Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

D E L A P A N

Malam semakin pekat dan hening membebat. Tak seperti biasanya, malam-malam di Darul Akhyar selalu dihiasi nyaring suara jangkrik ataupun orkestra tonggeret saat pergantian musim, menjelang akhir malam ini terasa lebih sunyi, hawa semakin sejuk meski angin berhembus malu-malu.

Setelah menyisir beberapa bagian pondok dari wisma asatidz sampai bagian kelas, tidak ada satu orangpun yang berlalu lalang. Biasanya jam segini santri yang piket jaga malam memang berkumpul di pelataran masjid yang dekat dengan gerbang utama.

Benar saja, semakin dekat ke arah masjid sayup-sayup mulai terdengar suara beberapa orang mengaji. Setiba di masjid, kudapati para piket sedang pulas tertidur di teras dengan meringkuk di dalam sarung. Sedangkan api yang mereka nyalakan untuk penghangat (atau jika sedang kreatif mereka gunakan untuk memasak) diantara batu bata yang melingkar bersusun tiga mulai padam. Dari dalam masjid Bian keluar sambil menguap keras dengan celana buntung dan sarung yang diselempang saja membuatku segera beristighfar alih-alih menyapanya.

"Eh Ustadz Ahsan. Udah bangun, Tadz?" sahutnya dengan senyum memamerkan semua gigi tapi melenyapkan matanya.

"Kamu piket malam ini?"

"Iya, Tadz. Tapi karena Kahfi juga itikaf di masjid jadi Khairul nggak ada temen di kamar, ikutan juga aja deh hehehe."

"Kalian ini selalu aja nempel seperti ketan."

"Enak dong, Tadz," timpalnya sambil senyum lebar.

Aku hanya mengangkat sebelah alis kemudian kulirik sekilas Kahfi yang suaranya terdengar dari luar, duduk menghadap tembok di shaf pertama masih asyik mengulang hafalan, rupanya anak itu benar-benar melakukan apa yang kukatakan waktu itu. Mengorbankan waktu tidur demi mencapai target hafalan.

"Terus Khairul mana?"

"Nggak tahu, Tadz. Coba aja ustadz cek satu-satu mayat korban banjir bandang ini," tunjuknya ke arah kumpulan teman-teman piketnya yang tidur bergeletakan.

"Sholah. Sholah! Qum!" seruku membangunkan mereka semua.

"Bangun-bangun, bangunkan semua santri sudah hampir waktu shalat malam."

Setelah semuanya terbangun dan pergi membasuh muka, Kahfi bergabung bersamaku dan Bian. Menyapa sebentar sambil berterima kasih atas saranku waktu itu. Tetapi juga mengeluhkan kepalanya yang pening, kulihat juga matanya bengkak dan memerah karena menahan kantuk katanya.

"Kalau nggak tidur sekarang, nanti rubuh pas solat pasti ...."

Memang kalau tidak terbiasa akan sangat sulit bertahan tanpa tidur sepanjang malam. Tapi aku punya sesuatu untuk menyegarkan Kahfi kembali.

"Fi, gebyar maulid siap ya lomba bahtsul kutub?"

"Hah? Kok saya, Tadz?" jawabnya terkejut.

"Biasanya kan memang kamu."

"Tapi ... Saya kayanya nggak bisa ikut tahun ini," ujarnya lemas.

"Loh, kenapa?"

"Nggak tahu, Tadz. Udah lama ana pengin cerita, nggak tahu kenapa belakangan ini rasanya seperti tertekan banget. Kapan-kapan ana minta waktu buat nasehatnya ya, Ustadz," pintanya.

Aku mengangguk, "mungkin kamu jenuh. Kalau jenuh, kamu bisa berhenti sejenak, tapi jangan nggak ngapa-ngapain sama sekali. Coba kamu ganti kesibukan, atau kegiatan lain. Nggak apa-apa."

"Syukron, Tadz."

"Tapi kamu yakin nggak mau ikut? Ning Afif juga ikut, lho. Mewakili santri putri tingkat MTs."

"Ah, yang bener, Tadz?"

Benar kan? Wajah lesu setengah watt Kahfi seketika berubah segar hanya dengan nama bungsunya kiai. Aku menyeringai kecil melihat reaksinya.

"Misalkan kamu mau ikut sebagai lomba terakhir sebelum berhenti, silahkan. Tapi kalau kamu ndak mau ya ndak apa-apa. Biar Syahrul yang ikut."

"Mau, Tadz! Mau!" sekarang Kahfi segar maksimal dengan senyum lebarnya. "Anggap aja pertandingan penutup, hehehe," pungkasnya.

"Heu, kalau ada Ning Afif aja." Bian mengejek.

"Yowes, sip. Tetap maksimalkan usaha ya, walau motivasinya Ning Ais, kan nggak lucu kalau kalah di depan Ning Ais."

"Ning Ais?" Bian dan Kahfi terheran.

Astagfirullah.

Aku berdehem sebentar, mencoba kalem. "Ning Afif!" ulangku.

Kenapa pula nama mereka hampir sama. Jadi gampang tertukar.

"Eh Ustadz, na'udzu billahi min dzalik. Nggak lah, Tadz. Insya Allah tetap diniatkan untuk Allah,"

Kuanggukkan kepala sekali lagi. Aku tahu karakteristik Kahfi yang cukup kompetitif. Selalu mengerahkan usaha terbaik dalam ujian ataupun pertandingan. Kadang-kadang aku heran sendiri dan bertanya-tanya apakah dia menikmati hal itu? Tapi cukup melegakan ketika dia mengatakan sedang tertekan. Maksudku, bukan mensyukurinya tetapi setidaknya itu menjadi sinyal bahwa dia kelelahan karena terlalu memacu diri. Kuingat diriku di usianya saat ini, tidak banyak pencapaian yang bisa dibanggakan. Sedangkan Kahfi, untuk modal melamar anak kiai atau beasiswa kuliah di luar negri tanpa seleksi bisa dia dapatkan atas prestasinya saat ini. Tapi, memang dia dipersiapkan untuk itu.

"Tapi kamu masih utang penjelasan kenapa tiba-tiba jenuh."

Sudah lama aku penasaran dengan apa yang dia rasakan. Akan kutagih dia di lain waktu.

"Iya, Tadz. Nanti ana cerita."

"Oke. Sebentar lagi acara pembukaan, nasyid siap kan?"

"Pastinya dong, Tadz. Tim nasyid terpopuler sejagad Darul Akhyar, siap mengguncang panggung!" sambar Bian yang energinya seperti tidak pernah habis.

"Apaan sih, kita aja belum pernah latihan," timpal Kahfi.

"Profesional seperti kita udah nggak perlu latihan. Ngorok aja merdu, bray! Apalagi cek sound."

"Ngorok merdu? sini deh ane guyur air dingin biar bangun. Siapa juga yang suka denger orang ngorok."

Kahfi menarik Bian menuju tempat wudhu tanpa menggubris temannya itu hendak membuktikan kemerduan suaranya.

Memang suara Bian enak didengar saat bernyanyi, sama sekali tidak seperti Bian yang selalu ceriwis tanpa spasi. Ditambah Kahfi dan Khairul, tim nasyid Darul Akhyar memang menjadi favorit yang paling dinanti setiap kali ada acara.

Aku jadi ingat, dulu akupun pernah bermimpi bergabung bersama tim nasyid. Karena masuk tim nasyid adalah cara populer paling cepat di santri putri.

Sayangnya, itu cuma khayalan. Jangankan tampilan yang enak dilihat seperti Bian atau Kahfi, suaraku saja lebih cocok dijadikan pengusir hama di sawah.

Masa depan tim nasyid tidak akan cerah jika ada aku di dalamnya, maka ku putuskan untuk bergabung dalam eskul dibelakang panggung seperti kaligrafi dan karya tulis. Meski tidak banyak penggemar, setidaknya suatu hari aku tahu ada satu orang yang selalu menunggu karyaku dan itu sudah cukup. Kalian tahu orangnya, tak perlu kusebutkan lagi. Pamali.

🍂

Ba'da subuh di sabtu pertama setiap bulan biasanya Ki Akhyar akan mengisi pengajian untuk umum di masjid. Akan ada banyak masyarakat dan orangtua santri yang menyempatkan datang. Biasanya sekalian menjemput anak mereka untuk libur akhir pekan, atau sekedar menjenguk dan membawa barang-barang titipan sang anak.

Hari ini pun begitu, lahan parkiran pesantren mulai dipadati kendaraan para jama'ah yang haus akan ilmu dan hendak melerai rindu kepada gurunda, yang nasihatnya seperti bulir-bulir embun yang menyejukkan pagi. Tenang dan selalu menentramkan hati. Banyak dari mereka yang sengaja menyempatkan datang dari desa sebelah, bahkan yang dari kota juga tak ingin tertinggal.

Pagi ini beliau memberi tausiah yang singkat namun cukup menampar.

Beliau menyebutkan tentang orang-orang yang menipu Allah.

Kiai Akhyar memulai nasihatnya dengan bertanya kepada jama'ah,

"Disebut apakah seseorang yang meminta segelas air kepada orang lain, kemudian setelah diberikan ia malah menolaknya. Lalu ia meminta lagi air terus menerus kepada orang yang sama. Tetapi ketika diberi, ia menolak lagi?"

Semua orang terheran-heran dalam diam. Penasaran dengan apa yang akan dijelaskan kiai selanjutnya.

"Bukankah orang ini bisa disebut sombong? Main-mainin orang?"

Kiai melemparkan pertanyaan kembali kepada jama'ah.

"Kira-kira ada tidak orang gendeng semacam ini?"

Serempak para santri-santri kecil menjawab, "tidaaak."

"Ada. Tentu ada. Di dunia ini, jutaan umat islam melakukan hal seperti itu terhadap Allah. Di dalam salat, mereka membaca surat Al Fatihah 17 kali dalam sehari, bahkan lebih kalau ditambah salat sunnah. Apa yang dibaca dalam Al Fatihah?"

Pada bagian ini aku mengerti kemana arah pembahasan kiai.

"Kita memuji dan menyanjung Allah. Kita memelas, berdo'a, mengemis pada Allah, Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan."

"Seperti yang Allah jaminkan, jika meminta kepada-Nya, pasti akan dikabulkan. Tapi, berapa banyak orang yang tulus dalam pernyataan itu? Faktanya, banyak yang pada lisannya membaca Al Fatihah 17 kali sehari semalam, memohon pertolongan dari Allah, menyatakan ketundukan, kepatuhan hanya kepada Allah. Tidak berharap selain kepada Allah, tidak takut kecuali pada-Nya. Nyatanya tidak benar-benar meyakininya. Mereka tetap tunduk pada manusia, patuh pada aturan-aturan pemimpin yang tidak sesuai dengan aturan Allah, bahkan ikut mendukungnya. Takut jika seseorang memutus sumber rezeki ataupun nyawanya. Terpuruk karena kehilangan cinta ..."

"... Mereka tidak sadar bahwa mereka telah tunduk pada tuhan-tuhan selain Allah. Harta, tahta, pangkat dan jabatan. Cinta, termasuk istri dan anak-anak, terlebih hawa nafsu, ini semua adalah tuhan-tuhan mereka selain Allah."

"Kemudian," Ki Akhyar melanjutkan. "Mereka membaca "ihdinas-shirathal mustaqim; tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus. Mereka minta sama Allah petunjuk, tapi mereka sendiri yang berpaling dan memilih jalan-jalan kesenangan, jalan-jalan dosa dan maksiat. Ini menipu Allah. Mempermainkan Allah."

Semua jama'ah khusyuk mendengarkan. Beberapa orang menunduk seolah tenggelam dalam renungan. Tak terkecuali aku, yang pernah menuntut Allah sebab harapan yang tidak terwujud menjadi kenyataan. Rasanya malu sekali, jika setiap hari kita mengikrarkan kepatuhan hanya kepada ilahi, tetapi masih menggugat jika hidup tak sesuai keinginan hati. Mudah frustasi seakan tidak ada lagi yang berharga dari hidup ini. Padahal, andai kita ingin sejenak merenung, bahkan napas kehidupan pun adalah kemurahan Allah. Kita akan sadari, kita memang tidak berdaya tanpa-Nya. Kita akan kacau jika meninggalkan-Nya.

"Apakah ada orang yang seperti itu?" tanya kiai lagi.

"Adaaa."

"Betul. Ada. Tapi tidak disini, disini semuanya orang-orang ikhlas beribadah hanya untuk Allah, insyaa Allah. Ya Pak, Bu ... Anak-anakku sekalian."

"Aaamiiin ...." serentak para jama'ah.

🍂

Hari libur sabtu biasanya santri tetap berkegiatan. Hafalan, ngaji kitab ataupun menjalankan hukuman dari mahkamah tadi malam tetap berjalan, hanya saja tidak masuk ke kelas. Ada juga santri yang keluar untuk mengambil les pada lembaga penyedia jasa bimbingan belajar di dekat pasar.

Sabtu pagiku biasanya terjadwal ke pasar induk untuk membelanjakan kebutuhan dapur umum santri ataupun dapur nyai. Kebetulan besok juga pondok kami akan menggelar acara maulid nabi yang pastinya akan membutuhkan banyak bahan-bahan untuk diolah menjadi makanan.

Setelah menyalin baju salat dengan kaus berlogo Darul Akhyar yang lengan panjangnya ku gulung hampir mencapai siku, dipadukan celana cargo panjang untuk mempermudah belanja nanti, aku segera menghadap nyai di rumah kiai yang letaknya di dekat masjid menghadap wisma asatidz.

"Gus, nanti kan Nuril pulang. Sekalian belanjain bahan-bahan untuk masak makanan kesukaan Nuril ya."

"Nuril pulang, Nyai? Besok? Wah bisa pas gitu waktunya ya, Nyai."

"Iya, sekalian lah pembukaan gebyar maulidnya pas Nuril dateng biar rame."

"Waaah, sudah lama saya ndak ketemu Nuril, Nyai. Gimana ya dia sekarang."

"Apalagi Nyai, Gus. Bertahun-tahun menahan rindu. Heran juga kenapa anak itu jadi mandiri sekali ndak mau dijenguk trus ndak mau pulang-pulang juga. Beda banget sama Nuril yang dulu seneng gelendotan di ketek."

Aku berusaha menahan tawa di akhir kalimat nyai, tapi gagal karena gambaran Nuril kecil menggelayuti lengan nyai saat meminta sesuatu tiba-tiba terbayang.

Tidak lama setelah mengobrol dengan Nyai dan Kiai yang bergabung belakangan aku pamit untuk berangkat sebelum hari menjadi semakin siang.

Saat memanaskan mesin motor di depan wisma, kulihat Ki Akhyar melambai dari beranda rumahnya.

"Sek, Gus," ujar kiai sambil mengeluarkan tangannya dari saku bagian bawah baju kokonya kemudian mengangsurkan dua lembaran berwarna merah, "buat bensin," tambah kiai.

"Ampun, Kiai. Jangan repot-repot," tolakku.

"Wes. Ambil aja." Kiai malah langsung mengambil tanganku dan meletakkan lembaran itu disana.

"Maturnuwun, Kiai. Nyuwun pamit, Kiai, Nyai. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab mereka.

Kalau kiai memaksa, aku tidak bisa menolak.

Alhamdulillah, rezeki pagi-pagi.

Ya Allah berkahilah kiai kami. Anugerahkan limpahan rezeki dan umur yang panjang lagi bermanfaat kepada beliau.

Pasar induk ada di kota, sekitar satu setengah jam dari pesantren. Biasanya untuk belanja santri cukup di pasar desa yang tidak jauh jaraknya, tapi tidak selengkap di pasar induk. Disini pula tempat bimbingan belajar para santri. Karena tempatnya yang cukup jauh dan harus menumpang angkutan umum, tidak banyak yang mampu bimbel di tempat ini. Maka pesantren berusaha menyediakan sarana bimbingan belajar untuk siswa akhir menjelang ujian nasional agar santri tidak perlu keluar tenaga dan mengorek biaya lebih dalam untuk pelajaran tambahan, kecuali memang mereka berkemampuan.

Satu persatu pesanan nyai sudah terbeli, seharusnya aku tadi mengajak satu orang santri untuk menemani seperti biasa. Karena berpikir barang belanjaan akan banyak dan motor tidak akan muat untuk dua orang jika sudah ditambah barang. Ternyata belanjaan hari ini banyak sekali. Sampai tidak bisa diangkut dengan motor pula. Seandainya tadi kuajak seorang santri, biar dia pulang dengan angkot bersama barang belanjaan ini.

"Gimana, ya?" sambil memikirkan solusi, tiba-tiba seseorang memanggil namaku dari belakang.

Dua orang gadis berkerudung putih berdiri di belakangku. Satu orang melihat ke arahku dengan tatapan menyedihkan, satu lagi menunduk dan eh? Menangis?

"Ustadz..."

"Kalian santri?"

"Iya, Ustadz." jawabnya.

Ya jelas mereka santri kalau mengenaliku meski aku tidak mengenal mereka.

"Kenapa disini? Bimbel? Itu teman kamu kenapa?"

"Ng... Itu, Tadz. Tadi ..."

"Tolong saya, Ustadz." Santri yang menangis itu bersuara lirih.

"Kalian kenapa?" Ucapku lagi, kali ini lebih keras. Khawatir sesuatu yang buruk baru saja mereka alami.

🍂🍂🍂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro