t i g a
Well, Halloooo.
Double up yaaaaa. Seneng gaa? Seneng gaaa? Seneng laaaah masa nggaaaaak wkwkwkwk.
Oh iya. Untuk part-part awal cerita ini sebenarnya berfokus di ustad ahsan dan segenap persoalan santri. Ini cuma gambaran kecil pondok pesantren ya, tidak bisa dijadikan acuan atau disamaratakan semua pesantren seperti ini. Nggak kok. Tiap pesantren punya sistemnya masing-masing.
Sebelum lanjuts, mari kita quick question dulu.
Jawab yaaa..
Apa arti sahabat bagimu?
Punya sahabat nggak?
Kehilangan cinta atau kehilangan sahabat?
Dibully atau membully?
Yang paling kamu rindukan waktu di pondok?
🍂🍂🍂
MAHFUZHOT
Man shabara zhafira
Whoever is patient will win.
🍂🍂🍂
Waktu shalat zuhur selalu menjadi waktu yang paling banyak memakan korban untuk ditugaskan membersihkan toilet umum atau mencabut rumput halaman. Pasalnya, di waktu-waktu ini santri berkejaran dengan jadwal yang padat untuk disesuaikan agar tetap dapat berjamaah di masjid seusai jam pelajaran. Belum lagi di jam-jam ini ketika bayangan seseorang hampir sama dengan tingginya, rasa lapar, penat dan kantuk berkumpul menjadi satu.
Bel tanda berakhirnya jam pelajaran pagi memang dibunyikan pukul 11.30, dimana para santri hanya punya waktu sedikit untuk mempersiapkan diri menuju masjid. Adalah sebuah berkah bagi kelas yang selesai lebih dulu atau saat gurunya tidak masuk, karena akan ada waktu kosong untuk mereka sekedar merebahkan diri, atau mengisi perut yang mulai memberi rasa perih minta diisi. Beberapa dari mereka sengaja qailulah sebelum zuhur tetapi terlewat waktu shalat berjamaah karena keterusan tidur. Ada juga kelas yang baru benar-benar bubar tepat saat azan berkumandang karena asyiknya pembahasan sang guru, yang seperti ini sudah tidak ada waktu lagi kembali ke asrama untuk mengganti baju, mengambil sarung dan sajadah. Mereka hanya akan langsung berwudhu di tempat wudhu masjid dan solat dengan seragam sekolah serta peci yang memang mereka kenakan setiap saat.
Menjelang zuhur ini--dengan terlebih dulu mengenakan pakaian shalat dan sarung"seperti biasa aku akan berkeliling patroli, mengecek semua ruangan-ruangan kelas yang sudah selesai digunakan, memastikan semuanya sudah benar-benar kosong. Termasuk laboratorium yang tadinya dipakai oleh beberapa kelas sesuai jadwal mata pelajaran mereka. Memastikan pendingin ruangan sudah dimatikan- meski lokasi pesantren ini berada di dataran tinggi dengan udara sejuk, namun beberapa ruangan tetap diberikan pendingin ruangan seperti laboratorium yang hanya dipakai sesekali.
Seusai memeriksa ruangan lab. bahasa yang tadi dipakai oleh kelas 10 kini langkahku menuju lab. komputer. Biasanya lab. komputer ini yang paling sering jadi tempat berkumpulnya santri seusai belajar. Makanya itu kunci-kunci ruangan ini diamanahkan kepadaku karena jika dipegang hanya oleh santri ataupun pempina putri akan sangat gampang bagi mereka menginvasi dan menyalahgunakannya.
Benar saja, belum sampai tepat di depan pintu laboratorium, sesosok santriwati sudah terlihat di mataku. Saat semakin dekat kukenali gadis itu adalah Gladys yang ketika kupanggil namanya ia membalik badan dengan berdehem-dehem tidak jelas.
Ah. Dia pasti sedang berjaga dan teman satu geng nya di dalam sedang menonton drama seri. Siapa lagi kalau bukan geng micin yang memang sering membuat pusing.
Gladys masih berdeham-deham dihadapanku. Iseng kutanyakan ada apa dengan tenggorokannya yang terdengar seperti tersangkut tulang ikan itu, dia masih berusaha tenang walaupun sudah sangat terbaca gelagatnya berusaha menghalang-halangiku untuk masuk ke lab.
"Mau ngecek komputer sama ngunci lab. Tadi lupa," jawabku saat dia juga mempertanyakan keberadaanku di sini menjelang azan zuhur begini.
"Biar Gladys yang ngecek, Ustadz," sahutnya setelah memekik kencang ketika aku hendak maju ke arah pintu.
Geng Micin ini benar-benar tidak lagi takut padaku. Ketika kusuruh menyingkir, Gladys malah semakin menghalangiku dengan berbagai usaha. Baiklah, aku juga akan tetap masuk dan melihat sendiri ada siapa yang sedang bersembunyi di dalam.
"Gladys mau nanya sesuatu, Ustadz."
Oh. Pantang menyerah juga rupaya anak ini. Baiklah mari kita ladeni dulu.
Setelah lama berpikir, ia kemudian menanyakan perihal Gus Nuril yang kabarnya akan kembali dari Turki. Astaga. Bagaimana mungkin aku tidak tahu Gus Nuril. Kesayangannya Nyai yang saking sayangnya, kami pun ikut menyayanginya. Aku tentu juga tidak sabar menunggu kepulangannya.
"Kamu kenapa tanya-tanya? mau cari perhatian juga?"
Gladys segera menggeleng keras meyakinkan bahwa dia tidak tertarik dengan Gus Nuril seperti santri yang lain. Ya aku percaya itu.
Kuembuskan napas keras, "ya sudah, Ustadz mau kunci lab. Minggir. Sebentar lagi azan ini."
Sambil tanganku mendorong pintu lab yang sedikit terbuka, lebih cepat dari Gladys yang masih berusaha menghalangi. Dan segera kutangkap presensi penyebab dari gelagapannya Gladys sejak tadi, sedang asyik menonton dengan earphone yang melingkari kepalanya. Sama sekali tidak menyadari kedatanganku, bahkan juga kode-kode dari Gladys yang kini sudah pasrah.
"Meda!"
Dengan sekali gertak dalam jarak yang tak terlalu banyak, gadis itu tersentak dan segera melepas fon telinga yang tadi menyumpal pendengarannya. Wajahnya segera berubah pucat. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, aku semakin memasang mode tegas.
"Kalian berdua ikut saya ke ruangan!"
Mereka beruntung azan zuhur keburu berkumandang. Kuberi hukuman sekedarnya dengan hafalan mufradat lalu buru-buru melangkah ke masjid. Kupastikan Meda sedang bersorak sekarang karena mendapatkan hukuman yang sama sekali tidak menyulitkan mengingat dia memang sudah menjadi santri dari kelas tujuh disini.
Shalat jamaah zuhur berlangsung khidmat. Sejenak menepi dari aktifitas di tengah hari. Mengisi kembali energi untuk memacu diri melanjutkan kegiatan lagi.
"Allahu Akbar."
Gema takbir dalam hening yang mengkomandoi gerakan rukuk - sujud para jamaah siang hari yang terik ini menjelma kesejukan yang menjalari tiap-tiap sanubari, memberi rasa syukur atas segala nikmat dan karunia-Nya sampai hari ini.
"Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa berdzikir kepada-Mu, dan mensyukuri-Mu, serta memperbagus ibadah kepada-Mu."
🍂
Aku masih duduk di beranda wisma asatidz seusai zuhur sambil memantau santri-santri yang mengantri makan siang dengan menggenggam piring masing-masing.
Antrian panjang yang mengulat seringkali memicu keributan, meski santri-santri senior sudah bisa mengamankan situasi, pembina ataupun asatidz tetap mesti pasang badan sesekali. Seru juga mengamati mereka yang sedang mengantri dengan berbagai macam tingkah dan ekspresi untuk mengusir bosan. Ada yang sambil berdendang, mengulang-ulang hafalan dengan lengking suaranya. Ada pula yang sambil memutar-mutar piring plastiknya dengan satu jari dan akan saling pamer jika ada yang berhasil membuat piringnya berputar lama di atas jari telunjuknya. Dan tentu saja, bukan anak remaja namanya jika tidak ada yang usil saling mengerjai.
"Ustadz Ahsan..."
Bian yang juga masih mengenakan seragam putih abu-abunya datang dengan senyum paling lebar dan menyapaku dengan nada agak merayu.
Hm. Aku mencium bau-bau... modus.
"Ustadz nggak mau nyuruh kita beli apa gitu, keluar, Tadz?" tanyanya penuh harap. Di belakangnya yang tidak terlalu jauh berdiri Kahfi yang melempar senyum lebarnya juga.
"Beli? Beli apa? Saya nggak pengin apa-apa. Udah sana kamu makan. Nanti keburu kelas siang."
"Justru itu, Tadz. Ustadz nggak liat itu antriannya udah kaya antri padang mahsyar. Udah keburu sakit maag, Tadz."
"Jangan ngawur, kamu! Padang mahsyar dibawa-bawa."
"Maaf, Tadz. Efek lapar."
"Ya, kalau lapar, makan lah. Ngapain kamu disini."
Bian mengacak rambutnya, "astagfirullah, Ustadz nih, ya. Mau marah tapi takut dosa."
Aku tersenyum kecil mendengarnya.
"Fi, Kahfi. ente faqod lah."
Kukira dia akan menyerah, malah memanggil Kahfi. Langkah kaki panjangnya segera mendekat ke arah kami. Juga dengan senyum yang memamerkan semua gigi dan lesung pipitnya.
"Ustaaadz, hehehe."
Perasaanku mulai tidak enak.
"Hmm... madza turid?" (Hm. Mau apa?)
"nasta'zin, Tadz. Sanasytari Tho'am." (Izin, tadz. Mau beli makan)
"Kenapa beli? Bukannya ngantri aja."
"Ngantrinya masih jauh, Tadz. Kita kan kasih adek-adek yang kecil dulu. Tapi keburu lapar, hehe. boleh ya, Tadz, keluar sebentar cari ganjalan perut."
Bian mengangguk-angguk mendukung Kahfi.
"Oh begini ya sekarang santri senior males ngantri nasi. Isytari fil maqshof" titahku.
"Yah, Ustadz kaya nggak tau aja jam segini kantin udah tutup, Ustadz."
"Ayo dong, Tadz. Keburu bel."
"mamnu'" (dilarang)
Mereka langsung lemas mendengar jawabanku yang tidak sesuai harapan.
"Kalau kalian diizinkan, yang lain juga mau keluar nanti. Udah nggak usah. Tunggu saja sebentar lagi. Nggak makan sekali juga nggak mati kok."
"Oh, tenang aja, Tadz. Kita udah pikirin solusinya." Bian mendadak semangat lagi.
"Jadi ceritanya Ustadz yang suruh kita keluar beli sesuatu. Pake motor. Kalau begitu nggak akan ada yang mau izin juga."
"Kamu nyuruh saya bohong? Modus aja lagi pengin naik motor,"
"Kan nggak bohong kalau ustadz nyuruh kitanya betulan. Jadi, ustadz mau dibeliin apa?"
Nah, kan. Nggak bohong perasaan tidak enak tadi itu.
Setelah memutar-mutar bola mata sejenak. Sengaja biar Kahfi sama Bian jadi harap-harap cemas,
"hasanan. irji'u ba'da tsalatsuna daqiqotan. Laa tata-akhkhor!" (Oke. Balik lagi setelah 30 menit. Jangan telat!)
Kurogoh kunci motor dari saku baju koko. Lalu kuberikan pada Kahfi dengan syarat harus kembali dalam waktu tiga puluh menit.
"Aiwa, Ustadz. Insya Allah. Syukron."
"Perginya berdua aja. Jangan cengtri sama Khairul juga. Nanti dia pulang mampir lagi ke rumahnya."
"Ustadz jadi mau dibeliin apa?"
"Nggak usah, ana muflis. idzhab bisur'ah." (Saya bokek. Pergi aja cepet)
Mereka kompak menahan tawa. Mungkin takut kalau ketawa nanti kunci motornya ku tarik lagi.
Mereka akhirnya pergi dengan sumringah. Alasannya disuruh oleh saya. Padahal saya nggak suruh apa-apa. Ya sudahlah.
Seulas senyum kusunggingkan.
Jika di santri putri Geng Micin sering berbuat ulah, di santri putra ini Kahfi dan kawanannya yang sering bikin geleng-geleng kepala. Lucunya, mereka ini justru kumpulan santri-santri yang berprestasi baik di bidang akademik, agama bahkan seni, meskipun ulah mereka sering diluar ekspektasi. Tapi kadang-kadang jadi merasa perlu mengapresiasi mereka dengan sedikit perlakuan baik. Sedikit saja. Tidak banyak.
Sebut saja Kahfi, dengan hafalan qurannya dan bahasa arab yang fasih karena katanya memang pernah menetap di Madinah. Kahfi lebih lancar bahasa arab daripada bahasa daerahnya sendiri. Apalagi bahasa Jawa. Maka dia akan terus berbahasa arab meski bukan hari bahasa arab. Beberapa kali pula dia memenangkan kompetisi bahtsul kutub antar pon-pes. Masih sempat pula jadi anggota tim nasyid. Atau Khairul yang meski selalu terlihat tidur saja, tapi saat ujian nilainya pun masih bersaing dengan peringkat atas. Dia juga senang menghijaukan asrama dengan tanaman atau kebun cabe rawit yang bisa langsung dipetik untuk teman makan nasi.
Kalau Bian, hm.. Bian keahliannya apa, ya? Selain pandai merawat diri, dia adalah vokalis utama grup nasyid yang masih menjadi juara bertahan di kompetisi. Sebenarnya Bian ini juga cukup cepat dalam menghafal. Hanya saja dia masih ragu untuk menentukan pilihan dan melatih fokus diri. Juga takut menyampaikan kepada orang tuanya yang mempersiapkan Bian untuk mengikuti jejak sang ayah, ibu dan kakak-kakaknya.
Ada juga Meda anak olimpiade matematika. Syahlaa yang cinta mati sama biologi, dan Gladys anak literasi yang terobsesi pergi ke Turki. Belum lagi kalau mereka digabungkan bersama Ghufta, Binar dan Azri ataupun geng Shohibul Qolbi.
Rasanya pengen mendadak cuti.
Tapi kalau urusan bantu membantu mereka juga yang paling depan pasang badan. Keberadaan mereka ini memberi warna tersendiri di Darul Akhyar ini.
Ya tidak beda jauh dengan aku dulu.
Sesekali nggak papa kan memuji diri?
🍂
Baru saja aku menutup kelas sore dengan salam, kelas 9 yang sedang bersamaku saat ini sedang merapikan buku mereka setelah mendapatkan materi baru dari hadits arbain ke 10.
Jika di madrasah aku mengajar mata pelajaran Alqur'an Hadits, di pelajaran pondok aku memegang dua kitab yaitu Tafsir Jalalain dan Hadits Arba'in.
Ada seseorang yang datang ketika aku keluar dari kelas menyusul santri-santri yang kembali ke asrama masing-masing.
"Assalamu 'alaikum, ustadz," ucap Bara begitu sampai di depanku. Dia tampak panik oleh sebuah masalah yang sedang terjadi.
"Wa'alaikumsalam, ada apa Bara?"
"Ada wali santri yang nunggu ustadz di kantor. Marah-marah dia tadi di asrama."
"Hah? Siapa?"
"Orang tuanya Wahyu."
"Wahyu kelas 7?"
"Iya, Tadz."
"Ya sudah, terima kasih, ya."
Aku segera menuju kantor, kulihat sepasang suami istri yang disebut orangtuanya Wahyu itu memang masih mengomel di depan Gus Emil.
Yang mengomel sang ibu.
Waduh gawat.
Seharusnya masalah santri tidak perlu sampai ke Gus Emil. Aku bergabung bersama mereka dan memberi isyarat Gus Emil untuk mohon diri. Dari sini biar aku yang ambil alih.
"Wahyu takut kembali ke pondok karena lemarinya sering dicongkel kakak kelas di kamar, Ustadz. Barang-barangnya hilang semua. Apa memang tidak ada keamanan disini? Saya nggak bisa terima anak saya diperlakukan begini."
Ah. Masalah lemari.
"Ibu, Bapak. Tenang dulu, ya. Insya Allah nanti kami periksa teman-teman sekamarnya Wahyu. Atau mungkin Wahyu ada cerita siapa yang sering ambil barang-barangnya, Bu?"
"Anaknya kalau ditanya yo nangis aja lho, Ustadz. Sedih saya liatnya. Teririiiis hati ini, Ustadz. Bisa-bisanya."
Ibunya Wahyu ikut terisak menceritakan tentang anaknya dengan napas tersengal. Suaminya berusaha menenangkan. Kusodorkan segelas air minum kemasan untuk beliau.
"Diminum dulu, Bu."
"Katanya dia juga sering disuruh-suruh kakak kelasnya. Disuruh bersihkan kamar, ambilkan nasi, kalau ndak nurut dia kena sanksi. Apa memang begitu sistemnya, Ustadz? Ini sudah masuk perundungan ini. Bisa saya proses aja itu semua pelakunya," bapaknya Wahyu menambahkan.
"Saya sebagai ibunya saja ndak pernah perlakukan anak saya seperti itu, Ustadz. Hancur hati saya, Ustadz!"
Kuhela napas berat sembari tetap memamerkan senyum bersahabat menghadapi orang tua santri yang baru pertama kali menitipkan anaknya ke pesantren seperti pasutri ini.
Sesungguhnya ini adalah persoalan biasa yang akan dihadapi santri di tahun-tahun pertamanya. Lama kelamaan akan beradaptasi dengan sendirinya, bahkan terkadang yang dulunya menjadi korban setelah menjadi senior dia pula yang menjadi pelaku.
Tentu saja akan selalu diproses jika ada yang ketahuan. Tetapi tetap saja, permasalahan seperti ini mungkin memang akan selalu ada untuk membentuk karakter tangguh seorang santri. Para orangtua pun terkadang legawa saja mendengar pengaduan anak-anaknya. Karena selain telah mempercayakan anaknya ke asatidz asatidzah pesantren, mereka juga paham bahwa kejadian seperti ini biasanya hanya serupa kerikil-kerikil kecil dalam perjuangan. Mereka yang tidak bertahan dengan kerikil-kerikil kecil saja, tentu tidak akan kuat menahan gelombang besar yang menerjang.
"Baik, Pak, Bu. Nanti kami usut kasusnya dulu. Kalau memang teman sekamarnya seperti itu, kami akan berikan peringatan. Dan Wahyu akan saya pindahkan ke kamar yang lain, jika tidak keberatan.
Dan untuk masalah kebersihan kamar atau mengambil nasi, biasanya memang sudah ada pembagian tugas masing-masing, Pak. Setiap santri kebagian dapat minimal satu kali jadwal piket istilahnya, begitu. Nanti saya cari tahu juga tentang itu jika mungkin memang ada yang sengaja menimpakan semua tugas ke Wahyu. Sebaiknya tidak perlu dibawa ke proses hukum, ya, Pak."
"Iya, Pak Ustadz."
"Mohon kerjasamanya, ya, Ustadz. Kasian ini anak sulung saya. Dari kecil ndak pernah menderita. Sekarang pulang ke rumah aja nangis terus kalau disuruh kembali ke pondoknya."
Tuh, kan. Apa kubilang.
"Nanti saya bujuk dulu Wahyunya, Ustadz. Kalau memang dia sudah ndak mau saya urus surat pindah saja."
Selepas kepergian orangtua Wahyu, kupijat pelan pangkal hidung diantara kedua mataku. Rasanya agak pusing, baru ingat aku belum makan sejak pagi. Kulirik bungkusan yang dibawa Kahfi dan Bian saat mengembalikan kunci motor tadi. Mereka benar-benar membelikan makanan untukku juga walaupun aku tidak memesannya.
Baiklah, kita santap rezeki dulu sebelum memanggil teman-teman sekamar Wahyu diam-diam biar tidak heboh.
Meski sebenarnya kalau Gus Emil sudah turun tangan, beliau akan langsung mengumpulkan seluruh santri untuk diinterogasi.
Benar saja. Pengumuman langsung terdengar. Seluruh santri diminta berkumpul di masjid.
Duh Gus Emil iki, aku arep mangan dulu lho.
🍂🍂🍂
Udah dulu ya. Hehe.
Enjoy.
Semoga suka.
Saranghamnida
zulfariesha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro