39 | Cuddling
• Ileana •
Hatiku berbunga-bunga hingga seolah hampir meledak. Bahagia bukan main mendapatkan perhiasan dari Dewa. Sebuah kalung berliontin zamrud. Lalu, butiran batu berkilau ini, apa? Berlian?
Tidak munafik, cintaku pada Dewa bertambah 1000 kali lipat.
Apakah sudah kodrat wanita merasa sebahagia ini setelah mendapatkan hadiah dari pasangannya? Senangnya tumpah ruah. Terlebih, sebelumnya aku sama sekali tak mengharapkan apa pun dari Dewa. Aku enggan meminta-minta. Aku takut menyusahkannya.
Well, ketika masih bersama Raihan, bergelimang kado memang merupakan hal lumrah. Ini bukan pertama kalinya aku mendapatkan hadiah dari lelaki. Akan tetapi ini Dewangga Satya - seseorang yang anti romantis-romantisan. Perlakuan manis Dewa padaku jadi terkesan istimewa. I truly felt loved and appreciated.
Kupagut bibir Dewa dalam buncahan gairah.
Nafsuku bercokol, berpadu dengan tuntutan biologis di bawah sana. Kami mengerang, saling meraba tiap jengkal kulit yang basah nan licin bercampur busa. Lidah Dewa mendesakku, sementara jari-jarinya menggerayang menguasaiku.
Aku duduk di atas pinggangnya; sibuk melilitkan bibir kami, lalu meremas tiap helai rambut Dewa yang tebal kelam.
Milikku sudah bertemu dengan miliknya.
Saling menggesek dan bersentuhan, hanya tinggal menunggu waktu sampai batangnya terbenam dalam jepitanku. Kejantanan Dewa sudah bangun; kokoh, liat, sekaligus tegak. Di lain sisi kurasakan milikku semakin basah, berdenyut-denyut.
Ciuman Dewa yang panas beralih pada leherku. Ia mencumbu area-area sensitif pada tubuhku tanpa ragu. Napas Dewa sudah memanas, begitu pula dengan suhu tubuhnya. Semua sentuhan bertambah menggelora ketika Dewa menangkupkan telapaknya pada buah dadaku. Kemudian memijat gundukan itu dengan gemas dan intens.
Eranganku makin tak terkendali.
Dewa memainkan kedua pucuk merah mudaku menggunakan jarinya. Ia lihai memilin-milin bagian menegang tersebut, lalu sesekali menariknya kecil-kecil.
"Masukkin, ya?" gumam Dewa tak sabar.
Aku pun mengangguk memberikan persetujuan.
Dewa lantas menuntun miliknya ke dalam liangku. Aku membantunya dengan menancapkan batang itu lebih dalam, dan semakin dalam. Aku menggigit bibir, batang Dewa sudah mengisi lorong basah milikku. Di bawah sana begitu penuh, sempit, dan menyesakkan. Kejantanan Dewa berhasil menyentuh segala titik rangsangku. Sehingga sedikit gerakan pelan saja sudah membuatku kenikmatan luar biasa.
CUT. BACA UTUH SAMPAI TAMAT DI karyakarsa !!!
***
"Mahal, ya?"
Aku terbaring nyaman dalam balutan selimut tebal sambil mengusap liontin pada kalungku. Kupandangi sosok Dewa yang sedang sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Begitu mendengar pertanyaan yang kulontarkan, Dewa mengernyih.
"Kok nanya harga segala, sih?"
"Abisnya ..." gumamku. "Aku jadi ngerasa ngerepotin kamu."
"Ngerepotin kalau kamu yang minta. Ini, kan, mauku sendiri. Lagian, cukup bilang 'makasi', maka aku bakalan seneng luar biasa," ujar Dewa. "Berhenti berpikir kalau menghadiahimu merupakan hal merepotkan bagiku."
"Hehe." Aku mengulum senyum.
Dewa pun berhenti tatkala rambutnya masih setengah basah. Ia melompat dan menyusulku di ranjang.
Dewa tengkurap menghadapku. "Tapi, kamu suka, kan?"
"Ini?" Aku menunjuk pada kalungku. "Bukan suka lagi, aku suuuukaaaak banget!" jawabku sepenuh hati.
Dewa tersungging.
Ia lalu melingkarkan tangan untuk memelukku.
"Syukurlah," sahutnya lirih.
Jantungku berdebar kencang. Aku menyorot Dewa lekat-lekat. Rautnya mulai mengantuk, kedua mata Dewa berkedip sayu.
"Ini pertama kalinya kita bermalam berdua," kataku.
Dewa mengangguk. "Kamu benar." Ia lalu tersenyum jail. "Kamu nggak takut padaku, kan?"
"Ih, takut kenapa?"
"Entah. Mungkin saja waktu tidur aku nggak sadar suka nonjok, atau sleepwalking?"
Tawaku pecah. "Masa, sih?" kikikku.
"Bisa jadi, kan?" sergah Dewa.
Aku lantas mengusap rahang Dewa dan menyusuri bakal jangutnya.
"Kalau betul begitu - aku tetap cinta kamu, kok," sahutku yakin.
Dewa tersipu. Ia tersenyum, manis sekali.
"By the way," lanjutku. "Aku ngado tante Hana apa, ya?"
"Nggak usah repot-repot, Ileana." Dewa menarik selimut sembari memejamkan mata.
"Mana mungkin datang dengan tangan kosong ..." sanggahku.
"Ehmh," gumam Dewa memberat. Sepertinya ia mulai kehilangan setengah kesadaran karena mengantuk. "Dibilangin nggak usah repot ... nggak perlu bawa apa-apa."
"Tapi, kan, Dewa-"
Kalimatku terhenti.
Dewa mengorok kencang. Dia pulas layaknya seseorang yang terpengaruh obat bius. Belum ada tiga detik, Dewa sudah terbang ke alam mimpi. Padahal aku belum dikasih goodnight kiss, lho!
Tapi sebalku menguap ketika memandangi wajah Dewa. Dia nyenyak seolah-olah tanpa beban. Alisnya yang tebal tak lagi bertautan. Dan saat memejam begini, mempertegas betapa lentiknya bulu mata Dewa. Aku iri. Andaikan milikku selebat miliknya, aku tak perlu capek menyapukan maskara. Lalu bibirnya ... bibir tipis bersemu merah yang bersembunyi di antara berewok. Bibir yang mencumbuku dengan nafsu bercampur kasih. Bibir Dewa sedikit menganga. Dia mendengkur.
Dewa mendengkur keras sekali!
"Miring, Dewa ..." Aku membisik lembut sembari menuntunnya untuk memiringkan badan. Katanya, ngorok bakal mereda kalau tidur menyamping.
Dewa menggeliat. Secara alami memposisikan tubuh sesuai arahanku. Namun, mereda apanya? Suara dengkurannya semakin menjadi-jadi.
Groooooook ... Grrrraaaaaaakkkkk ... Groooooookkk!
Suara dengkurannya terdengar menderak dan mendengus. Ada vibrasi getaran pada tenggorokan mau pun hidung Dewa, seperti gempa bumi. Seolah-olah di dalam lelaki ini terperangkap harimau buas yang meronta-ronta. Bunyi dengkur Dewa mirip rintihan macan bercampur nyanyian kodok meminta hujan. Terkadang dia bahkan menggeram selayaknya kesurupan siluman naga putih.
Aku menutup telingaku menggunakan bantal.
Everyone has flaws, right? Dan kurasa aku menemukan satu hal baru tentang Dewangga Satya. Kekasihku ini - tukang ngorok garis keras. Damn, aku sangsi bisa melewati malam ini dengan lelap seperti dirinya.
***
Aku menyusun kotak-kotak berisikan makanan yang Soraya bawa. Entah apa maksudnya memborong sebegini banyak Chinese food untukku. Dikiranya lambungku bakal muat, apa? Ini, sih, cukup buat kasih makan satu RT.
Yah, tapi aku nggak heran.
Memang beginilah Soraya. Tiap kami habis bertengkar, dia selalu menghujaniku dengan puluhan makanan. Lumayanlah, bisa kusimpan berminggu-minggu dalam kulkas. Tinggal panaskan sebentar di microwave. Tadaa - hemat uang makan seminggu. Frugal living dengan gaya.
"Mau minum ap—"
"Ya, Beibi ..." Soraya asyik bicara melalui ponsel. "Sama, aku juga. Kangenlah. Hehe." Ia mesam-mesem.
Aku memicingkan mata. Beibi?
Soraya menyadari kehadiranku. Senyumnya yang selebar kuda perlahan meredup.
"Beb, nanti sambung lagi, ya. Aku lagi sama temenku," kata Soraya lirih. "Iya ... bye, Beib." Ia lantas meletakkan gawainya sembarangan sambil membalas tatapan curigaku. "Apa'an?" gerutunya.
"Beibi?" selidikku.
Soraya memalingkan muka. Ia berulang kali mendeham salah tingkah. "Anu ..." gumamnya.
"Kamu punya pacar baru? Dion?" cecarku.
"Bukan!" desis Soraya. "Ini lain lagi, lagian bukan pacar. Berondong, nih." Ia nyengir.
"Terus?"
"Cuma gebetan. Kenalan waktu dia treatment di klinik. Eh, anaknya asyik juga. Yaudah," jelas Soraya sekenanya.
Aku menghela napas.
"Kembali ke setelan pabrik," ledekku.
"Ya gimana, cowok yang kuajak serius diembat sahabatku," balas Soraya sarkas.
Aku melotot. "Heh?!"
"Berchandyaaa ..." Tawa Soraya meledak. Cukup lama ia cekikikan sendiri mirip kuntilanak.
"Pokoknya kalau belum serius jangan kenalin akulah," sungutku. "Sama inget satu hal, jangan sampai nyakitin perasaan anak orang. Kalau emang kamu mau keep it casual, sampaikan ke dia. Kasihan, kan, kalau dianya ngarep-ngarep padahal kamunya biasa aja."
Soraya membungkuk penuh hormat padaku. "Baik, Suhu."
Aku mendecih.
"Mau minum apa?" tanyaku.
"Nanti aku ambil sendiri."
Aku lantas mengambil tempat di sebelah Soraya. Sebenarnya aku senang karena persahabatan kami kembali membaik. Dewa benar. Semenjak dia pindah, Soraya tak lagi segan berkunjung. Hidupku terasa lengkap oleh hadirnya Soraya lagi.
"Eh?" selidik Soraya. Ia menajamkan mata mendekatiku. Perhatian Soraya tertuju pada benda melingkar pada leherku. "Kalungmu cantik banget. Nggak mungkin beli sendiri - Dewa yang kasih?"
Aku menunduk canggung. "Iya," jawabku pelan.
"Ih." Soraya seketika menekuk muka.
"Kenapa?"
"Jeles dikit," dengkus Soraya.
"Aya ...?" Aku memandang Soraya serba salah.
Soraya pun melirikku.
Ia lagi-lagi cekikikan lalu memukul lenganku keras. "Bercanda, Lei! Kamu pikir aku serius apa?"
Aku terdiam.
Membicarakan Dewa dengan Soraya masih tabu bagiku. Mau bagaimana pun, Dewa adalah mantan kekasih Soraya. Ini ganjil.
"Kamu nggak percaya aku?" buru Soraya akibat kebisuanku.
Aku tersenyum. "Nggak, kok," kilahku.
"Lei, aku beneran udah nggak mikirin Dewa. Kalau kamu mau cerita apa pun tentang dia, silakan aja," ujar Soraya. "Justru, aku senang mengetahui dia sangat perhatian sama kamu. Aku juga senang sakit hatinya akibat ulahku memudar karena hadirmu di sisinya. Beban sesal yang semula bercokol pada hatiku pun ikut memudar, Lei."
"Serius?"
Soraya mengangguk. "Dewa lelaki baik, pantas mendapatkan wanita yang sepadan dengannya. Seperti kamu. Kalian itu cocok. Aku tuh sudah berdosa karena mempermainkan ketulusannya. Akan sangat nggak tahu diri kalau aku sirik sama kebahagiaan kalian."
"Jujur aja, aku ragu membahas Dewa padamu. Aku-"
"Lei, hubunganmu dan Dewa terjadi setelah kami putus. Yang cari gara-gara juga aku. So, please, kamu nggak perlu ngerasa nggak enak sama aku. Yang kapan hari kamu bilang ke aku itu betul - Dewa bukan milikku. Dia punya hak memilih siapa pasangannya. Begitu pun kamu."
"Aya—"
"Aku ini sahabatmu," sela Soraya. "Bukan seseorang yang perlu kamu takuti."
Beban pada pundakku seketika terangkat. Sampai kapan pun Soraya Ivona memang wanita berhati besar.
"Thanks ..." ucapku.
Soraya lantas bersandar manja pada pundakku. "Jadi benar dia yang kasih kamu? Kamu yang minta apa inisiatifnya?" tanyanya.
"Dia kasih gitu aja. Aku nggak pernah minta karena tahu dia lagi kesulitan finansial," terangku.
Soraya terkekeh. "Romantis juga, tuh, anak," katanya. "Eh, wait, Dewa lagi kesulitan finansial?"
"Biasalah namanya juga usaha, ada pasang surut. Cuman, untungnya Dewa masih bisa handle kok."
"Hmmmh ..." Soraya mendengarkanku dengan saksama.
"Betewe, minggu depan tante Hana ulang tahun, dan Dewa ngajak aku ke Malang."
"Wah, bagus, dong! Kamu juga udah akrab, kan, sama keluarganya Dewa." Soraya menegakkan badan dan membalas tatapanku.
"Ya, sih," ratapku. "Hanya saja sekarang kondisinya berbeda. Keluarga Dewa tahu hubungan kami dengan cara kurang baik."
"Telepon dari tetanggamu yang kepo itu?" selidik Soraya.
Aku mengangguk membenarkan.
"Keluarganya pasti berpikir aku ini wanita nakal. Membiarkan Dewa bermalam di rumahku padahal mereka tahunya kalian masih pacaran."
"Lha, emang kenyataannya gitu, kan?" kekeh Soraya menggodaku.
Aku mendesis. "Yaiya, tapi orang tuanya nggak seharusnya tahu detailnya," rutukku.
"Alah. Udah terjadi, Lei. Nggak usah dipikirin terlalu dalam. Toh, kamu orang yang sekarang dicintai oleh Dewa." Soraya menepuk pundakku. "Lagian dapat ide dari mana kalau keluarganya bakal melabelimu sebagai wanita nakal?"
Aku mengedikkan bahu. "Entahlah. Nebak aja."
"Ck." Soraya mendecak sebal. "Kamu tahu nggak berapa umur tante Hana?"
Aku menepuk jidat.
"Astaga. Aku bahkan lupa tanya ke Dewa!"
"Empat puluh enam," tukas Soraya. "Usia tante Hana, empat puluh enam. Dulu aku sempat menanyakan itu ke Dewa."
"Huh?" Aku mengernyit. "M-muda banget-nggak salah?"
"Sedangkan Dewa tahun ini 29, jadi coba kamu hitung ... berapa umur tante Hana waktu punya Dewa?" pancing Soraya.
Aku mengambil jeda sejenak. "Tujuh ... belas ..." jawabku.
"Benar." Soraya tersenyum masygul. "Ada kemungkinan tante Hana mengandung Dewa waktu dia masih SMA."
"AYA!" tegurku.
"Aku bukan mau jelek-jelekin, Lei," sergah Soraya. "Toh, beliau dan om Damar orang tua bertanggung jawab, kok. Maksud aku adalah ... berhentilah berpikiran kalau mereka bakal membencimu. Mereka juga pernah muda dan pernah melakukan kesalahan. Kurasa, tante Hana merupakan tipikal orang yang berpikiran terbuka. Dia nggak akan berpikiran kalau kamu itu 'wanita nakal'."
Bibirku merekah.
"Menurutmu gitu?"
"Aku ingat kalau kamu bisa dengan mudah berbaur dengan keluarganya Dewa. Malahan, menurutku, tante Hana lebih prefer kamu yang jadi mantunya ketimbang aku."
"Aya?!" Aku tersipu sendiri.
"Beneran, Lei!" tukas Soraya mantap. "Mereka semua terpesona sama kamu. Macam lihat artis ibukota. Apa lagi Tania - Talita, terkagum-kagum memandangimu."
"Lebai!"
"The point is, kamu harus percaya diri, Lei. Dewa itu beruntung mendapatkan kamu," tegas Soraya. "Kalau kamu bawaannya rendah diri melulu, malah jatuhnya diinjek-injek entar!"
Aku dan Soraya saling beradu pandang. Rautnya serius meyakinkanku. Dia berusaha keras menenangkan batinku yang bergejolak kuat. Soraya berjibaku menangani galauku.
"Makasi, ya, Ya. Kamu selalu bisa bikin aku tenang," kataku.
Soraya bernapas lega.
"That's way I'm here, Lei. Who's need a psychiatric therapist anymore?"
Padahal, aku sempat iri karena Soraya berpotensi menjadi bagian dari keluarga Dewa yang hangat. Sekarang ketika kesempatan itu bergulir padaku, kenapa hatiku justru cemas bukan main?
MR. VANILA sudah tamat di KARYAKARSA. Buat kalian yang mau maraton baca sampai ending tnp Cut part 21++nya bisa melipir ke sana 🖤🖤🖤
Thank You 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro