S E M B I L A N
[Zikrina Fauza]
Pengajian ba'da subuh sudah selesai, tapi nggak ada tanda-tanda papa datang. Dari tadi aku berdiri di teras masjid, sampai berjinjit-jinjit di tengah kerumunan jama'ah yang berhambur keluar. Sepertinya hari ini papa memang nggak datang.
"Duh, gimana dong? Aku udah janji sama Rina mau ngajak dia main kalau papa datang," kataku dalam hati.
Buru-buru aku pulang ke asrama, ganti mukena dengan kerudung segitiga instan lalu langsung menuju wisma asatizah. Mencari ustadzah siapapun yang mau meminjamkan ponselnya. Aku harus telepon papa, gimanapun caranya!
"Ayo dong, Ustadzah. Sekali aja, nanti pulsanya Zifa ganti, deh. Buat sebulan."
Ustadzah Maryam kenapa pelit sekali sih? Cuma geleng-geleng terus aku ditinggal begitu aja. Huh. Ustadzah yang lain juga pada kemana lagian ini?
Thanks God. Baru aja diomongin, tiba-tiba dewi penolongku muncul.
"Ustadzah Benaz!" teriakku sambil melambai senang ke arah Ustadzah Benazir saat baru menangkap keberadaannya beberapa meter di depanku kemudian berlari kecil menghampirinya.
"Assalamu'alaikum, Ustadzah Benaz yang cantik, baik hati dan nggak sombong," sapaku sambil memasang senyum paling manis.
"Hmm... pasti ada maunya nih, kalau gayanya begini," Ustadzah Benaz langsung menebak. Sekentara itukah?
"Ah! you know me so weeeell~"
"Girl i need youuu~~~"
Aslinya tegang, tapi jadi ketawa karena Ustadzah Benaz malah ikutan nyanyi.
"Apaaa? Mau minta apa? Izin? Tumben. Biasanya juga langsung kabur aja sama papanya."
"Maunya sih begitu, Ustadzah. Masalahnya keberadaan papa nggak terdeteksi, nih. Pinjem hape boleh, ya, Ustadzah?"
"Buat telepon papa kamu?"
Aku mengangguk. Tapi Ustadzah Benaz kelihatan berpikir.
"Ustadzah, Zifa isiin pulsa deh sampe tahun depan, ya, ya? Boleh, ya?"
"Heh. Emang ustadzah kaya fakir pulsa gitu? no. no. Nggak ada sogok-sogokan."
Yah. Tangannya Ustadzah Benaz yang tadi udah masuk ke kantung gamisnya dikeluarin lagi tanpa memegang apa-apa.
"Zifa jodohin sama masnya Zifa deh, gimana?"
Ustazah Benaz malah melotot. "Ini lagi, maaf aja, ya. Diriku juga bukan fakir asmara. Enak aja."
Ustadzah Benaz ini emang lucu. "Ya udah, mana hapenya, Zah. Sama calon adik ipar nggak boleh pelit."
"Eh, maksa, ya?!"
"Nggak kok. Ngancem, kalau Ustadzah nggak minjemin, aku jadiin kakak ipar, mau?"
Ustadzah Benaz mengelus dada sambil istighfar. Tapi kesal juga lama-lama meladeniku yang semakin nggak jelas, akhirnya ponselnya berpindah tangan kepadaku.
Buru-buru aku cari tempat sepi dan langsung menelepon papa. Berkali-kali cuma nada sambung yang terdengar tapi nggak dijawab. Tiba-tiba ada panggilan masuk ke ponsel Ustadzah Benaz dan nama kontaknya bertuliskan 'Ibunya Zifa'. Wah! Pas banget! Langsung aja aku jawab.
"Assalamualaikum, Ustadzah."
"MAMA!"
"Loh, Zifa? kok kamu yang jawab?"
"Emangnya kenapa? Kan mau ngomong sama aku juga, kan?"
"Nggak kok, Mama cuma mau nitip pesan lewat ustadzah."
"Ih, Mama! Oh iya, Ma. Papa mana? Kok papa nggak dateng sih ke pengajian tadi subuh?"
"Itu dia yang mama mau bilang ke ustadzah, titip sampaikan ke Zifa kalau hari ini papanya nggak bisa dateng karena lagi keluar kota."
"Loh, kok gitu? Kemarin kan papa udah janji."
"Iya. Maaf ya, Sayang. Namanya juga mendadak. Nanti papa jenguk kamu sabtu depan, ya. sama Mama juga, deh. Mau dibawain apa nanti?"
"Yah, Mama. Nggak bisa sabtu depan. uang jajan Zifa udah habis, terus Zifa perlu beli banyak barang, nih. Stok cemilan juga udah habis. Terus juga, cucian Zifa numpuk, Ma. Nggak ada yang bisa dipake lagi."
"Ya Allah, Zifa. Baru aja minggu kemarin papa kasih kamu jajan, masa udah abis? Jangan terlalu boros, dong. Uang sebanyak itu habis seminggu beli apa aja kamu?"
"Traktir teman-teman, hehe."
"Kamu traktir satu pondok?"
"Ya, nggak juga, Ma. Habis itu maksudnya nggak bener-bener habis. Masa harus dijelasin rinciannya. Ah, nggak tahu, deh. Pokoknya papa atau mama harus dateng hari ini!"
"Ya nggak bisa dong, Nak. Papa ke Palembang. Mama mau ada arisan nih di rumah. Udah kamu sabar aja dulu sampe sabtu depan. Bajunya titip ke laundry nanti dibayar belakangan."
"Mamaaa. Tapi kan Zifa mau keluar jalan-jalaaan. Nggak enak nih sama temen, udah janji mau ngajak jalan. Tapi papanya nggak dateng.
"Zifa, Mama banyak kerjaan, nih. Kamu telepon papa aja, ya. Ngomong aja sama papa yang selalu manjain kamu itu. Masuk pesantren bukannya tambah mandiri malah manjanya makin menjadi-jadi."
"Yaudah, iya. Zifa telpon papa. Emang cuma papa yang ngerti Zifa!"
Aku tutup telepon sambil merengut. Begitu tuh kalau ngomong sama mama, jadi ribet panjang urusan.
Aku telepon papa aja lagi, ah. Siapa tahu dijawab.
Tuuut...
Tuuut...
"Halo? assalamu'alaikum."
Akhirnya dijawab juga! Langsung aja aku teriak manggil papa.
"Eh, anak kesayangan papa. Jawab salam dulu, dong, Cantik."
"Waalaikumsalam..."
"Kok jutek banget?"
"Papaaa. Papa tuh yaaa. Zifa tungguin sampe pegel. Ternyata nggak dateng. Sebel."
"Iya, Sayang. Maafin Papa, ya? Ada kerjaan mendadak yang nggak bisa ditunda."
"Terus Zifa gimana, Papa? Zifa udah susun rencana perjalanan kita seharian ini. Mau ke kebun teh, belanja kebutuhan Zifa yang udah abis. Mana udah bilang ke temen-temen mau bawain oleh-oleh..."
"Zifa maunya gimana?"
"Zifa pengin jalan-jalan sama Papa. Tapi nggak mungkin kan? Ya udah."
"Mmm. Kok nggak ikhlas gitu sih?"
"Abisnyaaa... Zifa udah habis semua persediaan makanan sama perlengkapannya, Papaaaa. Harusnya kan Zifa kirim cucian ke rumah. Kalau Papa nggak dateng, Zifa nanti bajunya pakai apa?"
"Ya dicuci dong, Zifa."
"Papaaaa!" rajukku. "Tangan Zifa pecah-pecah lagi nanti, papa kan tau kulit Zifa sensitif..." aku mulai menangis.
"Ya Allah, kamu nangis, nduk?"
Papa ternyata bisa dengar isakku juga meski samar.
Tanpa bisa berkata-kata lagi, aku kalau sudah ditanya papa begitu, airmataku malah semakin deras membanjir.
"Ya sudah, gini aja. Nanti Papa suruh mama transfer uang ke rekening kamu. Biar nanti kamu keluar sama ustadzah beli apa yang kamu butuhkan, sekalian baju kotornya dibawa ke laundry. Butuh berapa? Dua juta cukup?"
"Bener, Pa? Asiiik! Sebenernya sih kurang, Pa. Karena mau beli buku paket buat ujian, sama bayar belanja online lewat ustadzah, hehe."
"Ya sudah, papa transfer lima juta, ya. Jangan lupa bagi-bagi sama teman."
"Aaaah. Zifa sayang Papaaa!"
"Jangan ngambek lagi."
"Iya, nggaaak. Makasih, ya, Papa ganteng."
"Hati-hati ya, perginya jangan jauh-jauh."
"Siap, komandan! Makasih ya, Papa!"
Setelah mengucap salam, dan telepon ditutup papa, aku bergegas mengembalikan ponsel Ustadzah Benaz sambil minta izin keluar sama Rina. Nggak susah izinnya karena ustadzah juga tahu kalau tiap sabtu biasanya aku keluar sama papa. Langsung diizinin, padahal ustadzah nggak tahu kalau papa hari ini nggak datang. Terus aku juga nggak jujur, itu karena ustadzah juga nggak bertanya. Ingin ngakak tapi takut nambah dosa.
Akhirnya setelah dada berdegup kencang selama berjalan sampai ke pintu keluar pondok menuju tempat mangkalnya angkot, takut-takut dipanggil lagi karena ketahuan. Begitu angkot mulai jalan rasanya baru bisa lega napasnya. Huft.
Aku berangkat bersama empat orang teman seangkatan termasuk Rina. Mereka semua mau ke tempat bimbel, aku tidak ikut bimbel karena belajar bukan passionku. Jangan judge aku, tapi belajar memang kelemahanku. Makanya kenapa aku minta papa sekolahkan aku di pesantren, niatnya biar nggak banyak belajar. Nggak tahunya, Yaa Salam... belajarnya sehari semalam.
Tapi aku cukup betah sih. Sebagai bungsu dari lima bersaudara dan perempuan satu-satunya, tinggal di pesantren dan mendapatkan banyak saudara perempuan baru rasanya sangat seru. Apalagi begitu masuk pesantren, papa jadi makin sayang padaku dan selalu memenuhi kebutuhanku. Itulah kenapa hampir tiga tahunku di Darul Akhyar berjalan mulus tanpa keluh, kecuali bagian kulit tanganku yang sama sekali tidak bisa terkena sabun cuci. Nggak apa-apa, selama tiap minggu orangtuaku datang menjenguk sambil menukar baju.
Angkot sudah sampai di pasar, pasar yang besar, mungkin semacam pasar sentral yang jadi pusat dari pasar-pasar kecil di desa yang biasa tempat santri kabur buat cari jajan. Pasar yang ini memang harus naik angkutan karena jaraknya cukup jauh tapi lengkap dan lebih modern. Terus katanya juga pasarnya selalu beroperasi setiap hari. Kalau pasar-pasar di desa kan ada harinya, bergilir gitu. Aku juga nggak paham. Kebetulan pasar juga adalah kelemahanku. Aku selalu takut kalau ke pasar, aku takut berdesak-desakan dan disenggol-senggol orang. Tapi karena cuma ini satu-satunya tempat hiburan yang bisa kujangkau sekarang, yaa... nikmati aja. Semoga aku nggak kenapa-kenapa.
Kami berpisah dengan teman-teman yang langsung berjalan ke arah tempat bimbel, aku dengan satu tas isi pakaian kotor ditemani Rina segera mencari tempat cuci baju. Setelah itu rencananya kita mau ke toko buku dan beli-beli cemilan di minimarket.
Buku paket terbeli, walaupun nantinya aku nggak akan paham bagaimana menyelesaikan buku tebal itu, aku tetap beli saja. Siapa tahu nanti ada teman yang butuh. Nanti aku minta ajarin dia aja biar lebih ringkas.
Uang di dompetku sudah habis, tapi masih ada uang transferan papa di ATM. Cukup banget untuk beli cemilan aja. Nah, pas sekali di depan minimarket ada warung mie ayam bakso yang kata Rina enak. Aku dan Rina kesana dan pesan untuk dibuatkan dua porsi sambil kami pergi belanja ke minimarket dulu.
Satu persatu catatan daftar barang yang ingin kubeli kutandai dengan checklist.
Sekarang bagian jajan persediaan cemilan untuk seminggu ke depan. Yang terpenting roti dan selai stroberi, susu dan jus buah dalam kemasan kotak. Tidak lupa sereal dan mie instan. Aku terbiasa sarapan dengan roti dan selai atau sereal. Karena kebiasaan itu aku jadi tidak bisa menerima makanan yang disediakan dapur umum santri untuk sarapan. Teman-temanku sih senang, karena mereka akan memakan jatah makanku. Jadi kuanggap itu membantu. Kalau mie instan, sebenarnya aku tidak terlalu suka, tapi karena di pondok santri kalau iseng suka rebus mie berjamaah. Aku senang ikut-ikutan atau cuma menyumbang.
Aku suka kalau orang senang karenaku. hehe.
"Disatukan aja, Mbak, semuanya," kataku pada mbak-mbak kasir saat mau membayar belanjaan.
"Eh, jangan, Fa," cegah Rina.
"Udah nggak papa," balasku sambil mengibaskan tangan di depan Rina. Tenang aja, Na. Aku baru dapet kiriman, hihi.
"Ya sudah, ntar aku yang bayar mie ayamnya, ya!" usul Rina yang kubalas senyum dan menaik-turunkan alis.
"Mbak, bisa debet, kan?"
"Iya, bisa," jawab mbak kasirnya. "Mau sekalian isi pulsanya, dek?"
Aku sama Rina langsung bertatapan lalu tertawa. "Nggak punya hape, mbak."
"Oh, kalian santri ya? di Darul Akhyar? Wih, ngeborong nih. Baru dikirimin duit ya?"
Loh si mbak tahu aja.
"Eh iya, sekalian aja deh, isiin pulsa ke nomernya Ustadzah Benaz. Kamu ada nomornya Ustadzah Benaz nggak, Rin?"
"Ada." Rina merogoh kantong roknya dan mengeluarkan buku catatan.
"Ini, Mbak. Isi pulsa ke nomor ini, seratus ribu."
"Ya Allah, Zifa..." Aku kaget dengar ekspresi kagetnya Rina. "Kenapa, Na? Kurang, ya?"
"ckckck. Nggak pa-pa. Sultan mah, bebas," kata Rina sambil geleng-geleng kepala. Mohon maaf, aku yang agak telat mikir ini nggak paham maksudnya apa.
Kuulurkan kartu ATM ke mbak kasir untuk memproses pembayaran, tanpa memiliki firasat apa-apa.
"Silahkan dek, PIN nya."
"Oh, oke." Aku menekan enam digit angka di mesin pembayaran debet itu, tapi kata mbaknya pembayarannya gagal.
"HAH?!"
"Coba sekali lagi, ya. Silahkan." Mbak yang ramah itu masih menawarkan senyuman biar nggak terlalu panik, mungkin.
Aku coba lagi, dan tetap gagal. "Ah, mungkin uangnya belum masuk," pikirku.
"Saya coba ke ATM dulu deh, Mbak. Biar tarik tunai aja."
"Oh, oke boleh, silahkan. Ini juga pulsanya sudah masuk ya, dek."
Deg.
Disini aku mulai degdegan. Gimana kalau uangnya belum masuk? Tapi pulsanya sudah dikirim ke ustadzah Benaz? Aku bayar pake apa dong?
Mencoba tenang, walau Rina mulai kebingungan di sampingku. Aku masuk ruangan ATM yang pendingin udaranya sejuk sampai bikin aku merinding dan tambah was-was.
Kuambil kartu dari dompet dan memasukkannya ke mesin ATM, menekan-nekan tombol sampai mesin meminta memasukkan PIN. Ada yang aneh, kenapa transaksinya gagal terus? Katanya salah PIN. Tapi seingatku PIN nya sudah betul... Kucoba sekali lagi dengan memasukkan PIN kembali. Kiamat akhirnya terjadi. Kartu ATM ku tertelan.
Aku panik dan kakiku lemas seketika.
"Rin, gimana dong... Belanjaannyaaaa?"
"Gimana ya, Zifa. Aku juga bingung. Uang aku cuma cukup untuk bayar belanjaanku karena pas banget tadi itung-itungannya. Mau dipakai untuk bayar pulsa ustadzah Benaz juga nggak cukup."
"HUAAAA!" Aku udah nggak tahu harus gimana, tiba-tiba mataku panas dan berair. Iya, aku memang cengeng. Tapi kejadian seperti ini memang pantas untuk ditangisi, menurutku.
"Eh, Zifa, jangan nangis. Coba kita ke teman-teman dulu, siapa tau ada yang punya uang lebih," saran Rina.
Sambil jalan ke tempat bimbelnya teman-teman, nggak ada siapa-siapa yang terlihat disana. Sepertinya masih belajar semua.
"Coba ya, aku cek lagi dompetku, mungkin aja ada uang yang nyelip," kata Rina sambil memperhatikan dompetnya. Hal yang sama juga mau ku lakukan, itu sebelum aku sadar kalau dompet aku, lenyap!
"Astagfirullahalazim. Dompet aku mana?!" ucapku setengah berteriak. Kurogoh kantong baju dan rok, juga tas ransel bekas pakaian kotor.
"Nggak ada, Rin!"
"Coba ingat-ingat lagi."
Aku semakin panik. Jangan-jangan tadi aku dicopet. Atau... "AH! Ketinggalan di ATM!" jeritku sambil kembali berlari menuju ATM. Seingatku tadi aku keluarkan kartu ATM dari dompet dan meletakkan dompet di atas mesin ATM terus karena panik saat kartuku tertelan, aku tidak ingat untuk mengambilnya lagi.
"Ya Allah semoga masih ada..." doaku dalam hati saat memasuki pintu ruang automatic teller machine itu.
Segera kuperiksa setiap sisinya. Di atas, dibawah, di tempat sampah. Nihil. Tangisku semakin manjadi-jadi.
Aku melangkah lunglai dengan Rina yang berusaha menenangkanku. Air mataku masih merebak, bukan tentang kehilangannya tapi menangisi diriku yang selalu saja ceroboh. Dan juga aku kesal, kenapa sejak tadi rencanaku nggak ada yang berjalan lancar?!
Si Rina malah menambah-nambahi, "jangan-jangan ini adalah azab karena kita nggak jujur sama ustadzah."
Sudahlah. Ini adalah petaka. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Tiba-tiba Rina terdengar memanggil nama seseorang yang kami kenal sebagai ustadz. Karena mendengar namanya, aku juga ikut mendongak sebentar. Lalu menunduk lagi karena mukaku pasti jelek banget mirip udang bengkak.
"Kalian santri?" tanyanya.
"Iya Ustadz," jawab Rina.
"Kalian ngapain disini? Bimbel?"
Benar. Aku harus tahan malu untuk minta tolong sama Ustadz Ahsan. Aku nggak mau dilaporin ke polisi karena beli pulsa tapi nggak bayar.
"Tolong saya, Ustadz." ucapku lirih. Ustadz Ahsan langsung kaget gitu ekspresinya.
"Tadi kami belanja di minimarket Ustadz. Tapi Zifa nggak punya uang tunai. Pas dia bayar pakai kartu, kartunya nggak bisa. Pas kita ngecek ke ATM ternyata Zifa salah PIN. Sekarang kartunya tertelan," Rina menceritakan kejadiannya dengan lengkap. Sesekali ku lihat ke arah ustadz Ahsan yang mendengarkan dengan serius.
"Masalahnya cuma karena kartunya tertelan? Ada saldonya?" tanya Ustadz Ahsan.
"Belum sempat dicek, Ustadz. Tapi sepertinya sih ada, lima juta."
"Jadi belanjaannya belum dibayar kan? dibatalkan saja."
"Rencananya begitu, Ustadz. Masalahnya... Tadi sudah terlanjur beli pulsa untuk Ustadzah Benaz dan pulsanya sudah masuk."
Ustadz Ahsan mulai geleng-geleng. "Ya sudah, kalian belanja dimana tadi? biar pulsanya saya bayar."
Kami menunjukkan minimarket tempat kami belanja tadi, "kalian tunggu disini, jagain belanjaan saya. Biar saya yang masuk."
Kulirik karung besar belanjaan Ustadz Ahsan, sepertinya sayuran dan kelapa, ada juga beberapa rak telur ayam. Banyak sekali. Wah keren.
Waktu menunggu Ustadz Ahsan selesai membayar, Rina baru ingat kalau dia harus membayar belanjaannya karena penting. Rina pamit sebentar padaku dan ikut masuk ke minimarket. Saat itulah aku dikagetkan oleh bapak tukang mie ayam yang kasih tau kalau mie ayam pesanan kami sudah siap dari tadi.
"HUAAAA. Gimana ini, Rina pasti udah pake uangnya..." Aku menjerit tertahan. Benar-benar sial sekali nasibku hari ini. Apa tadi lupa baca doa waktu bangun tidur, ya?
Rina langsung kutarik begitu melihat dia keluar, "Rin, mie ayamnya!" bisikku.
"Astagfirullah..." sontak Rina berucap.
"Ada apa lagi?"
"Ng... ini, Ustadz..." kami berdua menunduk malu, benar-benar malu.
"Apa? bilang saja."
"Tadi kami juga pesan mie ayam bakso..."
"Belum dibayar juga?"
Aku dan Rina mengangguk.
"Ya sudah, kalian masuk dulu ke sana, makan. Kalian pasti lapar, kan?"
Ustadz Ahsan mengawal kami ke warung mie ayam, menyuruh kami duduk dan memesankan minuman dingin untuk kami berdua.
Jujur, mie ayam yang katanya enak sekali itu jadi tidak ada rasanya gara-gara kejadian yang baru aja aku alami. Untung tadi masih sempat beli buku dan laundry,
"Hah! Laundry! Ya Allah, nota laundry!"
"Nota laundry? cuci baju?" tanya Ustadz Ahsan.
"He eh, iya, Ustadz."
"Mau dibayar juga?"
Diantara kekacauan yang menimpaku hari ini, nggak tau kenapa pertanyaan Ustadz Ahsan dan ekspresi kagetnya itu bikin aku hampir tertawa.
"Nggak, kok, Tadz. Baru dimasukin. Di notanya ada total harga yang harus dibayar nanti kalau cuciannya selesai."
"Selesainya hari ini?"
"Nggak, Tadz. Tiga hari lagi."
"Oh... jadi dibayarnya nanti?"
"Iya, Ustadz. Seperti laundry biasa aja. Pasti pernah kan?"
"Kebetulan nggak."
"HAH? Nggak pernah?"
Aduh, Ya Allah. Semoga Ustadz Ahsan nggak tersinggung sama responku yang kaget banget. Ya gimana nggak kaget... Di dunia ini ternyata masih ada yang belum pernah cuci baju di laundry.
"Terus, kenapa sama notanya?" tanya Ustadz Ahsan lagi.
"Saya simpan di dompet, Ustadz. Dan dompetnya hilang tadi di ATM."
"Hilang juga? Ya Allah kalian kenapa ceroboh sekali. Jadi gimana? Nggak ketemu dompetnya? Sudah dicari?"
"Sudah, Ustadz. Nggak ketemu. Sepertinya sudah diambil orang."
"Ada isinya?"
"Kartu santri, kartu pelajar, kartu-kartu keanggotaan, semuanya disitu sih, Tadz. Uangnya nggak ada sih, cuma nota laundrynya itu kalau nggak ada nanti nggak bisa ambil bajunya lagi. Terus juga dompetnya itu oleh-oleh papa dari Paris, LV limited edition" jelasku sambil menyeruput es teh manis.
"Sudah selesai makannya? Ayo ke laundry, mungkin masih bisa bikin nota yang baru."
Alhamdulillah, Ustadz Ahsan benar-benar menyelamatkan kami. Walaupun dompet aku akhirnya beneran nggak ketemu, tapi aku senang karena aku nggak harus dibawa ke kantor polisi dan dituduh menipu.
Terima kasih, Ustadz Ahsan. Selamanya aku nggak akan lupa kebaikan ustadz hari ini.
"Ini," Ustadz Ahsan menyodorkan ponselnya kepadaku, "telepon orang tua kamu. Kasih kabar kartu ATM kamu tertelan dan harus cepat-cepat kabari call centernya."
Aku langsung menelepon papa, lagi-lagi nggak dijawab. Terpaksa deh, walaupun takut aku harus bicara ke mama.
Begitu telepon tersambung, aku langsung cerita semua reka ulang kejadian barusan.
Seperti tebakanku, mama ngomel-ngomel panjang.
"Makanya tadi tuh mama nggak setuju kamu dikirimin uang. Sampe pergi keluar sendiri begitu. Kan begini jadinya kan?"
"Mama, ssst! jangan keras-keraaas. Iya ma, maafin Zifa."
"Tapi kamu nggak kenapa-kenapa, kan?"
"Iya ma, nggak pa-pa. Maaf ya, ma. Tolong bilang ke papa, ATM aku harus diurus."
"Iya nanti mama jemput buat kamu ke bank. Urus begituan harus bawa orang sesuai nama rekeningnya. Makanya kenapa mama selalu ingetin biar jangan asal-asalan. Cerobohnya dikurangin lah."
"Iya, mamaaa."
"Ya sudah, kamu hati-hati pulangnya."
"Mama. ada satu lagi," kataku ragu-ragu.
"Kenapa lagi?"
"Dompet LV yang papa beliin di paris itu ... ilang juga."
"APA?! Ya Allah Zifaaaa! Kamu tau itu harganya berapa?"
"Iya. Zifa tau, harganya tujuh juta."
"Tujuh juta itu lebih mahal dari bayaran kamu pertahun, tahu nggak! Huh! Nggak tau lagi deh mama gimana harus ngomog sama kamu, Zifa! Udah, ah! Pusing mama!"
"Maafin Zifa, Maaa..."
klik
Yah. teleponnya mati. Hiks. Aku beneran salah kali ini. Aku emang cuma bisa bikin masalah....
"Ini Ustadz, hapenya." sambil menggigit bibir bagian bawah dan mengutuk diri, aku kembalikan handphone Ustadz Ahsan.
Ustadz Ahsan mengambil ponselnya tanpa banyak bicara. Mungkin dia dengar tadi mama marah-marah, terserahlah. Hari ini aku emang sial, pokoknya.
"Terima kasih banyak ya, Ustadz."
"Ya, sama-sama. Lain kali jangan ceroboh."
Tuhkan, ustadz Ahsan aja bisa gituin aku. Malu banget.
"Kalian mau pulang, kan? Itu, kalian naik angkot, ikut sama barang belanjaan dapur umum ini, ya. Gratis. Nggak usah bayar lagi."
Nggak ada lagi yang bisa aku bilang selain mengiyakan permintaan Ustadz Ahsan dan pulang dengan tangan kosong. Tapi ranselku ada isinya, sih.
Mungkin setelah ini aku akan lebih jujur ke ustadzah. Aku nggak akan keluar sendirian lagi.
🍂
message to Maman Benazir:
Man, ada pulsa masuk nggak? itu duit aku. Balikin ya! (delete)
Man, pulsa 100rb masuk nggak? Thank me later. (Sent)
🍂
to be continued
Halo teman-teman.
Gimana? Suka gak sama part ini?
Kenalan sama tokoh baru yang bikin greget. Tolong sayangi dia yaa dia hanya anak sultan yang nggak ngerti gimana sebenarnya dunia bekerja wkwk.
Adios!
Tunggu part selanjutnya yaaaa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro