Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

s a t u

Hola!
Ketemu lagi dengan saya!
Gimana part kemarin? Kurang greget ya? Emang. Hehe.


Quiz dulu yuk sebelum mulai!

> kalau bisa milih, mau sekolah di pesantren atau di sekolah umum. Kamu milih apa?

> alasannya?

> kira-kira apa ya yang ada di pesantren yang nggak ada di sekolah umum?

> apa yang paling kamu ingin lakukan kalo jadi santri?

Dijawab yaaaa! Terima kasyi.



(Mahfuzhot)

من جد وجد
Whoever strives shall succed

🍂🍂🍂

"Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu”. (HR. Tirmidzi)

🍂🍂🍂


Bakda ashar di Darul Akhyar selalu menjadi waktu terbaik untuk mendamaikan perasaan. Tilawah Al-Quran yang saling bersahut-sahutan, diselingi suara ustadz yang sedang mengisi kelas kemudian disusul lengkingan para muridnya meniru bacaan. Sejuknya udara bersama kepak-kepak sayap burung yang hendak kembali ke peristirahatan. Juga sinar matahari yang tengah bersiap lesap begitu lembut memeluk bumi.

Di pintu gerbang aku berdiri mengitari setiap sudut tempat yang pernah membesarkanku ini.

Tak banyak yang berubah, hanya bangunannya yang semakin tinggi. Senyumku mengembang tanpa kusadari, namun rasa haru amat membuncah di dada. Setelah sekian lama aku pergi, Darul Akhyar-ku tetap kokoh berdiri bersama segala memori yang akan terkenang abadi.

"Ustadzyyy!"

Seseorang menghambur ke arahku sebelum dapat kulihat wajahnya. Ia meraih tanganku dan mengecup punggungnya. Pria muda dengan jas putih yang kutebak seorang dokter jaga di UKS terasa begitu akrab,

"... Terima kasih sudah percaya sama saya, Ustadz," bisiknya kemudian memamerkan senyum bangga dengan binar di matanya seusai melepaskan genggamannya dari tanganku.

Dari jauh, seseorang menghampiriku dengan terengah-engah berlari diantara santri yang berhamburan dari kelas yang baru ia akhiri.

"Ustadz! Selamat datang kembali! Kami rindu sekali, Ustadz! Lihat, Ustadz. Berkat Ustadz Ahsan, aku bisa jadi seperti sekarang..."

Ia memekik dengan suara tercekat sesaat kemudian matanya mulai basah. Wajah tegasnya di depan santri seketika berubah manja seolah hendak mengadukan banyak cerita padaku.

Aku tidak mengenali siapa mereka. Tapi mereka tampak tidak asing. Aku balas menepuk punggungnya saat ia pun mendekapku erat.

"Ustadz, anaknya cantik sekali!"

Ah, aku baru sadar ada sesosok mungil yang sedang dalam gendonganku yang mulai menangis karena pipinya dijawil oleh orang asing dihadapannya.

"Mas, sini mas, Ashana biar sama aku saja."

Suara lembut itu berasal dari belakangku. Tangannya terulur hendak meraih putri kami dengan jemari lentiknya.

Dalam beberapa detik waktu seolah berhenti sebelum pandanganku menoleh memandang wajahnya.

"Mas Ahsan,"

"Mas ..."

"Mas ..."

"Mas,"

Kurasakan tepukan di bahuku yang kemudian berubah menjadi guncangan pelan.

"Mas, bangun, Mas. Sudah hampir sampai."

Suara kernet mikromini yang ku tumpangi dari terminal kota Wonosobo menuju desa mengembalikan kesadaranku dari tidur nyenyak dan mimpi yang terasa begitu nyata. Pantas saja, suara lembut yang memanggil-manggil namaku berubah menjadi serak dan kasar.

Aku menyeringai sesaat, menertawakan diri yang sempat-sempatnya bermimpi aneh dalam perjalanan hanya karena hendak kembali ke Darul Akhyar. Belum sampai kesana, mimpi sudah lebih dulu tiba di Darul Akhyar.

Terlalu bingung memikirkan orang-orang tak dikenal dalam mimpiku tadi membuat sisa perjalanan menjadi begitu singkat sampai mikromini tak terasa berhenti tepat di depan rumah almarhum mbah. Bahkan sosok pemilik jemari lentik yang belum sempat kulihat wajahnya itu masih mengganggu pikiranku sampai malam saat menunggu waktu berhantinya hari dan aku akan memulai kisah baru di tempat yang sama dengan yang ada dalam kisah masa kecil dan remajaku.

Buru-buru kutepis bayangan bunga tidur itu agar tak terlalu menghantui benakku. Kemudian beranjak membasuh muka dengan air yang dinginnya terasa menusuk kulit. Berulang kali aku meniup napas dari mulut, mencoba mengatur perasaan agar tetap tenang menghadapi hari esok. Hari pertamaku kembali.

🍂


Tahun ajaran baru menjadi kesibukan pertamaku sejak memutuskan untuk kembali ke Darul Akhyar.

Banyak hal yang menjadi pertimbangan hingga kemudian aku benar-benar berada di sini lagi. Salah satunya karena sudah kepalang janji dengan kiai, salah duanya karena sejujurnya di tahun-tahun terakhir aku meninggalkan desa kelahiranku ini, aku mulai merasa kehilangan tujuan. Seakan semakin jauh kaki ini melangkah semakin buram apa yang menjadi harapan.

Mungkin permintaan Ki Akhyar memang menjadi jawaban dari kegamangan yang mulai rutin menghinggapi dalam pelarianku ini. Semakin memperjelas bahwa tujuanku memang untuk kembali, dan hatiku mungkin memang masih berada disini.

Sebagaimana janji yang telah terikrarkan pantang untuk ditelan kembali, kugaungkan semangat untuk sebuah tekad bahwa hidupku kini bukan lagi untuk diriku sendiri, tetapi untuk ummat dan para santri.

Begitu kekosongan hati ini akan kuisi dengan mewakafkan diri, disini, di tanah dengan lantunan mahabbah kepada ilahi, di bawah naungan sayap-sayap makhluk Allah yang suci. Aku tidak akan pergi lagi, kecuali jika tiba waktunya ruh meninggalkan jasadku nanti.
Jika Allah menghendaki.

Mungkin terdengar klise, namun lucunya memang hanya itu satu-satunya harapanku sejak dulu. Begitu menyadari bahwa tidak akan ada tempat untukku selain di Darul Akhyar ini, maka ku tumpukan seluruh harap disini. Sekalipun aku bermimpi, impianku adalah pergi untuk kembali.

Tetapi peristiwa pada satu hari yang mencekam itu adalah pengecualian.

Aku tidak pernah berharap lebih dari kasih sayang kiai dan nyai untuk seorang yatim piatu anak petani sepertiku.
Dapat hidup, makan dengan teratur, mendapatkan pendidikan serta pengasuhan yang baik, itu sudah lebih dari cukup. Hanya saja, menjadi seorang yang merasa paling dekat dengan keluarga kiai dan yang paling tahu seluk beluk pesantren ini membuatku merasa jemawa.

Memasuki fase remaja ketika baru saja berganti seragam menjadi putih-abu, aku mulai sesuka hati. Seolah aturan pesantren tidak berlaku untukku sama seperti putra-putri kiai lainnya.

Permasalahannya adalah, aku bukan siapa-siapa yang perlu mendapatkan hak istimewa. Kesadaran itu yang perlahan mengembalikan fokusku dengan merancang sebuah mimpi untuk menjadi sesuatu yang mungkin bisa membalas kebaikan kiai selama ini.
Sayangnya, sebuah bagian di dalam tubuhku kadung berulah. Melakukan sesuatu yang tidak kusadari dan tentu saja efeknya takkan bisa kuatasi. Saat itu, ketika sedang semangat-semangatnya mempersiapkan diri untuk seleksi beasiswa jurusan arsitektur dari sebuah universitas di Australia, karena sebuah kesalahan yang tak bisa kuperbaiki, dengan berbesar hati aku harus mengubur mimpi, kemudian berlari sejauh mana aku bisa lenyap dari pandangan kiai dan semua ingatan tentang tanah ini.

Tanpa beasiswa, mustahil aku bisa mendaftar secara mandiri untuk jurusan yang kuperkirakan cukup menguras kantong itu. Sekalipun aku bekerja siang-malam tidak akan mendapatkan setengah dari biaya persemesternya, mungkin saja. Uang saku kiriman dari mbah hanya cukup untuk makan dan biaya kost-an. Selebihnya aku tetap harus mencari pemasukan, entah dengan menjadi kuli bangunan yang dari sana ternyata aku mempelajari dasar-dasar ilmu rancang bangun yang memang menjadi minatku. Ataupun mengkomersilkan keahlianku dalam seni kaligrafi. Suatu keuntungan dulu Gus Bahtiar--putra ketiga kiai, sering memintaku membuat kaligrafi untuk dijualnya di sekolah. Aku jadi terinspirasi dan melakukan hal yang sama. Begitulah aku kemudian harus merasa cukup dengan gelar sarjana pendidikan, program studi pendidikan agama islam dari sebuah lembaga tahfizh di Jogja yang juga menyediakan jenjang pendidikan dari SD sampai S1 ketika itu.

Setidaknya jika aku tidak menjadi arsitek, aku justru menjadi penghafal alquran bersanad. Sebuah kesyukuran, bukan?

“Ustadz, dicari Gus Emil. Katanya disuruh ke aula.”

Seorang santri mengetuk pintu kantor asatidz, menyampaikan pesan Gus Emil kepadaku yang sedang memeriksa data santri baru yang kami terima tahun ini.

Meski dalam hati bertanya-tanya kenapa aku juga disuruh ke aula di saat jadwal pengarahan santri baru sekarang ini, aku bergegas menuju kesana. Daripada terus bertanya-tanya, lebih baik segera mendapatkan jawabannya.

Dari kejauhan di luar gedung aula Gus Emil melambaikan tangan mengisyaratkan untuk mempercepat langkahku. Seperti biasa ekspresi wajahnya selalu sulit ditebak, mode tegas dan tenang yang selalu dipasangnya dalam setiap kondisi ketika berhadapan dengan santri membuatku semakin susah untuk menerka dia ingin menyampaikan apa.

“Mas, nggoleki aku?” tanyaku ketika sudah tiba di depan Gus Emil.

“Alhamdulillah, Gusti Allah ngirim kamu di waktu yang tepat. Kamu briefing santri baru, ya? Tuh udah pada ngumpul semua.”

“Lho, Mas? kenapa saya?”

“Ya karena saya nyuruh kamu.”

“Aku ora siap iki lho, Mas.”

koyo ngono juga wes ngganteng.”

“Bukan gitu. Ini, lho. Nggak ngerti mau ngomong apa.”

“Halah, moso. Wes, ngomong apa aja ngarang bebas blas. Tilawah juga ndak papa. Titip, yo! Mas pergi dulu. Udah telat.”

Tindak pundhi?”

“Ngelamar Ning Windy!” Kali ini ekspresi Gus Emil berubah semangat sekali.

“Lha? Hari ini tho?”

“Iyo, dimajukan. Itu abah sama umi udah nunggu. Doain diterima, yo!”

Ya Allah, kalau nggak banyak santri lalu lalang, bakal kugoda habis-habisan Gus Emil ini.

Bagaimana bisa dia menumbalkan aku untuk menjemput jodohnya. Sungguh tidak jomblo-awi.

Sementara Gus Emil melenggang pergi, kuputar kepala menghadap ke bagian dalam aula dengan banyak mata disana.

Rabbisy-rahliy shadri...

Syukur alhamdulillah, kegiatan briefing untuk santri baru berjalan lancar meski dipandu oleh aku yang baru pertama kali.

Rasanya lucu juga menghadapi wajah-wajah lugu anak baru tamat sekolah dasar yang datang dari berbagai daerah itu.
Aku hampir tertawa membayangkan bagaimana dulu aku juga seperti mereka. Mungil, polos dan sebagian masih tersisa jejak airmata di wajahnya karena tidak siap hidup terpisah dari orang tua.

Tugasku kali ini sebenarnya tidak sulit. Hanya mengarahkan bagaimana mereka calon santri ini akan menjalani rutinitas di rumah barunya kini. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, sekaligus juga menunjukkan arah letak setiap gedung dan tata tertib yang perlu ditaati. Tidak lupa memperkenalkan letak-letak setiap gedungnya sambil menyisipkan suntikan-suntikan semangat agar mereka bisa kerasan di pondok ini, tinggal mengutip wejangan yang sudah disampaikan kiai di awal lagi tadi.

Sebenarnya aku cukup terbiasa melihat kegiatan seperti ini, tetapi tetap saja sesuatu yang mendadak selalu melemaskan sendi-sendiku.

Setelah membuka acara dengan salam dan memperkenalkan diri, ah, ya. Kuperkenalkan diriku dengan nama Ahsan Hanafi. Nama inspirasi dari seorang ulama yang sangat ku kagumi, seorang yang terlahir dari budak kesayangan Ummu Salamah, isteri Kanjeng Nabi. Namanya Hasan diberikan oleh Ummu Salamah yang turut bersuka cita atas kelahirannya bahkan pula menjadi ibu susuannya.
Masa kecilnya mendapatkan keistimewaan untuk hidup dekat dengan orang-orang mulia, para istri dan keluarga Rasulullah serta sahabat-sahabat beliau hingga dapat merasakan kasih sayang serta limpahan ilmunya. Kemudian terus terobsesi dengan ilmu setelah kepindahannya ke kota Bashrah sampai akhirnya dikenal sebagai ulama besar dari Bashrah, Hasan Al Bashri.

Nama Hasan sedikit ku modifikasi dengan bentuk Isim Tafdhil menjadi Ahsan. Jika Hasan artinya ‘Baik' maka Ahsan berarti ‘Paling Baik'. Sementara nama Hanafi adalah nama gabungan dari kedua orang tuaku, Haryadi dan Nafisah.
Sesederhana itu.


Tidak ada maksud apa-apa, hanya agar lebih percaya diri saja. Meski ketika kusampaikan pada Gus Emil dan yang lainnya mereka kompak tertawa. Biar saja, akan kubuat Darul Akhyar tidak lagi mengenal seorang Agus Haryadi, tapi mereka akan akrab dengan seorang Ahsan Hanafi.

Uhuk.

Bahkan aku geli sendiri membayangkannya. Apakah sebegitu lucunya?

Pertama-tama kuceritakan dulu sejarah singkat berdirinya pesantren ini sesuai dengan yang ada di dalam buku panduan santri baru yang dibagikan kepada mereka. Kemudian mengalir saja seterusnya, kalimat-kalimat penghibur klasik serta guyon sekedarnya dari pengalaman seorang santri.

“Kalian adalah pemenang. Tahu kan pesantren kita ini termasuk pesantren favorit se-Jawa Tengah? ada banyak yang ingin mendaftarkan diri ke pesantren ini, tetapi tidak semua bisa kami terima. Maka dari itu kami mengadakan seleksi dengan berbagai macam tes untuk memilih siapa orang-orang beruntung yang layak mendapatkan kesempatan menjadi bagian dari pewaris para Nabi, penuntut ilmu yang langkahnya didoakan malaikat dan seluruh makhluk di langit dan di bumi. Dan kalian! kalian berhasil menjadi orang-orang pilihan yang beruntung itu! Saya ucapkan selamat kepada kalian semua!”

Riuh menggema di gedung aula oleh tepuk tangan tangan para santri mengikuti gerakanku. Ada sekitar lima puluhan santri putra dan putri yang masuk tahun ini. Sebagian besarnya berasal dari sekitaran pulau Jawa, selebihnya dari pulau-pulau lainnya seperti Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. Tidak banyak yang kami terima tahun ini sebab Darul Akhyar masih dalam tahap penambahan bangunan.

“Seperti yang disampaikan kiai subuh tadi tentang hadits Rasulullah saw. Bahwa “Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudah jalannya menuju surga.” Hadits Riwayat Muslim.

Olehnya itu, keberadaan kalian disini insyaAllah sebagai pembuka jalan menuju surga. Karena para penuntut ilmu adalah orang-orang mulia, orang-orang yang akan menerima warisan para Nabi yaitu ilmu yang bermanfaat, maka langkah-langkah penuntut ilmu itu berada di jalan Allah. Sejak ia keluar dari rumahnya sampai ia kembali lagi setelah lulus nanti, jika meninggal pun mendapatkan kemuliaan seperti kemuliaan para syuhada yang berjihad di jalan Allah”

Ku tatap lekat-lekat wajah-wajah calon pejuang di hadapanku itu. Beberapa dari mereka ada yang begitu bersemangat, tapi kebanyakan dari mereka masih sembab wajahnya, matanya bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan airmata. Menangis karena pertama kali berpisah dengan orang tua. Satu orang yang sudah ku kenali sebab malam tadi anak itu meraung hebat di kamar asrama khusus santri baru. Khairul namanya. Tangisannya tidak berhenti meski dengan bujuk rayu para pembina, asatidz pun akhirnya turun tangan.

Aku mengulum senyum kemudian melanjutkan perkataan, “sedih adalah hal biasa, tetapi jangan diperbudak oleh rasa. Buat rasa sedih itu menjadi sesuatu yang bisa kalian syukuri di masa depan. Ketika kelak kalian membuat orang tua kalian bangga karena menjadi seorang yang berguna bagi bangsa dan agama. Sedih sekarang jauh lebih baik daripada sedih belakangan karena terlanjur salah pergaulan.”

“Jangan dipikir kalian dibawa kesini akan terkurung, terkungkung dan direnggut kebebasannya, tidak. Justru disini kalian akan terjaga, sembari belajar untuk menjadi orang yang berwawasan luas dan bebas berpendapat tentu saja tetap dalam jalur syariat. Jangan takut akan ketinggalan zaman. Pesantren sekarang sudah bisa setara dengan sekolah-sekolah luar yang menawarkan banyak fasilitas. Kita disini juga berada dalam satu lingkungan yang serba ada. Tidak perlu keluar banyak tenaga dan biaya, terjamin pula hidup dunia dan akhiratnya. Banyak kok lulusan pesantren yang jadi orang sukses, sekolah tinggi di luar negeri. Sing penting niatnya untuk mencari ridho Ilahi, mau kemana saja? Bisa diatur.

Asal tekun dan tidak manja, betul?

Disini. Kita akan belajar menempa diri. Belajar hidup mandiri, tidak merepotkan orang tua. Pulang-pulang nanti insyaAllah justru akan jadi kebanggaan orang tua. Amin ya robbal alamin.

Takbir!!!”

“Allahu Akbar!” serentak seisi ruangan mengumandangkan takbir yang seketika membuat bulu kuduk merinding.

“Baik, sekian dulu pertemuan kita kali ini, selebihnya bisa dijelaskan nanti sambil keliling bersama pembina masing-masing. Untuk santri putra bisa dengan Ustadz Fahri.

Santri putri bisa dengan Ustadzah—Benazir?”

“Benazir Darmani? Si Maman ki?” gumamku.

Kupastikan lagi tulisan yang kubaca dalam buku panduan santri. Memang benar, itu adalah Benazir anak kepala desa.

Segera ku tutup acara dan melesat mencari presensi seseorang yang namanya baru kubaca tadi. Pasti tidak jauh dari sini karena ditugaskan untuk mengawal santri putri baru.

Benar saja, tidak jauh dari aula kulihat dia sedang memasang senyum paling manis agar lebih bersahabat di mata para santri baru.

Lagi-lagi tawaku hampir meledak. Kenapa di saat seperti ini aku harus teringat akan Benazir sekitar sepuluh tahun lalu?

Anak bawang yang gemar mengekori kami para anak lelaki bermain layang-layang. Umurnya jauh di bawah kami, jika Gus Emil dan Mas Basri seumuran, aku satu tahun dibawah mereka, Ning Ais sekelas denganku di Madrasah Ibtidaiyah meski umurnya juga satu tahun lebih muda dariku. Kemudian Gus Bahtiar dan Li. Benaz sendiri hampir seusia Gus Nuril meski tetap Gus Nuril adalah yang paling muda dalam gerombolan kami. Tetapi Benazir ini adalah anak perempuan yang subhanallah... Silahkan menyimpulkan sendiri dari deskripsi yang ku sebutkan,
- suka bermain layangan dibawah terik matahari.
- Kulit dan rambutnya seringkali beraroma matahari bercampur lumpur-lumpur di pematang yang menjadi tempat nongkrong kami saat istirahat sebentar sambil menyantap satu-dua buah es lilin.

Benazir yang dijuluki Maman karena dia anak bawang yang paling galak yang pernah kami temui. Dia bisa makan es lilin tanpa mengeluarkan uang sakunya, hanya dengan meminta potongan dari masing-masing kami. Kalau tidak diberi dia akan menangis dan ingusnya menyebar kemana-mana. Satu-satunya yang tega dengan tangisannya adalah sang kakak, Mas Basri.

Kalau aku, sebenarnya bukan karena tidak tega. Tapi tidak tahan dengan lengkingannya. Apalagi jika mereka sampai bertengkar. Ya salam. Lebih dahsyat dari perang dunia.

Meski makin besar dia semakin menjadi anak perempuan yang tangguh dan bisa mengalahkan layang-layang kami sekaligus hanya dengan sekali adu, tetapi dia tetap adik kecil bagi kami.

Terbukti sekarang, tampilannya yang berubah anggun dengan jilbab terjulur dan senyum yang tidak lagi berhias sisa-sisa ingus dan lumpur itu seharusnya akan sangat mempesona bagi siapapun yang melihatnya.

Sayangnya tidak denganku yang masih dibayang-bayangi sosok Maman dari masa kecil dulu.

Kudekati dia, lalu kusapa. Dia terlonjak kaget begitu melihatku di depan matanya.

“Widih, Maman sudah jadi Mimin sekarang! Sudah pulang dari Turki tho?”

“Ya Allah, Gus! Jenengan disini juga? Sudah pulang dari pelarian?” tanyanya usil.

Lihat saja, dia bahkan tidak memanggilku dengan embel-embel penghormatan seperti mas atau kakak. Dari dulu dia memang semaunya saja menyapa orang. Mana bawa-bawa masa lalu lagi. Mentang-mentang dia yang paling tahu sejarah kelam diriku.

“Operasi plastik po kamu nang Turki?”

“Sembarangan. Memang beginilah wujud asli seorang Bee,” ujarnya dengan mengibaskan jilbab.

“Hiyalah. Putri tawon ketika sudah bisa merawat diri.”

Dia memberiku pelototan mata sebelum akhirnya pamit untuk melanjutkan tugasnya.

"Tawon ya tetep tawon~ gualak e poll," kelakarku yang dibalas mata sinisnya. Tapi segera ia tersenyum kembali.

“Eh, nanti ke rumah, yo! Aku masih ada oleh-oleh Turki.”

“Sajadah ya? Asik!”

“Gantungan kunci! Wkwkwk”

Hampir ku mengumpat.

“Dah, Agus!”

“Hust! Ahsan! Sekarang namaku Ahsan.”

Dia malah tertawa mengejek sambil berlalu.

Dasar. Dia juga tidak berubah kecuali penampilannya.

Hampir semua sudut Darul Akhyar tidak banyak yang berubah kecuali bangunannya yang bertambah tinggi dan beberapa bagian yang dibangun dari pondasi baru ketika luas pesantren sudah diperbarui. Bagian asli yang menjadi bangunan-bangunan awal pondok ini masih sama seperti dulu, termasuk pohon besar yang sudah ada disana sejak sebelum kami berada disini. Pohon yang juga menyimpan sejarah.

Sejarah aku dan dia.

Ah... Jika semua tidak berubah, bagaimana aku harus berubah?

Astagfirullah.

Hampir saja aku terjebak nostalgia.

Wajar saja jika semua masih tetap sama karena mereka memang tidak dituntut untuk berubah.

Sementara aku, memang sudah seharusnya. Tetap menyimpan rasa pada seseorang yang sudah menikah tentu bukan sesuatu yang terpuji. Justru jika terus seperti itu malah akan menodai kesucian cinta mereka. Yang sedang duduk berdua di beranda rumah kiai.

Ah sudahlah.

Bahkan Benazir pun bisa mengubah penampilan.
Aku juga tentu harus bisa mengubah perasaan.

Setidaknya.

Jika belum mampu membunuh rasa itu.


🍂🍂🍂

Hehehe
Mohon maaf ya agak telat update nya.
Maafin juga kerandoman part ini.
Nulis cerita ini lumayan challenge-ing sih. Karena harus disesuaikan sama tujuh cerita lain dari otak yang beda-beda.
Sedikit banyak ceritanya bersinggungan walau tetap bisa dibaca salah satunya saja. Tapi akan lebih seru kalau dibaca semuanya. Yeheeet! (Cerita lain bisa dilihat di akun SWP yaaa)

Oke. Semoga suka. Terima kasih sudah membaca. Semoga bermanfaat. 💕

Saranghamnida, 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro