Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

E N A M

Adios

Annyeong

Assalamualaikum

Aloha loha loveyyy!

Bertemu lagi dengan sayaaaa. Silakan dinikmati ya.

Doain smg nanti malam ada updatean lagi. Huehehe.

Fast question

Siapa first lop mu?

wkwkwkwkwk

Sila dibaca dengan bismillah, vote komen share dan bantu aku menemukan typooo.

Mohon maap part ini cheezy banget. But show must go on.

🍂🍂🍂


Sore hari di Darul Akhyar, para santri sedang menghibur diri setelah seharian belajar dengan berolah raga ataupun sekedar bersantai bercengkrama sambil menyantap kudapan berjamaah.


Bukan hal yang aneh jika santri bisa saling berbagi makanan satu bungkus kerupuk untuk lima orang. Seringnya, si empunya justru tidak kebagian apa-apa karena keburu diserbu teman-teman.

Rasanya memang menjengkelkan, kadang-kadang. Tapi ternyata episode-episode seperti ini yang justru akan terkenang paling manis ketika seorang santri telah lulus dari pondoknya.

Namanya santri meski dengan berbagai keterbatasan selalu tak kehabisan akal untuk mencapai satu tujuan. Contoh paling nyatanya adalah jika ingin makan. Tak ada piring, daun pun jadi. Tak ada mangkuk, ember pun jadi. Tak ada lauk, garam juga tidak masalah, apalagi kalau dicampur dengan masakan spesial kiriman orangtua -orangtuanya teman yang disimpan rapi tersembunyi dalam lemari.

Aku jadi teringat saat awal-awal Bian bergabung bersama kami di pondok ini, betapa anak bungsu dari keluarga berada yang mungkin makan dengan table manner itu harus tersentak kaget saat melihat teman-temannya menyantap nasi dengan porsi jumbo beralaskan daun pisang dan lauk yang sudah tercampur di atasnya, atau saat suatu waktu ia mendapati para santri melahap mie instan berkuah dalam satu ember beramai-ramai. Direbus dari api kayu menggunakan kuali besar milik dapur umum yang dipinjam dan tak pernah dikembalikan. Karena tidak punya sendok besar, biasanya menyendok kuah mie dari kuali menggunakan gayung mandi. Awalnya Bian syok berat, bahkan merasa risih ketika itu dia masih memiliki satu kotak alat makan yang lengkap berisi sendok garpu dan sumpit lalu makan dengan normal layaknya manusia biasa. Tetapi sekarang, justru anak itu yang ketagihan tajammu' atau talaman bahkan punya trik jitu agar bisa dapat suapan paling banyak saat makan berjamaah itu. Katanya ada kenikmatan tersendiri jika makan bersama dalam satu wadah.

Memang, konon katanya, akan membuat pelakunya saling menyayangi dan hidup rukun saat bersama serta saling merindukan jika kelak nanti berpisah. Mungkin terkesan tidak higienis, tetapi ajaibnya, santri justru tetap sehat dan bugar. Kokoh dan tahan banting. Mungkin ini yang disebut berkahnya pesantren.

Beberapa santri dan asatidz dengan pakaian olahraga - baju kaos dan celana training- mulai mengisi lapangan untuk bermain bola dari penglihatanku yang masih duduk di beranda masjid sedang menyimak setoran hafalan Kahfi.

Waktu olahraga menjadi waktu yang akan menyamarkan perbedaan dan memangkas jarak antara santri dan ustadz-ustadznya. Ketika mereka bermain bersama sebagai satu regu yang memperebutkan kemenangan. Sayangnya aku tidak pernah bisa turut berlaga di lapangan sejak kecelakaan menjelang lulus SD lalu.

Maka itu mengapa aku punya cara tersendiri untuk membangun kedekatan dengan santri-santriku. Entah dengan melempar guyonan saat mengajar atau berbaur bersama mereka sekaligus mengenang bagaimana dulu aku pun menjadi santri seperti mereka.

🍂

Setoran hafalan sepuluh juz dalam sekali duduk Kahfi baru setengahnya ketika anak-anak eskul pencak silat mulai berkumpul dengan seragamnya. Ada Bian dan Khairul serta beberapa anggota Sohibul Qolbi juga.

Kahfi sebenarnya juga anggota pencak silat di tingkat ke tiga tetapi sepertinya dia sudah izin terlebih dahulu akan bergabung belakangan seusai menyelesaikan setoran.

Belum juga latihan pencak silat dimulai, beberapa anak sedang mencoba atraksi yang belum terlalu mereka kuasai. Akibatnya, semua atensi tersedot ke arah mereka karena bunyi debum yang cukup keras diiringi pekikan dari salah seorang dari mereka yang segera menghentikan sejenak seluruh aktifitas di sekitar.

Aku tidak melihat bagaimana kejadian lebih tepatnya, tetapi sudah bisa kupastikan seseorang mengalami cidera fatal dari ekspresi wajah dan kepanikan para santri yang berkerumun di dekat santri yang sedang melenguh kesakitan.

Kusetop Kahfi yang masih larut dalam bacaan quran dengan mata tertutup, sepertinya dia satu-satunya orang yang tidak menyadari apa yang terjadi saat ini karena terlalu fokus pada hafalan. Kahfi memang begitu, ketika mulai menyetorkan hafalan seolah dia memasuki sebuah ruang hening yang di dalamnya hanya ada dirinya sendiri bersama lantunan ayat dari mulutnya.

Berbeda sekali dengan Kahfi yang sedang mencoba menghafal dan mudah sekali terganggu oleh suara-suara sekitar.

Bahkan suatu waktu saat aku menyimak hafalannya, tanpa sadar mataku pun memejam. Lalu saat ku buka mata, kudapati bercak darah menetes di lantai masjid tempat kami duduk. Pandanganku menyapu ke arah wajah Kahfi yang menunduk di hadapanku, ku tepuk pelan bahunya agar ia mendongak, rupanya darah segar itu berasal dari hidungnya tetapi dia sama sekali tidak sadar dan tetap membaca sampai aku yang menegurnya. Saat itu dia memang sedang semangat-semangatnya mengejar target hafalan dengan mengorbankan banyak waktu bermain bahkan istirahatnya.

Aku dan Kahfi menyusul menuju kerumunan, terlihat Rusli --santri yang menjadi pusat perhatian itu tergeletak di atas rumput masih sangat kesakitan.

"Lagi salto, tadz. Dari bahu ana. Kakinya belum pas tapi keburu loncat," jelas Nanang sebagai saksi dan diiyakan oleh teman-temannya yang lain.

Ku cek kondisinya sebentar, sepertinya cukup serius sebab Rusli semakin meraung saat bagian kakinya kupegang. Kalaupun tidak parah, tetap membutuhkan perawatan mengingat dia tergelincir dari atas temannya yang bersusun dua.

"Panggil Gus Imron," ujarku mengintruksi tanpa menyebut nama. Biasanya seseorang bisa langsung pergi dengan sukarela. Bian segera berlari menuju ruang UKS dimana Gus Imron mungkin berada.

Menantu Kiai yang masih menempuh pendidikan dokter spesialisnya di Surabaya itu memang menjadi dokter jaga di UKS ketika dia sedang pulang ke pesantren, biasanya setiap akhir pekan jika bukan Ning Ais dan Haidar yang menyusul ke Surabaya.

Karena tanggung jawab di pesantren tidak bisa ditinggalkan, Ning Ais dan suaminya memilih untuk seperti itu.

Ning Ais masih aktif disini sebagai pengajar dan pengasuh pesantren, sedang Gus Imron diantara kesibukannya untuk gelar dokter spesialis masih bersedia untuk menjadi dokter pesantren yang akan memeriksa santri setiap pekannya menjadi alasan mengapa mereka memilih mengorbankan waktu-waktu mereka seharusnya bersama demi memberi yang terbaik untuk para santri dan jama'ah.

Dari mereka aku melihat sebuah kekuatan yang tulus dalam mencintai. Ketika mereka hidup terpisah tetapi pada setiap pertemuan mereka terpancar sakinah yang menggugah.

Dari situ aku menyadari, Tuhan memang menciptakan mereka untuk saling melengkapi. Dan aku, pada akhirnya benar-benar harus merelakan rasa yang dulu pernah ku jaga hingga terasa sulit melepasnya.

Sekian lama aku menjauh demi menghapus jejaknya dalam dada, nyatanya justru berdampingan dengan mereka adalah cara terbaik untuk mengikhlaskan pada akhirnya.

Betapa Gus Imron memuliakan Ning Ais dengan segenap ketulusan, dan dibalas pula dengan Ning Ais dengan mencurahkan cinta yang utuh sempurna. Memang tak pernah ku dengar mereka mengungkapkan dengan kata, tetapi terlihat nyata dari cara mereka saling menjaga saat bersama, saling percaya ketika jarak menjadi pemisah, dan saling memuliakan sebagai bukti betapa mereka saling mencinta, itu lebih dari cukup untuk aku tahu diri. Bahwa memang bukan aku sosok terbaik yang bisa mendampinginya.

Gus Imron-lah orangnya.

Sosok lelaki yang mapan secara lahir dan batinnya, disempurnakan dengan postur ideal dan garis keturunan mulia. Bahkan dari penglihatanku sebagai seorang pria, beliau mengagumkan dengan tampilan yang segar dan bersahaja dan sangat berwibawa. Setiap orang yang berinteraksi dengannya ditawarkan persahabatan, hingga sulit untuk menemukan cela darinya meski ku yakin dia punya tapi pembawaannya yang menawan mungkin membuat orang akan malu dan segan untuk mencari kekurangannya.

Memang cocok untuk karakter seorang menantu kiai yang disegani namun juga disayangi santri.

"Sepertinya ada yang retak. Coba bantu diangkut dulu ke UKS," Dengan sigap Gus Imron memberikan penanganan ketika aku justru sibuk membandingkan diri dengannya.

Gus Imron memeriksa Rusli lebih lengkap ketika Rusli dibaringkan di ranjang UKS.

"Iya ini sepertinya ada tulang yang retak di bagian kakinya. Keras sekali apa kamu jatuhnya? Kok iso?"

"Gus, kayaknya harus dibawa ke kota untuk dirontgen," kata Gus Imron padaku seusai berbicara pada Rusli yang masih meringis.

Meski semua santri di pesantren ini sudah memanggil namaku sebagai Ahsan kecuali Benazir dan Ning Afif yang berkali-kali menolak memanggilku begitu, sementara Gus Bahtiar memang lebih sering memanggilku dengan sebutan mas dibanding menyebutkan namaku. Dan Gus Nuril, anak itu sedang tidak disini. Jika pun dia disini, akan sama seperti Bahtiar.

Tetapi kiai, nyai, Gus Emil dan Gus Imron ini yang kuberi penghormatan untuk tetap memanggilku begitu. Selain segan ya aku tak ingin merepotkan.

Yang lucu dari Gus Imron saat kami baru kenalan, mendengar aku dipanggil 'Gus' disangkanya akupun seorang 'gus' sepertinya. Sayangnya, 'gus' ku berasal dari Agus namaku. Bukan 'gus' karena aku adalah keturunan kiai.

Salah satu alasan mengapa aku mengubah namaku juga ini. Panggilan 'gus' membuat santri sering salah menerka aku sama dengan Gus Emil dan yang lainnya, bahkan lebih parah ada yang pernah mengira aku menantunya Kiai ketika Gus Imron sedang tidak disini.

Mendengar Gus Imron mengatakan tulang retak, memoriku tertarik kembali ke masa lalu. Tepat dimana aku terjatuh dari pohon mangga yang mengakibatkan tulang kaki dan tanganku patah yang membuatku tidak pernah lagi bisa bermain bola ataupun layangan bersama Benazir dan kakaknya.

Kejadiannya sepulang ujian akhir madrasah hari terakhir. Aku dan Ning Ais yang memang sekelas selalu pulang dan pergi sekolah bersama. Pertemanan masa kecil kami sangat menyenangkan meski aku dan Ais lebih sering bertengkar-bertengkar kecil. Karena kalau sama Gus Emil aku tidak berani melawan, Gus Bahtiar dan Gus Nuril terlalu kecil untuk diajak bertengkar. Ning Ais yang selalu mencoba mengikuti permainan anak-anak lelaki meski sebenarnya dia tidak bisa, itu mengesalkan dan kadang-kadang menyusahkan kalau ditambah Benazir.

Tapi mau diapa, saat itu kawanan kami memang didominasi lelaki. Bahkan sering lupa kalau Ning Ais dan Benazir adalah perempuan karena tak ada beda, kecuali kalau mereka menangis tiba-tiba, atau mengoceh tiada habisnya.

Aku terjatuh dari pohon mangga pun, yang orang-orang tahu karena aku memanjat untuk mencuri mangga. Tidak ada yang tau kalau Ning Ais yang memintaku mengambilkan mangga untuknya. Sebab saat aku terjatuh, dalam setengah kesadaran kulihat orang-orang ramai menolongku, tidak kutemukan Ning Ais yang sepertinya pergi bersembunyi.

Itu adalah kali terakhir aku melihat Ning Ais sampai kami benar-benar lulus SD dan menjadi santri dengan hijab yang membatasi. Bahkan ketika dirawat di rumah nyai sampai benar-benar pulih pun, Ning Ais tak pernah menunjukkan presensi. Dia seperti tertelan bumi padahal seharusnya suara cericitnya bisa terdengar dari jarak beberapa meter persegi. Begitu guyonan kami terhadap kehebohan putri kiai yang satu ini.

Berawal dari sana, pertemananku dengan Ning Ais berubah menjadi permusuhan apalagi kami di tingkat yang sama selalu menjadi rival di setiap mata pelajaran.

Aku tidak heran mengapa sejak itu dia selalu menghindariku, karena dia memang bersalah dan luka jahitan yang membekas di beberapa bagian tubuhku selalu mengingatkan tentang itu.

Yang aku herankan adalah, mengapa dan kapan tepatnya tiba-tiba rasa marah pada Ning Ais kemudian melunak dan menjelma hal yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Desiran yang dapat seketika menjadi debar yang mengacaukan sistem pernapasan ketika sekilas kami berpapasan.

Perasaan menggelitik yang mengubahku menjadi pujangga yang gemar merangkai kata di tengah malam hening nan gulita dengan dia sebagai pusat pencahayaannya. Atau ketika semua kaligrafi yang ku ukir bertuliskan namanya.

Aku mulai menggila, entah tersebab apa.

Mungkin saat tiba-tiba Ning Afif menyampaikan pesan dari kakaknya yang menunggu di ujung koridor antara masjid dan sekolah. Ketika untuk pertama kalinya teman kecilku itu mengucap kata maaf yang kutunggu sejak lama atas kesalahan yang membuatku hampir meregang nyawa.

Atau mungkin saja, jauh sebelum itu. Ketika amarah yang mencetuskan peperangan itu hanyalah kamuflase dari kekaguman terhadapnya, sejak dulu.

Sejak lama.

🍂🍂🍂

T

o be continued...
See u when i see u again

Saranghamnidaaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro