dengan itu. Saat sampai di lantai 20, hampir semua orang turun termasuk dirinya, menyisakan seseorang yang bertahan di sana.

Elka tak terlalu mempedulikannya. Saat sampai di lantai 20, ia segera bertanya ke resepsionis yang ada di sana.

"Malam, Sus ruangan Areta yang masuk tadi siang di mana ya?"

"Oh, adiknya polisi itu ya?" tanya suster itu, Elka seketika mengangguk. "Sudah pindah, mbak. Dari sore dipindahkan ke lantai 10."

"Pindah?"

"Iya. Soalnya tadi ada permasalahan data, ruang VIP di lantai ini penuh, jadi ada beberapa pasien yang terpaksa harus dipindahkan ke lantai 10 termasuk pasien atas nama Areta. Kebetulan juga hasil pemeriksaannya lumayan baik, luka memar dan sedikit trauma saja. Dia sudah bisa berjalan sendiri tadi."

Elka mengangguk dengan sedikit keberanian. Perasaannya menjadi sedikit cemas. "Baik, Sus, terimakasih."

Gadis itu akhirnya menelefon Tomi. Tak perlu waktu lama untuk tersambung.

"Halo, Tomi. Kenapa lo nggak bilang Areta pindah kamar?"

"Gue juga baru tahu, Yudha barusan sampai di sini gantian sama petugas lainnya. Katanya ada masalah data rumah sakit."

"Sudah berapa lama Yudha di situ?"

"Baru saja, kenapa?" tanya Tomi di seberang sana.

Elka terdiam, seketika otaknya memutar seluruh rangkaian kejadian tadi. Lantai sepuluh dan menyisakan satu orang yang bertahan di lift itu sepertinya akan terus ke lantai paling atas.

Elka berlari ke pintu lift dan segera menekan tombol pintu itu.

"CEPAT DATANG KE RUMAH SAKIT, FEELING GUE NGGAK ENAK!"

"Maksud lo apa? Ngomong yang jelas, Elka!"

"TADI GUE NGELIAT ORANG MENCURIGAKAN MASUK DARI LANTAI SEPULUH DAN MENUJU LANTAI ATAS. SIAL! GUE NGGAK MEMPERHATIKAN DIA!"

Telefon terputus. Elka menekan tombol angka lift paling atas, menuju rooftop rumah sakit. Jika ingatan Elka benar, orang itu terlihat membawa koper besar berwarna kuning. Sekelebat ingatan koper yang terlihat dari ujung matanya itu tampak jelas di ingatan Elka.

Instingnya memburuk.

Begitu sampai di lantai 25. Elka keluar dan segera menuju pintu darurat untuk menaiki tangga rooftop.

Terkunci!

"SIAL!"

Elka kembali berlari ke meja resepsionis. "Hubungi pihak keamanan untuk membawa alat membuka pintu rooftop!"

"Tapi itu terkunci dari luar," jawab suster itu yang ikut panik melihat wajahnya Elka.

"YA MAKANYA DIBUKA! CEPAT!!!" teriak Elka mengundang keributan di sana.

"T-tapi itu bahaya untuk ke sana--"

"LO BISA DIEM NGGAK? BAWA KUNCINYA SEKARANG!"

Elka kembali ke pintu rooftop dan menendang pintu itu. Meski sangat percuma. Tak lama kemudian ada beberapa orang keamanan menghampirinya lalu berusaha membantunya.

Namun, sebelum pintu itu benar-benar terbuka. Suara bising samaar-samar tertangkap di telinga Elka. Pintu terbuka memperlihatkan kekosongan di sana. Elka berlari menuju tembok pembatas atap itu lalu melongo ke bawah. Melihat sebuah mobil yang menyala-nyala dengan suara alarm keamanan yang berbunyi. Lalu di iringi dengan teriakan kaget orang-orang.

Sebuah mobil baru saja sampai.

Yudha dan Tomi. Dari atas ini, Elka bisa melihat dua lelaki itu membatu di tempat, melihat sosok gadis yang kini tak bernyawa tergeletak di atas mobil sedan berwarna hitam.

Elka terlambat!

Elka mundur melihat ke sampingnya, koper berwarna kuning itu masih di sana. Elka membukanya, sebuah surat seperti kartu ucapan tertinggal di sana. Elka mengantongi kertas itu sebelum akhirnya turun dan menelefon Annisa.

Mereka mendapat masalah baru dan Annisa harus segera mengambil alih penyelidikan ini. Sebelum terlambat, setidaknya mereka harus mendapat rekaman jelas tentang pelaku yang bahkan sempat satu lift dengan Elka itu!

***

A/N : Hai, aku update lagi hehe. Semoga bisa menghibur malam minggu kalian! See you di minggu depan ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro