Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian IX

Aku mencubit perutnya. Abang meraung-raung kesakitan. Entah kalau pura-pura sakit saja. Tapi aku sungguh greget mencubitnya. Rasa damai itu sungguh sangat membuatku bergairah menyambut hari-hariku. Tadi pagi Salat Subuh tidak perlu dibangunkan oleh mama. Aku bangun sendiri, ternyata Bang Ir sudah bangun duluan. Baru melek matapun semprul dalam dekapanku ini sudah menjahili aku. Tadi pagi saat aku sudah mengambil air wudhu, ia mencium pipiku. Aku mesti berwudhu lagi. Aku pura-pura nangis tapi dia tak acuh.

Sampai di gerbang sekolah, aku berpisah dengan abangku. Seperti hari-hari lazimnya, Si Dungu sudah menungguku. Rambutnya licin di sisir ke samping. Kaca mata pantat botol itu tidak pernah lepas dari muka culunnya. Fahrur Riza selalu mengancingkan bajunya sampai mencekik lehernya. Haduh...culun banget.

"Pagi, cantik."

"Hmmm. Apa? mau minta gampar!"

"Ih, galak amir sih? Amat aja gak galak kok."

"Garing! Gak lucu!"

"Makin cantik deh, kalau ngambek gitu."

"Ih, siapa juga juga yang ngambek."

"Kamu. Itu cembetut.."

"Sok manis! Minggir aku mau lewat!" bentakku pada Prof Linglung, yang masih menghalangi jalanku.

Akhirnya jurus andalan harus aku keluarkan supaya jalanku tidak dihalanginya. Aku mengancam akan mencabut kacamatanya. Tanpa kaca mata dia adalah manusia rabun tak tahu warna dunia. Fahrur Riza menyerahkan jalan yang dikuasainya, aku pun melenggang santai di depannya.

Aku tidak tahu ternyata si linglung itu membuntutiku sampai masuk ke kelas. Dia duduk di sampingku. Ih, aku sangat-sangat sebel. Aku mengancam akan mencabut kacamatanya lagi, baru si culun itu pindah. Saat itu kelas masih kosong, hanya aku dan Riza saja. Aku keluar kelas dengan terpaksa, dan menyeret kakiku ke kantin.

"Dewi, mau kemana!" Si rabun itu masih saja mengejarku. Huft, kalau enggak bisa romantis jangan maksa kenapa, gumamku sendiri. Setengah berlari Si Dungu mengejarku.

"Tunggu, Wi!" pekiknya lagi.

Aku Tak Acuh, dan terus melenggang menuju kantin cewek. Meski dengan gontai melambai seperti daun ilalang tertiup angin, sampai juga si kacamata pantat botol itu menyusulku.

"Kenapa sih kamu menghindariku terus?"

"Hmmm, kamu itu tidak tahu diri, Riza! Aku eneg melihat kedunguanmu itu," jawabku ketus. Berharap dia tersinggung dan meninggalkan aku. Aduh, ternyata tidak. Si Dungu ini tetap berjalan di sampingku.

"Yuk ke kantin, aku traktir," rayunya dengan suara ringan.

"Enggak usah repot. Aku dikasih uang jajan juga kok sama orang tuaku."

"Pokoknya aku ingin traktir kamu."

"Jangan keras kepala ya, Za!"

"Memang kenapa?"

"Kena paku!"

Aku berbalik arah, tidak jadi ke kantin. Fahrur Riza tetap membuntutiku, seperti anak manja yang minta uang jajan ke emaknya. Aku membali masuk ke dalam ruang kelas. Untung Inayah sudah ada, selamatlah aku dari teror manusia dungu ini. Aku duduk di samping Inayah yang sedang mengerjakan PR menulis puisi akrostik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: