Bagian II
Tertawanya renyah, mungkin dia sedang bahagia. Alhamdulillah, aku ikut bahagia mendengarnya. Cinta pertamaku itu mungkin sudah mendapatkan tambatan hati, setelah beberapa kali dikecewakan perempuan. Aku ingat dulu ketika aku masih kecil, aku menguping curhatnya ke Mamaku, kalau pacarnya selingkuh. Mirisnya pacarnya yang aku tahu orangnya itu dipergoki sedang bercengkrama di lobby sebuah hotel di kota kecilku. Pacar pertamanya yang sejak dia kuliah, meninggalkannya juga. Konon menikah dengan sahabat abangku sendiri.
"Kangen apaan, Periku. Kalau abang ada kamu bukannya tersiksa."
"Iya. Abang jahat sekarang sama aku. Enggak sayang lagi."
"Habis kamu enggak mau lagi abang cium."
"Ya ampun, Bang. Aku bukan boneka kayumu lagi. Aku sudah gadis kini."
"Kamu tetap peri kecilku, sayang."
"Tuh kan, jahat! Abang punya pacar di sana?"
"Kalau punya kenapa? Kamu cemburu?"
"Hahaha..abang mah. Aku cemburu sih tapi sekaligus aku bahagia, Bang."
"Lips service! Bilang aja kamu cemburu, Periku."
"Jahat! Udah ah aku mau bobo."
"Mau abang keloni dan dongengi?"
"Engaaaaaaaaaaaak! Gak mau lagi. Abang, jahat sekarang."
"Jahat bagaimana, Periku? Ya sudah bobo gih, jangan lupa cuci kaki, minum obat cacing, dan have nice dream, Periku."
"Jahat!"
Ada perasaan lega ketika mendengar suaranya. Sumbatan dalam dadaku sepertinya meleleh cair. Sengkarut dalam otakku pun seperti terurai dengan sendirinya. Suara teduh itu mengobati resahku.
Mungkin kah aku kelak bisa mempunyai pangeran sebaik dia? Laki-laki yang melindungiku dengan tangan kekarnya, namun belaiannya lembut seperti sutra. Suaranya berat dan tegas, namun merdu ketika merayuku. Mukanya tidaklah tampan seperti Arjuna tapi setia akan cinta dan kasih sayangnya. Sayang sekali kamu dilahirkan haram untuk aku miliki. Kamu abangku sendiri, meski bukan abang kandung. Dia sepupuku.
Azan Subuh dari Surau membangunkanku dari mimpi indah. Mimpi dipeluk Bang Irvandi dengan segala cinta kasihnya. Aku mencurahkan segala manjaku kepadanya. Ah, kini aku harus berhadapan dengan kenyataan. Mamaku yang perfectionis, papaku yang tidak bisa mengekspresikan rasa sayangnya, dan dua abangku yang jaim. Pintu sudah di ketuk mama, untuk salat subuh berjamaah. Aku membunuh rasa malasku, segera aku bangun dari pembaringan nyamanku.
"Iya, Ma.."
"Salat Subuh, sudah ditunggu papa."
"Iya, Ma.."
Aku bergegas mengambil wudhu di kamar mandi dalam kamarku. Air terasa dingin dan meresap di permukaan kulitku. Hati menjadi teduh. Aku keluar kamar menuju ruang salat sudah mengenakan mukena warna merah jambu. Papa mengimami kita salat subuh berjamaah. Seperti biasa sehabis salat aku selalu mendoakan abang sepupuku itu. Doa supaya ia diberikan kesehatan, keselamatan, dan diberikan seorang permaisuri yang cantik dan baik hati. Air mataku selalu menitik jika mengingatnya, rindu, rindu, dan selalu rindu jika jauh darinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro