Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 1

☆☆☆☆☆

Warna keperak-perakan membias di langit Kartasura. Tanda waktu Maghrib segera tiba. Seperti biasa, jamaah yang terdiri dari para penduduk mukim sekitar pondok dan juga para santri sudah mulai berbondong-bondong menuju masjid. Terlihat canda tawa mengiringi setiap langkah mereka. Dengan wajah Semringah seakan bersuka cita menyambut panggilan-Nya. Begitu pun aktivitas di area tempat wudhu. Saling berebut mengambil tempat dan posisi demi bisa berwudhu lebih dulu.

Syamsul Ali, pemuda berusia 27 tahun berperawakan tinggi itu hanya bisa tersenyum saat melihat semua momen penuh keakraban itu terlukis nyata di depan mata. Itulah salah satu diantara beberapa alasan mengapa ia memilih untuk menetap di pondok ketimbang menerima tawaran yang membuat ia harus jauh dari kehidupan yang sudah ia geluti sejak 15 tahun lalu.

Ya, Pesantren Darussalam, pondok yang terletak di kota Solo inilah rumah kedua bagi Ali. Rumah yang sudah menjadi bagian dari dirinya. Tempat bernaung sejak usianya baru menginjak sebelas tahun. Lebih tepatnya sejak uluran tangan-Kyai Ikhyan- abah yang baik hati dan telah sudi membawanya ke sini. Orang yang telah berjasa menghilangkan kekelaman hidup yang tidak semua orang tahu.

Sore ini, seiring Adzan berkumandang, Pemuda berkulit bersih itu sudah terlihat tampan dengan balutan baju koko dan kain sarung membuat lelaki lajang itu semakin terlihat berkharisma. Seluruh penghuni pun hapal betul, mengapa Ali kerap menjadi perhatian para santri putri juga jamaah pengajian ummahat ketika ia harus mengisi pengajian rutin di masjid pondok atau masjid kampung sebelah yang tidak jauh dari pondok.

Sebenarnya, Ali merasa risih jika terus menerus diperhatikan dengan mata yang seolah memandang dirinya begitu istimewa dari ustadz-ustadz yang lain. Apalagi status lajangnya yang kerap membuat banyak para jamaah ibu-ibu yang secara berterusterang memintanya menjadi mantu. Bukan hanya itu, Ali bahkan kerap memergoki para santri putri yang masih dalam masa mengabdi kerap mencuri pandang ke arahnya. Kendati demikian, itu tidak membuat Ali sertamerta berbangga diri. Sikap tenang juga ramahnya senantiasa menjadi perhiasan dalam ia bersikap, meski kadang menurutnya tatapan semua itu terlalu berlebihan namun ia tak berani terlalu serius menanggapi permintaan kebanyakan celotehan jamaah ibu-ibu itu. Ali hanya menggap semua itu hanya candaan yang terlontar lantaran melihat statusnya yang masih lajang. Lagi pula, untuk saat ini Ali juga belum terlalu memikirkan soal keinginannya berumahtangga. Bukan karena ia tak mau untuk sesegera mungkin menuju pelaminan, bukan pula ia terlalu pemilih, tidak. Akan tetapi, lebih tepatnya Ali hanya merasa belum siap untuk menempuh jenjang yang bernama pernikahan. Terlebih lagi untuk saat ini Ali merasa masih belum ada seorang pun yang mampu menggetarkan hatinya dan menerima dirinya apa adanya. Pernikahan baginya bukan sekadar ajang untuk mengugurkan status lajang semata, melainkan sebuah ikatan suci di mana jalinan itu adalah sebagai penggenap separuh agamanya dan jalan ibadah menuju keridhaan Allah.

Tanpa terasa waktu bergulir kian cepat. Senja kian merangkak. Cahaya perak kian merangkak membakar langit, membias yang perlahan warnanya berubah menjadi keunguan. Kumandang Adzan dari rumah-rumah Allah mulai saling bersahutan. Lelaki jangkung itu melangkah demi menunaikan kewajibannya. Satu per satu tangga menuju masjid baru saja dipijaknya. Namun tepat saat ia berpijak di urutan tangga ke tiga, langkahnya terhenti karena mendengar seseorang menyerukan namanya.

"Ustadz! Ustadz Ali!"

Ali menghentikan langkah seraya melihat ke arah pemuda yang berlari kecil, memanggil seraya menghampirinya.

"Rizal?" gumamnya dalam hati.

Rizal ialah seorang santri yang Ali kenal masih duduk di bangku Aliyah. Pemuda kelas tiga yang menjadi salah satu pengurus santri di pondok itu terlihat panik. Melihat kepanikan Rizal tentu saja Ali heran ada apa gerangan yang membuat Rizal demikian? Belum sempat Ali bertanya, Rizal sudah lebih dulu berbicara.

"Maaf, us-tadz ...." pemuda itu berhenti di depannya seraya berusaha mengatur napasnya.

"Ada apa, Zal?" Ali menautkan kedua alisnya penuh tanda tanya.

Pemuda berkulit kecokelatan itu tidak langsung menjawab. Dia sedikit kewalahan mengatur napasnya yang naik turun. Sebentar membungkuk seraya kedua tangan memegangi lututnya, lalu mendongak, menegakkan tubuhnya seraya menghadap sang Ustadz yang cukup dikenalnya.

"Anu, Ustadz, eee ... Tadi ...." Rizal masih ngos-ngosan,"Abah, Ustadz," imbuhnya lagi.

"Abah kenapa?"

"Anu ...  Eeeh ...." Rizal masih kesulitan mengatur napasnya yang turun naik. 

Ali terkekeh seraya memegang bahu pemuda itu sambil berkata, "Tenang,  Zaaal ... Tegakkan badanmu, tarik napas, hembuskan. Lon-alon ... Ono opo to, Zal?" tanya Ali.

Rizal nyengir dan mencoba mengatur napasnya untuk lebih tenang.  Barulah ia melanjutkan ucapannya, "Itu ustadz, tadi Ummi pesan  katanya, Ustadz diminta untuk mengganti Abah imami jamaah shalat Maghrib sore ini. Terus ... Ummi juga bilang, Ustadz ditunggu di rumah bakda shalat Maghrib."

"Loh, memangnya Abah Kyai kemana to, Zal?"

"Saya kurang tahu, Ustadz.  Ummi ndak bilang kenapa dan kemananya.  Saya cuma dititipi pesan begitu saja."

"Oh, ya sudah, in syaa Allah, nanti saya segera ke sana. Suwun, yo," tutur Ali seraya menepuk bahu Rizal sambil tersenyum. 

"Ya, sama-sama, Ustadz." Rizal mengangguk hormat.

"Ya sudah, ayo, naik. Sudah Maghrib. Kamu sudah ambil wudhu?"

"Belum, Ustadz."

"Ya sudah, kamu ambil wudhu ... Terus kita siap-siap berjamaah salat Maghrib. Jamah sudah pada kumpul."

Rizal hanya mengangguk patuh, berjalan mengekor di belakangnya.  Ali pun masuk ke masjid sedangkan Rizal berbelok ke arah sebelah, di bangunan samping kiri menuju ke tempat ia mengambil air wudhu. 

Shalat maghrib berjalan lancar sampai dzikir dan doa. Para santri lanjut pada kegiatan rutin membaca asmaul husna dan pembacaan Surat Yasin. Sedangkan Ali beranjak dari duduknya.  Berjalan ke luar, bergegas memenuhi amanah Ummi untuk segera menemui Abah Kyai di kediaman beliau.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro