d u a
Assalamualaikum!
Salam santri!
Siapa yang menunggu kelanjutan cerita ini?
Yess, ustadz Ahsan is in the house yow! Kali ini nggak sendiri tapi bawa pasukan.
Siapa ya siapa yaaaa?
Penasaran ga?
Baca sampe akhir yaa.
Key, sebelum kita letsgo, seperti sebelumnya kita survey dulu nih,
Dari daerah mana aja nih yang baca?
Jam berapa kamu membaca ini?
Pilih mana,
santri tapi bandel atau bukan santri tapi taat?
Dihukum lari keliling lapangan atau bersihin wc atau hafalan?
K-pop atau J-pop?
Ups, sepertinya salah lapak wkwkwk.
Okedeh, lanjuts ya. Jangan lupa basmalah.
🍂🍂🍂
"Tetaplah beribadah meski terpaksa.
Teruslah beramal shalih meski belum nikmat terasa.
Berusahalah taat meski hanya sekedar takut hukumannya.
Suatu hari nanti, seiring kau bertumbuh dewasa dan mengarung luas dunia dengan segala tipu daya.
Kenikmatan ibadah akan datang dengan sendirinya.
Ketika kau menyadari, alasan sebuah ketaatan bukan hanya sebatas menjalankan kewajiban,
tetapi sebagai kebutuhan jiwa.
Entah sebagai tanda syukur atas jalan keluar dari setiap masalah yang menghimpit raga.
Ataupun sebagai sandaran ketika segala kesulitan nyaris memutuskan asa."
🍂🍂🍂
Kegiatan belajar mengajar hari ini sudah hampir berakhir. Kelasku selesai lebih awal karena hanya pengulangan materi. Di Darul Akhyar ini sistem pembelajaran terbagi dua yaitu sistem pelajaran formal dalam lingkup madrasah dibawah naungan Kementrian Agama yang sebagian siswanya tidak terdaftar sebagai santri dan tidak tinggal di asrama. Sistem lainnya masih berbasis pesantren dengan kegiatan mengaji kitab dan santri-santrinya full diasramakan dengan segala macam tata tertibnya.
Pagi hari sebelum fajar menyingsing, para santri sudah harus memulai aktifitas dengan shalat malam kemudian menunggu adzan subuh dengan mengantre mandi atau bagi santri yang malas mengantre sudah lebih dulu mandi sebelum shalat malam kemudian menambah hafalan sampai subuh, beberapa santri yang malas dalam artian secara harfiah akan menunda bagian mandi di waktu ini, entah dengan berkamuflase dengan cara langsung memakai seragam lalu membubuhkan minyak wangi dan sedikit bedak di wajahnya lalu benar-benar mandi saat sore— aku tahu ini karena aku juga dulunya santri, mereka tidak bisa mengelabui.
Usai subuh sudah terjadwal hari untuk mengaji kitab dari kiai untuk seluruh santri, dari nyai khusus untuk santri putri, juga hari pembagian kosa kata bahasa arab yang harus dihafalkan bersama-sama dengan membentuk barisan. Biasanya dipimpin oleh pembina bagian bahasa. Setelah itu akan dibunyikan bel pertama tanda apel pagi akan dimulai dan seluruh santri sudah harus berbaris di lapangan depan gedung sekolah masing-masing. Setelah apel pagi, ada waktu jeda sebentar untuk santri mengisi perut sebelum bel kedua berbunyi dan kegiatan belajar mengajar madrasah akan berlangsung sampai menjelang dzuhur. Anak-anak belajar sebagai siswa Madrasah Aliyah ataupun Madrasah Tsanawiyah dimana setiap kegiatan ekskulnya masih menggabungkan antara siswa dan siswi, tentunya tetap diawasi oleh masing-masing guru pembimbing. Setelahnya-- bakda dzuhur dan makan siang, bel akan kembali berbunyi untuk pelajaran pondok ataupun kegiatan ekskul. Barulah setelah ashar, sehabis menyetorkan hafalan santri bebas melakukan apa saja, seperti olahraga, atau hanya duduk bersantai, mengobrol sambil menghabiskan uang saku kiriman orang tua, kalau punya. Kalau tidak, paling-paling ikut menyicip sekali-dua kali dari teman yang mau berbagi. Di pesantren inilah, punya banyak teman akan menjadi sebuah keuntungan besar. Banyak teman artinya, kenyang. Kalaupun tidak kenyang, pasti akan selalu senang. Seperti lagu, kan?
Kemudian santri akan mulai membersihkan diri, bersiap untuk shalat maghrib. Antara maghrib dan isya kembali diisi dengan pengajian, kecuali jika ada jadwal muhadharah, waktu makan malam santri dimajukan sebelum isya jika di hari-hari biasa makan malam sehabis isya dan langsung dilanjutkan dengan kelas malam.
Begitulah kegiatan santri terus berlangsung setiap harinya. Jika dibayangkan akan terasa padat sekali dan menjenuhkan dengan aktifitas yang itu-itu saja. Tetapi saat dijalani, ternyata tidak juga. Sekalipun semakin hari waktu terasa semakin singkat sekali tetap saja masih ada waktu luang tersisa. Lagipula, meski kesannya terkurung dan tertuntut untuk melakukan kegiatan yang sudah diatur berulang-ulang kali, santri selalu punya cara untuk menghibur diri. Sehingga secara ajaib jarang sekali keluhan rasa bosan keluar dari mulut mereka, meski ketika hari libur tiba tetap saja akan ada drama berebut izin pulang atau sekedar pergi ke pasar. Ya, dimaklumi. Setidaknya mereka terlatih menjadi santri yang aktif bergerak, berdaya, anti rebahan-rebahan club!
🍂
Tidak terasa tahun ini memasuki tahun kelima aku berada di pondok ini bukan sebagai santri. Terhitung sejak pertama kali kembali, sudah tiga angkatan yang kusaksikan lulus dan pergi, serta masuk sebagai santri baru. Kemudian santri baru itu perlahan menjadi terbiasa dan naik kelas menjadi senior, semakin akrab satu sama lain, semakin merekat ukhuwah mereka terjalin hingga harus mulai mempersiapkan diri ketika perpisahan yang harus mereka hadapi tak lama lagi akan menghampiri.
Sama seperti Bian, rasanya baru kemarin kusambut kedatangannya sebagai santri baru dengan koper yang lebih besar dari tubuhnya. Datang bersama kedua orang tua dan keempat kakak perempuannya. Jelas sekali bahwa ia terpaksa melanjutkan sekolah menengahnya di pesantren seperti ini padahal ia lulus SMP dari salah satu sekolah internasional di ibukota. Kepindahannya kemari dianggap kesialan karena orangtuanya yang pindah domisili setelah ayahnya menjadi kepala rumah sakit di kota, dan kebetulan merupakan dokter yang mengontrol kesehatan Ki Akhyar secara rutin.
Hari-hari pertamanya di sini penuh dengan drama khas anak remaja yang mencoba berontak tapi tak cukup daya.
Kini, di tahun keduanya, anak itu justru sedang semangat-semangatnya menghafal alquran berkat termotivasi dari temannya yang sengaja kuperkenalkan. Seorang cucu kiai dari sebuah pondok pesantren di Makassar, Kahfi namanya. Berhasil mengkhatamkan alquran sebelum lanjut ke madrasah aliyah. Kahfi menjadi satu dari lima puluh santri baru yang ku briefing di hari pertama bertugas waktu itu, tetapi memang sengaja dimasukkan ke program khusus pesantren saja tanpa menjadi siswa madrasah. Barulah setelah menyelesaikan hafalan, ia mengikuti ujian paket B untuk mendaftar masuk madrasah aliyah bertepatan dengan masuknya Bian.
Berbeda Bian dan Kahfi, berbeda pula Khairul. Anak itu selalu mengingatkan tentang diriku di masa lalu ketika seumuran mereka. Seorang anak petani tanggungan pesantren. Persis seperti aku, kecuali bagian yatim piatu, ataupun kisah tragis dimana keberadaan keluarganya tidak diketahui seperti Li Zian. Khairul meski dari keluarga kurang mampu, ia masih memiliki orangtua yang lengkap dan lima adik yang rumahnya tidak jauh dari pesantren. Hanya sedikit menanjak melewati tanah perkebunan sayur milik pesantren.
Setiap santri punya ceritanya masing-masing. Banyak dari cerita dan fakta kehidupan mereka yang menyayat hati, meski ada pula yang memang sudah beruntung sejak mereka lahir. Tapi tetap saja, kehidupan akan menguji siapapun yang berpijak diatasnya. Mereka yang terlahir dengan sendok emas akan mendapatkan ujian sekadar emas, mereka yang terlahir dan langsung memikul beban berat pun harus bertahan dan tetap kuat untuk menemukan jalan keluar.
Dan yang menggugah adalah mereka yang mampu tetap tangguh meski berbagai macam problematika hidup berusaha melumpuhkan mereka.
Tetapi dari semua itu, ada yang patut diapresiasi atas semua dedikasi yang dikerahkan untuk mendampingi para santri dengan segala versi kenakalan remajanya. Terkadang memang menggelitik dan mengundang tawa, tapi seringnya justru memancing emosi jiwa raga. Bersabar saat amarah memuncak adalah kemuliaan. Meredam amarah menjadi sebuah kemaafan memang membutuhkan keahlian. Jika seorang pendidik mempunyai sikap seperti ini, pastinya ia patut menerima penghargaan.
Tentu saja orang itu bukan diriku.
Aku masih sulit memaafkan sebuah kesalahan tanpa memberi hukuman. Itu mengapa aku masuk dalam daftar ustadz yang paling dihindari santri.
Seperti hari yang terik ini, selesai mengajar lebih cepat dari bel jam pelajaran terakhir, aku melanjutkan misi pencarian para santri yang bersembunyi dari kejaran.
Diantara mereka sudah kuringkus Bian, Khairul dan Bara. Indra, Unang sama Khalik masih dalam pengejaran.
Santri-santri senior begini ini yang mulai sering berulah, sehabis bertugas piket jaga sepanjang malam, paginya curi-curi kesempatan tidur tanpa subuh berjamaah bahkan ketinggalan pelajaran pertama. Awas saja nanti kalau ketemu semua.
Selain mengajar mata pelajaran Al-quran Hadits di madrasah dan juga mendapatkan amanah untuk memimpin kajian Hadits Arba'in di pelajaran pesantren. Aku juga pasang badan sebagai seorang yang selalu siap saat dibutuhkan di Darul Akhyar. Contohnya sebagai orang yang akan belanja ke pasar induk untuk keperluan dapur umum santri. Atau apapun yang dibutuhkan nyai. Kepala bagian keamanan santri putri, yang juga bertugas sebagai pemegang kunci-kunci dari kunci gerbang utama sampai kunci ruangan-ruangan penting di setiap gedungnya. Dan tentunya tugas yang paling menyenangkan adalah mencari-cari pelanggaran untuk kuproses kemudian. Entah dengan memberi hukuman sendiri atau kukirim menghadap Gus Emil.
Jadi kegiatanku memang lebih banyak berurusan dengan internal pesantren dibandingkan dengan kesiswaan di madrasah, struktur pengurusnya beda lagi.
Langkah kupercepat sampai mendekati pohon mangga harum manis yang tinggi menjulang diantara gedung sekolah putra dan putri. Mengecek sebentar keatas, memastikan tidak ada lagi Meda yang sedang memanjat seperti kemarin.
Bukan masalah pelit tidak membolehkan santri memetik mangga yang sedang berbuah lebat itu. Toh, mangganya juga bukan milikku. Tetapi tingginya pohon ini cukup berbahaya untuk dipanjat. Aku hanya takut mereka terjatuh dari atas sana, paling ringan patah tulang, seperti aku dulu yang lukanya menyisakan bekas di lengan dan pelipis, selamanya.
Jadi sebenarnya kalau mau mangga, seharusnya mereka bisa bilang. Akan diambilkan, kok.
Setelah menemukan Indra dan Unang yang langsung ku suruh ke kantor, Khalik yang kutemui di depan kelas sambil senyum melihat ke arah kelas santri putri, sudah rapi dengan seragam dan peci tapi ku yakin dia tidak mandi. Kujewer saja kupingnya sampai dia mengaduh keras menuju kantor asatidz.
"Kalian ini sudah senior jadi makin ada saja kelakuannya. Apa kesalahan kalian?!"
"Bolos sekolah, tadz" aku Khairul yang memang kutemukan di ranjangnya sedang tidur tadi.
"Nggak ikut shalat subuh, tadz." Bian juga mengaku dengan menunduk.
"Saya juga tadz."
"Ada yang bisa kasih alasan?"
"Piket, tadz" Khalik bersuara.
"Halah. Piket. Ustadz tau. Ustadz juga pernah santri, alasan nggak sekolah karena malamnya piket itu udah kuno. Kalian harusnya punya alasan lebih kreatif, lah. Kahfi tuh, piket tapi tetap ada di shaf pertama shalat tahajjud sampe subuh.
"...."
"Tapi Kahfi mah, piket juga tetep tidur doang, tadz ... bukan jaga."
"O jadi kalian jaga? Ini apa?"
Kutunjukkan barang bukti beberapa bungkus mie instan dengan penggorengan yang dipenuhi kerak hitam dibagian bawahnya, bekas dipakai masak dengan api dari kayu.
"Kalian jaga, atau pesta?!"
Semuanya menunduk.
"Siapa yang semalam piket bukan jadwalnya?"
Mereka berlima tunjuk tangan. Aku tahu, karena yang kupanggil kesini memang hanya mereka yang piket diluar jadwal mereka. Alias ikut teman saja. Bian dan Khairul ikut piket karena jadwal piketnya Kahfi. Sedang Khalik, karena teman satu gengnya si Syahrul juga piket. Jadilah mereka beramai-ramai piket tadi malam, yang lebih banyak ngumpulnya ketimbang jaganya.
"Kalian boleh mencari-cari kelonggaran. Tapi kalian harus paham, konsep aturannya bukan melulu tentang mendapatkan keringanan, tapi bagaimana agar bisa taat aturan dengan mengerahkan segala kemampuan. Kenapa kalian nggak belajar taat aja walaupun emang susah?"
"Sudah sebesar ini seharusnya kalian sudah bisa paham bahwa segala perbuatan pasti memiliki konsekuensi. Ketika kalian bersiap melakukan sesuatu, kalian juga harus siap dengan konsekuensinya. Kalian siap melanggar aturan, ya siap-siap dihukum aja."
"yaaah ... Ustadz ... " sahut mereka lesu.
"Hukuman kalian ... " kuhentikan kalimatku dengan berdehem dahulu sambil melirik wajah-wajah memelas mereka. "... bersihkan penggorengan dapur ini sampai bersih, dan hafalkan surah An Nur."
Semuanya saling tatap, jelas raut wajah keberatan tergambar di masing-masing mereka. Tapi tidak lagi ada yang berani protes.
"Oke, setengah surat aja. Tapi dalam waktu tiga hari. Bisa kan? Orang udah pernah dihafalin kok di kelas tafsir."
Mereka mengangguk lemas.
"Satu hal yang perlu kalian ingat, mungkin sekarang kalian belum rasakan efeknya. Atau masih belum paham maksudnya. Tapi inget dulu aja, nanti ketika kalian sudah bisa ngerti kalian akan berterima kasih sama saya."
"Apa, tadz?"
"Tetaplah beribadah meski terpaksa. Teruslah beramal shalih meski belum nikmat terasa. Berusahalah taat meski hanya sekedar takut hukumannya. Suatu hari nanti, seiring kalian bertumbuh dewasa dan mengarung luas dunia dengan segala tipu daya.
Kenikmatan ibadah akan datang dengan sendirinya.
Ketika kalian menyadari, alasan sebuah ketaatan bukan hanya sebatas menjalankan kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan jiwa.
Entah sebagai tanda syukur atas jalan keluar dari setiap masalah yang menghimpit raga.
Ataupun sebagai sandaran ketika segala kesulitan nyaris memutuskan asa."
"Uh dalem," seloroh Khairul.
"Kamu ngerti?" timpal Khalik.
"Nggak," balasnya lagi.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
"Udah sana, bubar. Kalian mandi sekalian tuh bersihin penggorengan terus kembalikan ke matbah. (Dapur umum)
🍂🍂🍂
Halo gais, perkenalkan...
Bian
Kahfi.
Bucin bucin Kahfi, waktu dan tempat dipersilahkan. Wkwkwkk.
Oh, iya. Biar nggak bingung aja, iya ceritanya ini Kahfi Fathullah anaknya Abati. Mungkin akan terjadi ketidak sinkronan karena di cerita Yaa Abati Kahfi sudah menikah sama Natasha.
Ya pokoknya di cerita ini Kahfi masih santri. Seharusnya ini waktu kejadiannya sebelum Kahfi kuliah dan ketemu Natasha.
Dari jauh-jauh hari kusiapin planningnya begini gaes. Cuma gegara Corona jadi ambyar lah. Tapi aku dah terlanjur nggak bisa mikirin konsep lain lagi hahahaha. Jadi nikmatin aja, ya. Nggak usah terlalu difokusin ke penyesuaiannya. Pokoknya ini ceritanya pas Kahfi belum pernah ketemu Natasha. Okeeee?
And the last,
Tersangka yang ditemukan tertidur pulas saat KBM...
Khairul.
TETEP YAAA BAWA BAWA OPPA.
YA IYA DONG. PROPERTI. WKWKWK.
Bhaiqlah.. Sampai ketemu hari selasa, insyaAllah.
Saranghamnidaaa. 💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro